Manusia-Manusia Dinamit

cairoscene-dot-com

Manusia-manusia dinamit banyak bermunculan saat ini. Kalau dulu seorang filsuf kenamaan asal Jerman, Nietzsche, perlu berteriak, “Aku bukan manusia. Aku adalah dinamit,” maka di negara kita, meski tidak menyebut sebagai dinamit, mulai dari rakyat sampai pemimpinnya, sudah banyak yang bisa menjelma manusia-manusia dinamit. Mereka siap meledakkan diri dan meremukkan tubuh manusia-manusia tak berdosa.

Sebelum menelusuri seperti apakah manusia-manusia dinamit di negara ini, marilah kita pahami dulu mengapa Nietzsche menyebut dirinya dinamit.

Nietzsche, filsuf yang sering disebut ateis ini, menyebut dirinya dinamit karena ia memiliki pemikiran yang berdaya ledak hebat untuk membebaskan dan memerdekakan manusia dari kungkungan budaya Eropa modern. Menurut Nietzsche, budaya Eropa modern telah membeku dan membusuk. Untuk itu, perlu diledakkan. Dan, Nietzsche sendirilah yang menjadi dinamitnya.

Tanda-tanda bahwa kebudayaan Eropa modern membeku dan membusuk terlihat dari pemikiran yang terbatasi, narasi-narasi besar yang merasa paling benar, penguasa-penguasa politik dan agama yang mengaku memiliki kekuasaan dan kebenaran mutlak, kebebasan berekspresi yang tak tersalurkan, dan seluruh kebekuan hidup yang lain. Semua ini ingin diledakkan oleh Nietzsche.

Lalu, setelah diledakkan, Nietzsche ingin menggantinya dengan kebudayaan yang membebaskan dan memerdekakan. Menurutnya, kebudayaan yang membebaskan ditandai dengan tiadanya klaim bahwa ada kebenaran mutlak, lalu manusia bebas berekspresi, dan bahkan bebas menciptakan nilai-nilainya sendiri.

Itulah pentingnya bagi Nietzsche untuk menyebut dirinya dinamit; daya ledak untuk menghancurkan kebekuan menuju pembebasan. Setelah Nietzsche menyalakan dinamitnya, zaman modern yang berhasrat menegakkan kebenaran tunggal menjadi kacau-balau. Dan, lambat laun, lahirlah zaman baru yang sering disebut-sebut sebagai postmodern. Zaman ini berupaya menghargai yang lain, cerita-cerita kecil, dan hal-hal yang sebelumnya tidak diakui, remeh-temeh, diputuskan, terpinggirkan, dan disingkirkan.

Lalu, seperti apakah manusia-manusia dinamit di negeri kita?

Ternyata, manusia-manusia dinamit di sini banyak yang sukses melampaui Nietzsche, lho. Kalau Nietzsche menjadi dinamit di bidang pemikiran, di negeri kita, ada lho manusia-manusia yang menjadi dinamit betulan.

Ingat, sudah sangat banyak saudara kita yang sanggup meledakkan dirinya di hotel-hotel berbintang, restoran, jalan-jalan, tempat-tempat ibadah, dan ruang-ruang penuh manusia lainnya. Bukankah itu sukses melampaui dinamit Nietzsche, kan?

Eh, bahkan, Pak Presiden kita, Pak Jokowi, kadang kala memainkan peran dinamit pula, lho. Ingat, betapa pedih kita semua, termasuk pencoblos beliau, ketika di awal kepemimpinannya, beliau menaikkan harga BBM. Itu dinamit pertama beliau. Tetapi, syukurlah, luka akibat ledakan harga BBM ini lekas terobati karena Pak Jokowi segera menurunkan kemudian.

Namun, tak lama berselang, Pak Jokowi kembali menaikkan harga BBM. Dan, dinamit memilukan ini kian memarah kala Pak Jokowi untuk yang ketiga kalinya menaikkan harga BBM. Sebagai rakyat kecil, saya tak tahu harus berbuat apa, selain meratap: “Kami bisa mati kere, Pak.”

