Marinda Menjadi Mawar

Spring Canvas Print by Debi Coules

Seorang perempuan telah patah hati. Tidak ada yang tahu siapa yang mematahkan hatinya atau bagaimana bisa patah. Tiba-tiba saja perempuan itu datang ke sini, seperti baru terbangun dari tidur panjang, melolong sejadi-jadinya, dan meremas dada sambil mengoceh tentang luka, lalu mengutuk dirinya menjadi mawar yang indah.

            ….

            “Itu mawarnya,” kata penjual tanaman kepada lelaki itu. Ia mengaku melihat sendiri kejadiannya. Bahkan menurutnya dia satu-satunya saksi mata keajaiban itu dan karenanya cerita tentang mawar itu hanya ia yang tahu. “Kau beruntung,” tambah penjual tanaman, “aku tidak menceritakan kisah ini kepada orang lain.”

            Lelaki itu langsung membeli mawar yang ditawarkan. Aku tahu, ia bukannya percaya pada cerita yang ia pikir mungkin dikarang-karang sendiri oleh penjual tanaman dan entah sudah berapa ratus kali diulang-ulang ke setiap orang yang datang ke tempatnya, melainkan mawar itu, di matanya, memang punya daya pikat kuat dan tak bisa disepelekan. Batang mawar yang memiliki banyak cabang. Di setiap ujung cabang-cabang itu bertengger bunga-bunga. Sebagian sudah kembang. Sisanya masih dalam bentuk kuntum yang siap mekar dalam beberapa hari ke depan. Sebelumnya, menurut pengakuan lelaki itu kepada penjual tanaman, ia pernah membeli mawar. Sayangnya, tak pernah berbunga. Padahal, batangnya sudah merimbun, bercabang banyak, dengan daun-daun hijau segar, pertanda tak ada masalah apa pun pada tanaman itu. Karena itu ia ingin diberikan mawar yang terbaik.

            “Kau tidak akan menyesal membelinya,” kata penjual tanaman saat mereka menyepakati harga yang mesti dibayar. Tanpa membuang waktu lelaki itu membayar dengan cepat, tak memberi kesempatan penjual tanaman berubah pikiran dan menaikkan harga lagi. Penjual tanaman, si perempuan paruh baya yang telah lama hidup sendirian itu, menerima bayaran dengan gelagat ragu seakan ada yang masih mengganjal dalam hatinya. Ia mengangkat pot mawar. Menindai-nindainya. Ia berucap, “Benar-benar mawar yang indah.” Lelaki itu tidak tertarik membalasnya. Dari gelagatnya, lelaki itu merasa sudah cukup membicarakan mawar. Ia hanya ingin segera membawa mawar itu pulang, berharap mawar itu tetap akan berbunga lebat, sampai kapan pun. Dengan begitu halaman rumahnya akan didatangi berbagai serangga; kupu-kupu, lebah, kumbang, dan kemungkinan serangga lainnya. Saking senangnya bisa memiliki mawar itu, ia tak terlalu mendengar kata-kata penjual tanaman yang melepas kepergiannya. Rasanya basa-basi apa pun tak penting lagi baginya. Urusan mereka sudah selesai. Bahkan ia tak berharap bertemu kembali dengan si penjual tanaman, di mana pun itu. Sebetulnya, ia bukan orang yang tahan dengan seorang pembual.

***

            Kalau saja lelaki itu bersedia memberikan waktunya sedikit lagi, maka penjual tanaman mungkin akan memberitahukan namaku kepadanya. Marinda. Demikian aku menyebut namaku sebelum seluruh tubuhku berubah menjadi mawar di hari itu.

            Marinda. Nama yang indah, bukan?

Sayangnya, sebelum menjadi mawar, aku perempuan paling jelek di dunia ini. Di lingkungan tempat tinggalku, sewaktu kecil, aku selalu diejek anak-anak lain. Mereka bilang Marinda itu monster. Sebagian mukaku memang berwarna hitam (orang bilang tanda lahir, tapi aku  merasa itu hukuman atas kelakuan buruk bapakku yang seorang penipu, ibuku yang pemabuk, aku dibesarkan oleh bibiku yang seorang lintah darat). Jadi, jelas aku tampak jelek dan menyeramkan. Sebelah mataku tersembunyi di dalam warna kulit hitam itu. Mata dengan konjungtiva yang membeliak merah. Wajar saja jika orang tak tahan melihatnya. Seorang bayi bakal menjerit bila tak sengaja memandang ke arahku. Kaum ibu sering menggunakan namaku untuk menakuti anak yang nakal. Kalau nangis terus, nanti kamu dimakan Marinda! Awas, di sana ada Marinda!

            Lama-kelamaan, aku mulai menikmati sebagai monster menakutkan.

