Manusia tanpa Hidayah

 ilustrasi manusia tanpa hidayah

Manusia sesat itu telah cegak di depan pintu rumah insan taat. Napasnya memburu, seperti hendak menerkam siapa pun di balik sana. Di belakangnya, belasan orang menggerumut. Satu-dua memegang dada. Dan pintu pun terbuka. Kala itu semua menahan napas.

Kejadian itu bermula sejak Jum’at lalu, ketika Peyek melapangkan waktu demi shalat Jum’at. Sudah dua kali Jum’at dia peroleh kompensasi. Maka, sebagaimana tiga minggu sebelumnya, dan seperti dipegangteguhnya tentang murtadlah mereka yang meninggalkan shalat Jum’at sebanyak tiga kali, dia harus berangkat ke masjid. Meski kini tinggal tersisa beberapa detik menuju matanya padam.

Bukan sebab ceramah itu menjemukan. Lihatlah sang khatib mengacungkan tangannya. Lantang-lantang suaranya menyeru. Peyek mendengar tapi tak mendengarkan. Dalam kepalanya yang pengar dia terus coba menghitung berapa botol bir yang dia tandaskan. Napasnya bersisa bau masam. Bahkan untuk bersila pun dia memerlukan pundak jamaah di sebelahnya.

Tapi sekonyong-konyong Peyek tergugah! Matanya terbelalak. Mata itu menombak khatib di atas mimbar. Dan sang khatib seolah membayarnya. Bagai sebuah keyakinan yang menghentak jiwa raga Peyek. Nyatakah yang ditangkap telinganya barusan?

Peyek lagi yakin tatkala sang khatib merinci ayat yang dilantunkan. Dia himpun ayat itu di dalam benak yang masih setengah, memadukannya dengan mozaik hidup yang tahu dijalani. Segala kebimbangan, segala keterasingan, segala keterpurukan. Logika mulai menyimpulkan. Otak yang belum tahu lagi digodok sejak umurnya tiga belas itu kini bergelegak. Dia sadar telah mencecap hanya kesia-siaan dalam hidupnya. Seandainya telah dia dengar perkara ini sejak dulu, mesti hidupnya akan jauh lebih ringan.

Tuhan memang maha curang, batin Peyek. Sedari dulu melulu dirinya bersoal kenapa hidupnya kerap ditimpa kegetiran. Kini barulah terjawab. Dan jawaban itu bukan main, dia peroleh dalam keadaan setengah sadar dari seorang khatib yang ceramahnya belum tahu dia gubris. Senyum rekah meriasi bibir Peyek. Penceramah itu tiba-tiba dicintainya. Dia kenal khatib itu, tepatnya sejak sebelum ceramah bermula. Di parkiran dia menyampuk sang khatib yang melangkah tergesa. Lelaki itu memapah Peyek yang limbung. Dalam kondisi mabuk, Peyek tak ingat betul apakah dia sempat mengucap terima kasih.

Namun satu yang membuatnya tetap ingat pada orang yang disapa Ustadz itu. Saat tubrukan, kaki keduanya terantuk. Sandal terempas saling satu. Peyek kenal sandal jepit Swallownya warna biru. Maka lekas dia raih sandal di depan matanya, yang ia baru sadar ternyata Ustadz mempunyai jenis yang sama. Kalau tak teliti, boleh jadi tertukar. Ustadz tersenyum. Peyek malah tertawa. Ada pula lelaki lurus yang pakai model sandal pemabuk, katanya waktu dirangkul ke dalam masjid.

Peyek lunaskan shalat dengan sangat khusyuk. Bahkan boleh dibilang shalat paling khusyuk selama hayatnya. Peyek urung sombong di hadapan Tuhannya. Dia hanya mau keluar dari masjid dengan damai. Semacam balas budi sebab Tuhan telah memberinya penghargaan baru. Bagaikan bintang jasa yang dinobatkan pemerintah hanya kepada rakyat terbaik.

Saat bubar shalat pun, Peyek melangkah dengan sangat jemawa. Seperti terlahir kembali, meski dari rahim sebuah masjid kecil, di sebuah kota pinggiran yang penduduknya tak pernah taat peraturan lalu lintas. Kaki peyek mengayun gagah seiring tangan mengepal dengan penuh kebanggaan.