Para wakil rakyat pun tak mau ketinggalan mendinamit kita. Dinamitnya ada yang berupa pertengkaran menjijikkan dan ada pula yang berupa…, yaah korupsi. Kalau bertengkar, mereka tidak pernah main-main, berbanding terbalik dengan style bolos atau tidur kala rapat, yang tentu penuh main-main.

Karena mereka sering bertengkar, maka benar jika Gus Dur menjuluki mereka seperti anak-anak. Namun, jangan khawatir, sebagai anak-anak, mereka memang cepat bertengkar namun cepat pula akur. Asalkan ada kue atau permen yang bisa dibagi-bagi. Lalu berikutnya, mereka akan bertengkar lagi kalau kue dan permennya habis. Ya, harap maklum, memang seperti itulah dunia anak-anak.

Ledakan manusia-manusia dinamit di negeri ini juga diramaikan oleh kalangan kita. Lihatlah orang-orang yang mengaku berpegang teguh pada tali agama, tubuh dan bajunya serbabau agama, tetapi murah hati untuk mengafir-kafirkan, menyesat-nyesatkan, membid’ah-bid’ahkan, dan mengharam-haramkan apa saja yang diyakini dan diamalkan oleh orang lain yang berbeda dengan kelompoknya. Dari yang seagama, apalagi yang beda agama.

Di tangan mereka, agama dijadikan instrumen untuk mendinamit orang lain. Atau, dinamit dibungkus agama. Ustadz hanya perlu mengerti, bahwa gaya beragama begini sangat mengerikan di sini, di tengah keragamannya. Ini bisa memicu perkelahian dan membuat orang-orang menderita, sakit, dan remuk.

Jika Nietzsche menjadi dinamit untuk mengeluarkan manusia dari penderitaan akibat tiadanya kebebasan dan kemerdekaan dalam berpikir dan berekspresi, maka manusia-manusia dinamit Indonesia terkesan berjuang untuk sebaliknya: mengembalikan manusia Indonesia yang sudah merdeka ke penjara, ke lembah kehancuran, ke jurang kebenaran mutlak yang dibawa oleh satu orang, ke gorong-gorong yang penuh kebusukan, kebekuan, dan keanehan lainnya.

Risikonya ya jelas: selama manusia-manusia dinamit ini merajalela, maka Indonesia akan limbung untuk melangkah maju, sebab selalu terbekap penderitaan, jalan di tempat, tidak bebas berekspresi, tidak merdeka, tidak bisa terus berbasa-basi, sehingga tidak bisa berkreasi.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan?

Hanya ini: marilah kembali menjadi manusia normal saja. Manusia yang berdarah daging, yang bersetia pada nuraninya, yang benar-benar manusia tanpa berani lancang mendaku-daku sebagai wakil Tuhan, apalagi Tuhan itu sendiri.

Biarkanlah Nietzsche menjadi dinamit. Tetapi, jangan biarkan diri kita menjadi dinamit sungguhan, sebab itu semua hanya akan memenjarakan dan menghancurkan kita. Kalaupun ingin ikut menjadi dinamit, mari kembalikan kekuatan dinamit itu ke khittah Nietzschean, seperti menulis apa sajalah yang membebaskan, mencerdaskan, dan menyentil nurani untuk basabasi.co ini.

Selebihnya, mari berdoa, semoga murka Tuhan tidak menimpa negeri ini.

Sumber gambar: cairoscene.com

Masykur Arif Rahman
Latest posts by Masykur Arif Rahman (see all)

Comments

  1. Rafa N Rafi Reply

    Itulah, Mas. Mungkin saat ini adalah fase seneng-senengnya main petasan. Sampai pada suatu saat dimana kebanyakan dari mereka terkena petasannya sendiri, fase ini akan berakhir. InsyaAllah.

  2. yadi karyadipura Reply

    negara kita pernah mengalami ledakan besar tahun 1998. tapi setelah itu pada seneng main dinamit, dan semoga mereka meledakan diri sendiri. jangan meledakan diri di tengah kerumunan tak berdosa.

  3. turyono ari Reply

    hemm.. Jadi memang anak – anak itu akan akur kalau di kasih kue yah. I see i see.. Semoga dinamit yang sudah meledak benar – benar menghilang dan tak kembali jadi bisa hidup normal lagi.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!