Aku tidak kecewa lagi seperti di awal-awal menyadari diriku buruk rupa. Aku  senang berlama-lama berdiri di depan kaca. Kadang aku menyeringai. Kadang aku tertawa-tawa. Aku berpikir, apa salahnya menjadi seorang monster. Malah menyenangkan jika karena itu aku bisa membuat semua orang ketakutan. Terutama orang-orang di sekolah. Tempat para murid sering mengejek tiap aku melintas di halaman atau teras kelas. Bila perlu, aku mau membubarkan semua murid dan guru di sekolah. Membuat mereka lari kocar-kacir. Biar aku tinggal sendirian. Biar bisa berlari sesuka hati di lapangan. Bisa melompat-lompat di atas bangku-bangku dan meja. Bisa mencoreti seluruh dinding sekolah dengan gambar mata yang tersembunyi di kegelapan—mata monsterku.  Aku benci pada guru yang berkata, “Semua manusia itu sama, Marinda. Kamu sama dengan teman-temanmu. Jangan malu. Jangan rendah diri.” Kenyataannya, aku tidak sama dengan mereka. Teman-temanku juga menganggap kami tidak sama. Bahkan guru-guru memperlakukanku dengan cara yang tidak sama pula. Setiap ada paduan suara, aku tak pernah boleh berdiri di depan. Aku selalu disembunyikan di antara anak-anak lain.

            Untuk itu aku tak mau percaya kepada satu orang guru pun di sekolah. Aku lebih menyukai teman-temanku yang apa adanya. Yang tak berbohong. Yang sangat suka mengejekku. Marinda mengerikan! Marinda setan! Marinda mirip binatang! Berkat teman-teman itulah aku makin menyukai diriku yang monster dan tak lagi menyesali kenapa terlahir buruk rupa dan aku pun merencanakan berbagai aksi seru dalam kepalaku. Sayangnya, masa-masa itu sudah berakhir sejak aku masuk SMA. Tak ada lagi anak-anak yang jujur itu. Tak ada yang mengejek atau menyoraki. Mereka telah menjelma manusia dewasa yang pintar berpura-pura. Seperti yang dilakukan para guru kepadaku.

            Lalu, satu hari, ketika aku sudah duduk di kelas dua SMA dan berhasil melewati masa-masa paling membosankan dalam hidupku, barulah aku menemukan seorang teman yang benar-benar mau menerimaku. Yang tampak tak berpura-pura. Yang baru pindah ke sekolahku dan mengulurkan tangannya dan menyebut sebuah nama paling indah yang pernah kudengar di dunia ini. Sebagaimana anak lelaki itu juga berpendapat sama soal namaku—meski kelak, tanpa menunggu lama,  aku tahu, nyatanya, cinta tak cukup dengan sebuah nama indah.

            Setelah hari perkenalan itu, kami langsung akrab. Ke mana lelaki itu pergi, di sana ada aku. Kami berburu serangga sepulang sekolah dan hari libur. Ke berbagai tempat. Rawa-rawa. Lapangan. Semak-semak pinggir kali. Taman. Lelaki itu tergila-gila pada serangga. Ia sangat senang bertemu dengan perempuan sepertiku, yang bisa diajak melakukan apa saja. Tanpa mengeluh atau ketakutan. Tanpa cemas kulit akan terbakar dan menjadi lebih cokelat.

            Akan tetapi, dengan cepat semuanya berubah dan berlalu. Sekolah kami kedatangan murid baru lagi. Perempuan mungil berparas cantik yang nyaris mirip peri. Lelaki itu sekali lagi mengulurkan tangan dan menyebut nama indahnya: Goris.

            “Malina,” balas perempuan mungil dan cantik itu.

            “Nama yang indah,” kata Goris.

            Pipi Malina yang putih mulus bersemu merah. Ia makin mirip peri, makin membuatku yang berdiri di belakang Goris merasa tak enak hati.

            “Ini temanku. Namanya Marinda,” kata Goris menarik tanganku agar keluar dari balik punggungnya.

            “Nama kami mirip sekali,” kata Malina.

            Tapi, kau peri, aku monster, tambahku dalam hati.

            Kami bertiga menjadi teman. Namun, kami jarang bisa melakukan sesuatu bertiga. Apa-apa yang kusukai tak satu pun disukai Malina, begitu juga sebaliknya. Dan Goris tentu lebih sering bersama Malina ketimbang denganku. Goris hanya mengingatku bila ia akan melakukan hal-hal yang tidak bisa dikerjakan bersama Malina.

Sejak itu, aku kembali tak menyukai wajah monsterku. Aku tahu, Goris lebih menyukai Malina karena gadis itu sangat cantik dan mirip peri.

Untuk itu aku mau melepas separuh kulit wajahku yang hitam, mau membuang bagian terburuk dari diriku. Aku mengambil silet dan membuat garis di pelipis, dan dari sana aku coba menarik kulit terkutuk itu seperti mengelupaskan kulit kayu. Aku gagal. Bukannya menjadi cantik, aku malah memperburuk wajahku dengan adanya bekas luka. Terlebih setelah hari itu, selaput merah di mataku jadi makin membeliak seolah-olah monster di dalam diriku marah kepadaku.

            “Kenapa kau melakukannya?” tanya Goris. Ia sengaja datang menjengukku yang sudah beberapa lama tidak masuk sekolah.

            “Aku ingin cantik,” kataku hampir menangis.