“Woi, jalan di pinggir! Setan!” teriak seorang sopir angkot.

Ha-ha-ha. Tepat sekali. Itu boleh jadi pilihan panggilan berikutnya setelah Kampret, Klobot, lalu Peyek. Dia kadang lupa nama aslinya Ma’ruf, yang berarti kebaikan. Tapi tak apalah. Meski sejatinya nama adalah doa, namun menjadi tak berarti apa-apa bila ternyata doa itu tak mendedahkan sedikit pun maknanya. Terlebih lagi kini Peyek telah yakin. Semenjak ceramah itu, dia memilih berlaku sesat sepanjang sisa hidupnya.

Di jalan, Peyek putuskan ini terakhir kalinya dia pergi ke masjid. Sebaliknya, dia mesti membawa diri ke tempat maksiat sebagaimana insan taat pergi ke majelis ta’lim. Pagi, jauh sebelum matahari terbit, dia harus maling ayam. Sepanjang hari hingga sore, dia bekerja: bertaruh di meja judi. Saat senja, dia akan menyabung ayam curian. Jika ternyata hanya dapat ayam betina, maka dia menukarnya dengan bir. Malam, kalau enggan menyewa perek, dia akan membeli bir lagi.

Peyek yakin dirinya ditakdirkan menjadi manusia tanpa hidayah sejak lahir. Dan manusia tanpa hidayah tak bisa disalahkan sebab Tuhan sendiri yang menyuratkan demikian. Segala sesuatu telah disuratkan, mau coba seperti apa pun nasibku akan tetap sama seperti yang telah dituliskan, kata Peyek selalu. Tuhan memutuskan mana orang yang diberi hidayah sebagaimana ada pula yang sama sekali tak diberi hidayah. Dan tak ada manusia yang mampu memberi hidayah. Hanya Dia. Maka kini meski yakin akan masuk neraka, Peyek harus menegaskan tak ada yang memalingkan niatnya. Apalagi nanti repot-repot menyelamatkan di Sirathal Mustaqim. Dia hendak masuk neraka dengan damai.

Tibalah dia di depan pos kamling, markas besarnya. Kawanannya tercengang menatap Peyek. Lelaki itu memasang kacak pinggang paling gagah.

“Mengapa bergaya di situ, Bangsat? Main sini!” seru seorang kawan Peyek.

“Aku telah menjadi orang sesat!” timpal Peyek.

“Dari dulu kau sudah sesat, Biadab!”

Demi perkataan itu, Peyek membuang ludah. “Tapi sekarang aku bakal lebih sesat dari setan. Nah, siapa yang mau jadi pengikutku?”

Komplotan itu sontak tertawa membahana. Peyek balas tawa itu hanya dengan tatapan tajam, meski tanpa dihiraukan. Namun kemudian dia mendekat, menggebrak lesehan betung. Gelak tawa seketika padam.

“Kutanya sekali lagi, siapa yang mau jadi pengikut Peyek, heh?”

Semua bungkam. Peyek menerimanya sebagai kekalahan. Tapi mereka diam sebab yakin Peyek tengah kesurupan. Lelaki itu belum pernah berperangai aneh, jika tak memasang murung seharian. Dia adalah selugu-lugunya tukang ojek, sediam-diamnya penjudi kelas curut. Meski minumnya kuat bagai unta. Dan tak pernah dia pulang bawa uang banyak, baik ngojek maupun njudi. Tapi, lihatlah hari ini, dia sungguh lincah. Dia menang banyak, meraup sekantong uang tanpa memutar setang.

Permainan pun dihentikan. Peyek bangga sementara yang lain murung mengintip dompetnya. Tapi karena telah dinobatkan menjadi pemimpin keserampangan, Peyek menolak hilang wibawa. Dibagikannya uang itu sedikit-sedikit, hampir merata.

“Uang itu, asal kalian tahu, mau shalih atau sesat, tak akan dibawa mati,” ujar Peyek seraya menuntun langkah pergi. Mulut kawanannya semua menganga, pun mata tak berkedip.

Di rumah, Peyek disambut uluran tangan sang istri, menagih penghasilan hari ini.

“Mana?”

“Ah, istriku sayang,” kata Peyek seraya menyerahkan seikat uang tanpa melepaskan genggaman istrinya. “Hari ini cerah, ayo bercinta.”

“Cuma segini mengajak bercinta, kau pikir aku perek?”

“Peyek dan perek. Oh, alangkah serasi, bukan?”

Sang istri menyilangkan telunjuk di dahi sambil menoleh pada anaknya. Bocah itu melongo saja sedari bapaknya tiba. Tapi sebentar saja, sebab segera sang bapak menempelkan lima ribuan di jidatnya.

***

Seminggu telah berlalu. Dan hari ini, setelah dua puluh tujuh tahun, Peyek kembali membaca. Bukan main buku yang dibacanya. Bukan koran apalagi sastra yang sekadar ungkapan kosong. Barusan dia meminjam kepada Somad sebuah al-Qur’an lengkap dengan terjemahnya. Alangkah kagetnya lelaki baik itu mendengar permintaan Peyek. Lekas dia buka lemari yang pepak dengan kitab suci berbagai corak berbagai ukuran. Namun dipilihnya yang paling buluk untuk tetangganya.

“Ini terjemahan paling jitu, dibawa langsung dari Madinah saat bapakku naik haji.”

Peyek mengakui kitab itu amat tepercaya sebab lusuhnya menandakan terlalu sering dibaca. Tanpa banyak kata, dia pulang menggamit kitab itu. Sudah seminggu dia tunaikan ibadah sesat. Seperti direstui, semua ulahnya selalu mulus tanpa jumpa sedikit pun kendala. Awalnya Peyek yakin demikianlah mukjizat bagi orang semacamnya. Akan tetapi, lambat laun akhirnya dia sadar, yang diperbuatnya bukan lelaku sesat murni. Itu, jika dalam ketatanegaraan, disebut perbuatan kriminal. Bukankah sesat tak melulu kriminal?

Mulutnya komat-kamit berpacu dengan mata, sementara tangannya tak henti membolak-balik lembar demi lembar, menelusuri kata kunci. Sekali-dua dahinya mengerut. Apakah itu, sesat yang paling sesat, pikirnya. Andai saja dia meneruskan TPA setelah kelas tiga dulu, barangkali dia akan mengerti. Tak mengapa, tiada kata terlambat untuk mengerti. Nyatanya kini nyaris tiga jam matanya menekuni huruf-huruf itu. Meski hanya membaca huruf latinnya, namun dipastikan beberapa jam lagi dia akan mengkhatamkannya.

Belum usai semua dibaca, kitab itu sudah ditangkupnya pula. Satu helaan panjang terempas dari bibirnya. Matanya memejam bak petapa. Saat membuka, mata itu melotot! Sontak dia bangkit dan berteriak, “Demi setan, akhirnya aku mengerti sesat sejati!”

Anaknya yang bengong semenjak bapaknya membuka kitab kontan terperanjat.

“Bapak kenapa?” tanya bocah itu.

“Bapak bakal jadi setan!”

Si buyung heran. Barangkali ini permainan setan-setanan. Ia berharap ada peran untuknya.

“Lalu sekarang Bapak mau apa?”

“Bapak mau bikin patung.”

“Untuk apa?”

“Untuk disembah, Goblok!”

“Bapak mau pindah agama?”

Bocah itu tak lagi mendapat jawaban. Sang bapak bergegas menyucikan rencananya. Tapi baru keluar pintu kontrakan, dia terkesiap melihat sebuah pemandangan ganjil. Pekarangannya yang sempit disesaki banyak orang. Tangan mereka menggamit kresek hitam berisi entah apa. Sebagian dikenalnya, tapi lebih banyak yang tidak. Belasan jumlahnya. Seperti sedang menanti sesuatu. Istrinya yang berdiri di depan kerumunan itu lantas berbisik pada suaminya.