            “Padahal, aku pindah ke sekolah sini karena penasaran dengan wajah monstermu. Kamu menjadi pembicaraan di sekolah-sekolah lain,” kata Goris entah jujur atau berbohong.

            “Aku tidak menyangkanya,” kataku terharu dan kembali tersenyum.

            “Makanya, kenapa kau justru mau mengubah dirimu? Tetaplah menjadi monster,” kata Goris yang kemudian buru-buru mengaku menyukai film Hotel Transylvania.

            Kami kembali berteman dan tetap bersama hingga lulus sekolah. Goris tetap saja lebih banyak bermain dengan Malina, tapi itu tak masalah karena aku sudah tahu Goris menyukai wajah monsterku. Aku selalu meyakini hati Goris hanya untukku. Selamanya. Tapi, sekian tahun kemudian aku mendengar Goris dan Malina menikah dan pada hari itulah aku patah hati dan berencana mengutuk diriku menjadi mawar. Kebetulan, seminggu sebelum aku mendengar kabar itu, aku membaca cerita Seto Menjadi Kupu-Kupu.* Aku terinspirasi pada cara Seto mencintai.

            Aku pergi ke kompleks budidaya tanaman pot di pinggiran kota. Di sana, aku bertemu dengan perempuan penjual tanaman. Pada perempuan yang terlihat kesepian itu aku menyatakan keinginan untuk menjadi mawar. Kukatakan kepadanya nanti akan ada  seorang lelaki yang datang untuk membeli mawar itu. Aroma mawarku hanya akan menarik satu laki-laki itu saja. Ya, hanya dia. Goris. Namun, perempuan itu terlalu banyak mendramatisir kisahku saat Goris datang dan tak sempat menyebutkan namaku kepada lelaki itu. Untungnya, kapan pun mau, aku bisa menelusuk ke dalam dirinya. Membaca hati dan pikirannya. Nanti, pelan-pelan aku akan membisikkan namaku.

***

Seorang perempuan telah patah hati. Tidak ada yang tahu siapa yang mematahkan hatinya atau bagaimana bisa patah. Tiba-tiba saja perempuan itu datang ke sini, seperti terbangun dari tidur panjang, melolong sejadi-jadinya, dan meremas dada sambil mengoceh tentang luka, lalu mengutuk dirinya menjadi mawar yang indah.

            Potongan dongeng yang ia dengar dari penjual tanaman itu, sekuatnya ingin ia lupakan, tapi terus menempel dalam batok kepalanya. Padahal, ia meyakini itu hanya bualan. Hanya siasat agar ia tertarik pada mawarnya. Cara-cara yang biasa penjual tanaman lakukan pada orang lain; menunjuk mawar dalam pot dan mengaku kalau itu mawar paling istimewa yang cuma diberikan kepada satu-satunya pembeli terpilih.

            Ia mengamati bunga-bunga mawar yang makin merah, makin menguarkan aroma nektar di teras depan rumahnya. Mana mungkin mawar ini berasal dari perempuan yang mengutuk dirinya sendiri karena patah hati? pikirnya. Namun, ia mengakui mawar itu benar-benar indah. Dan bertambah indah dengan kedatangan berbagai macam serangga. Ia pernah bercerita, waktu kelas dua SD, ibu tirinya bilang kalau ibu kandungnya adalah seekor serangga yang senang kelayapan. Ia ingin sekali menemukan ibu yang tak pernah dikenalnya itu. Karena itu pula ia mencari serangga ke berbagai tempat.

            “Berhentilah berurusan dengan serangga-serangga menjijikkan, Goris. Kenapa kau terus percaya pada kebohongan ibu tirimu yang picik itu?” teriak Malina dari pintu rumah.

            Malina yang dulu bagai peri, lama-lama menjadi seorang monster pemarah. Pada saat-saat itulah lelaki itu teringat kepadaku, merasa begitu dekat denganku, terlebih ketika beberapa serangga mendekati mawar dan menyesap manis bunga. Ia tak akan pernah tahu kalau aku bahkan sedang memandang matanya.[]

Rumah Kinoli, 2019

*Cerpen Seto Menjadi Kupu-Kupu terdapat dalam kumcer Bidadari yang Mengembara karya AS Laksana.

Yetti A.KA
Latest posts by Yetti A.KA (see all)

Comments

  1. Anonymous Reply

    Selalu suka cerpen-cerpenya Mbak Yetti.

  2. Rifat Khan Reply

    Ngaliiiiir…

  3. Yunita Karang Reply

    Sukaaaaaaaa

  4. Anonymous Reply

    seperti biasa. Yetti selalu bermain kata dengan simbol-simbol. simbol yang mengejewantahkan perilaku kebanyakan masyarakat kelas bawah. Sekali-kali coba pola lain dong, Yet. hehehe.. tapi.. aku suka.

  5. Fuji Firman Reply

    Keren

  6. niLLa Reply

    suka cerita nya, malah ngarep kelanjutannya

  7. Meitantie Reply

    Goris, seperti kebanyakan lelaki hanya melihat tampilan luarnya saja

  8. rere Reply

    Keren banget ! saya mulai suka karya-karyamu mba ^^

  9. meliana Reply

    mantap cerpennya kak!

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!