Peyek sejenak tertegun. Sebenarnya hendak saja dia hirau. Tapi sekarang ada sesuatu yang lebih penting. Maka Peyek menerobos kerumunan. Sayang, baru berhasil keluar pagar, dirinya diberondong pengakuan yang membuatnya kembali bergeming.

“Bapak, terima kasih telah menyelamatkan bayi saya. Kalau suami saya tidak diberi uang dari Bapak, anak ini tidak akan lahir dengan selamat. Terimalah balas jasa saya.”

Tanpa perlu menengok, Peyek kenal itu adalah suara istri kawan seperjudiannya. Dia hanya menyeringai. Dalam hati dia menegaskan untuk meneruskan misinya. Aku harus menemui seorang pemahat patung demi mencipta tiruan diriku, kata Peyek hanya dalam hati. Kembali Peyek lanjutkan perjalanan. Kerumunan membuntutinya dengan kecepatan yang sama. Sahut-menyahut menyerukan nama junjungannya.

“Terima kasih telah mencuri ayam saya. Kalau tidak, istri saya akan membunuhnya karena ayam itu tidak kunjung bertelur. Saya lebih baik menerima itu.”

“Bapak, terimalah sembah saya. Karena Bapak membeli saya kemarin, saya jadi terbebas dari siksa mucikari yang menuntut karena seminggu tidak laku.”

“Karena Bapak beli bir, saya jadi dapat undian dari pabriknya!”

Apa-apaan itu? Peyek geram dan hendak membereskan mulut-mulut itu. Sayangnya, dia lebih yakin percuma menghentikan bacot orang seberingas itu. Untuk apa membuntutinya kalau bukan beringas alasannya. Maka dia pilih diam dan berharap mereka mati sendiri. Namun seru-seruan baginya belum mau berhenti.

“Bapak, tolong berilah nama untuk anak saya!”

“Bapak, terima sembako dari saya!”

“Bapak, jadikan saya istri kedua!”

“Bapak, berilah saya doa supaya mujur lagi!”

“Bapak…! Bapak…! Bapak….!”

Cukup di sana! Peyek tak tahan lagi. Dia berbalik pada kerumunan dan memandangi semua. Kalau dia mau, dia bisa saja merenggut apa pun. Namun sungguh permohonan dan rasa terima kasih semacam itu membuat dosanya berkurang. Terlebih jika permintaan mereka aneh-aneh seperti itu, lantas apa beda dia dengan seorang ustadz?

Pertanyaan itu membuat Peyek berpikir. Kepalanya menguapkan terik matahari sehingga terasa agak pening dan ditambah pula seru-seruan yang masih menderu. Debu tanah merah menjalar di kaki sampai ujung jemari Peyek. Sepasang kaki dekil itu tampak menggamit sandal jepit. Terlihat sandal biru kabur membaur bayang keramaian. Berputar-ganti dengan senyum seorang ramah. Benar, orang itu! Pantaslah niat sesat menjadi karunia, batin Peyek. Sekuat tenaga Peyek genapkan sadar. Dia jinjing alas kakinya. Lalu dengan pasti menerobos kerubungan di hadapnya, menuju rumah Ustadz. Pengikutnya masih setia di belakang. Ketika dia tiba di beranda Ustadz, geramnya telah memuncak sampai ubun-ubun.

“Sandal kita tertukar!” seru Peyek di depan muka Ustadz.

Ustadz mengernyitkan dahi. Dia pandang Peyek dan kerumunan yang mematung di belakangnya. Ustadz berdecak seraya mengucap kalimat suci.

“Gara-gara sandalmu, niat sesatku berubah jadi karunia buat mereka!”

Sekali Ustadz mengempaskan senyum. Kemudian dia pun membungkuk ke belakang Peyek, memungut sepasang sandal persis milik Peyek. Dibaliknya muka sandal itu sehingga tampak sebuah tanda. Seperti menampilkan dua huruf yang dicungkil menggunakan pisau. Samar namun terbaca: US.

“Namaku Umar Saleh,” kata lelaki itu.

Peyek bergeming seperti batu. Sayang, di hadapnya bukanlah pemahat.

Sumber gambar: sharingdisini.com

Agam Rafsanjani
Latest posts by Agam Rafsanjani (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!