
Akhir pekan di awal Agustus 2019, mati lampu melanda seluruh kota Jakarta dan sekitarnya. Dikatakan permasalahannya terletak pada disfungsi pembangkit listrik tingkat tinggi. Banyak orang yang merasa terganggu dan seperti hilang akal apa yang mesti dipikirkan dan dilakukan. Terutama ketika malam mulai mengganti hari. Tidak ada listrik, tidak ada sinyal telekomunikasi. Selesai, katanya.
Hal ini mengingatkan saya pada perjalanan di Lanny Jaya 3–4 tahun silam. Saat itu, sebuah kegiatan penelitian kesehatan dari pemerintah mengharuskan saya untuk tinggal selama hampir dua bulan. Kondisinya di malam hari, sama seperti Jakarta saat sekarang saya menulis tulisan ini. Gelap gulita. Memang tidak setiap hari, karena ada beberapa hari yang ada genset sehingga kami bisa melihat cahaya di kala malam hari.
Dengan sisa baterai laptop sebesar 19% saya mencoba untuk melanjutkan tulisan, ya.
Memori di malam hari Lanny Jaya kembali menyegarkan
Sungguh, saat ini memori di Lanny Jaya benar-benar kembali ke pikiran saya. Saat itu saya hanya bisa duduk di luar rumah, berimajinasi soal hal-hal yang mau saya pikirkan. Apa saja, bebas. Sebagai seorang yang lahir dan besar di kota, awalnya saya merasa canggung karena tanpa listrik dan sinyal di malam hari, saya seakan menjadi mati kutu.
Saya melakukan refleksi besar-besaran saat itu. Soal orang kota yang hidup dengan gemerlap, soal bagaimana saya berpikir “mengapa ini susah dan menderita sekali ya?”. Ah, dasar anak kota. Manja. Namun setelah beberapa hari akhirnya saya mulai bisa beradaptasi, malah saya menikmati. Pikiran saya berputar 180 derajat yang awalnya mengasihani mereka yang hidup tanpa lampu sehari-hari, menjadi mengasihani diri saya sendiri. Si anak kota yang bergemerlap lampu setiap hari.
Di Lanny Jaya, saya akhirnya bisa menikmati alam di malam hari. Tanpa lampu. Bagaimana mendengarkan bunyi angin, bunyi batu yang saling bergesekan satu sama lain, bahkan bunyi manusia yang saling berbincang di tengah kegelapan. Indah juga ya, pikir saya waktu itu. Saya merasa menjadi dekat dengan alam ketika itu. Rasa-rasanya duduk di tengah kegelapan, dengan sejuknya Lanny Jaya mendorong saya untuk berkomunikasi dengan alam. Bercinta dengan alam?
Kesadaran akan nikmat dan nyamannya ketika kita tidak sibuk dengan urusan-urusan gawai dan segala teknologi, membuat saya sadar. Kasihan sekali ya hidup saya selama ini. Selama ini kami diperbudak oleh teknologi. Begitu sulitnya melepaskan laptop, telepon genggam, dan berbagai kemudahan dari internet di zaman sekarang. Bahkan di tengah kegelapan saat ini saja saya masih harus menggunakan laptop untuk bercerita melalui tulisan ini. Kita kalah oleh si teknologi. Kasihan, ya.
Gelap dan terang: beda di sana dan di sini
Perbedaan kondisi di kota dan mereka yang gelap di berbagai daerah memberikan cara berpikir baru bagi saya. Kita hidup di kondisi alam yang berbeda-beda. Saya mengingat sebuah judul lagu berjudul “Equality street” oleh David Brent. Begitu berbeda-bedanya manusia, tapi sebenarnya semua sama saja. Tidak ada yang lebih tinggi, tidak ada yang lebih rendah. Tapi, bagaimana kita bisa memikirkan hal ini, jika kita tidak mengalami langsung seperti malam ini? Bahkan meski mengalami kejadian seperti malam ini, jika kita hanya mengeluh dan tidak menikmati, bagaimana mungkin kita bisa mengerti kondisi orang lain?
Saya ingin membawa arah obrolan ini pada persoalan perjalanan. Saya mengingat betul bahwa belakangan ini sedang heboh orang kota berbondong-bondong untuk datang ke daerah yang mereka sebut desa, tempat terpencil, atau bahkan pedalaman(?). Tentu tiap orang bisa mendefinisikan sendiri perjalanan mereka. Yang menjadi menarik adalah mereka berbondong-bondong untuk mencari tempat-tempat idaman, berfoto-foto dengan alam yang indah dan warga lokal. Lalu mereka memasukkan foto tersebut di media sosial. Tentu sebagai penanda bahwa mereka pernah ke sana dan menjadi bagian dari lokal. Itu kata mereka.
Hal ini tentunya sah-sah saja sesuai kemauan mereka. Bahkan ketika mereka benar-benar berkomunikasi dengan lokal dan saling bertukar pendapat dan cerita hidup, mereka bisa mengambil banyak makna. Bukan tidak mungkin, jika mereka cukup rendah hati, mereka malah bisa belajar banyak sekali hal yang luput mereka perhatikan dengan tinggal di kota, yang semuanya serba semrawut. Pelancong tentunya bisa lebih mengerti cara berpikir dan bagaimana orang di luar sana mencari kebahagiaannya sendiri. Tentu tidak melulu soal uang dan pekerjaan.
Namun, berbagai hal ini juga mengingatkan saya pada pengalaman beberapa orang mengenai kegelisahannya pada pelancong kota yang datang ke berbagai daerah. Teman saya bercerita bagaimana sikap seorang pelancong di Wae Rebo, berbicara tanpa sopan santun dan menyuruh-nyuruh warga lokal secara sembarangan. Seakan uang yang mereka keluarkan bisa membeli seluruh hidup warga lokal di Wae Rebo. Seakan-akan mereka “terang” dan yang lain “gelap” (jika terang dianggap lebih superior).
Pada dasarnya, bertamu ke daerah orang, berarti kita perlu menyesuaikan cara yang ada di sana, setidaknya sopan santunnya dan menghindari apa yang membuat orang daerah tersebut tidak nyaman. Namun, mungkin juga mereka berpikir bahwa mereka lebih “tinggi” atau “beradab”, sehingga terkadang mereka melupakan sopan santun yang perlu diterapkan di daerah tujuan; Hal yang pastinya tidak akan mereka lupakan saat bertemu atasan di kantor mereka.
Berbeda dari hal tersebut, pengalaman saya justru mengatakan sebaliknya. Saat bagaimana orang lokal di sebuah Kabupaten Fakfak melarang saya ketika itu untuk menaiki kapal guna melanjutkan perjalanan ke pulau terdekat. “Akan datang hujan besar”, katanya. Padahal saat ini kondisi sangat cerah. Namun ternyata, beberapa jam kemudian hujan lebat turun. Katanya, dari suara dan angin dia bisa merasakan bahwa hujan besar akan tiba. Bagi saya yang minim pengetahuan dan komunikasi dengan alam, itu adalah hal yang luar biasa. Hal tersebut luput diperhatikan bagi kita yang tinggal di kota.
Hal tersebut merupakan tamparan yang cukup keras bagi saya. Ternyata saya sangat tidak peka terhadap alam. Berinteraksi dengan alam saja saya hampir tidak pernah. Saya sibuk dengan diri sendiri.
Gelap dan terang: tinggi yang mana?
Masalah mengenai gelap dan terang tidak selesai sampai di situ. Ingatan saya kembali memunculkan sebuah pikiran tentang bagaimana mereka yang tinggal di kota, mencoba seakan-akan perlu bertoleransi dengan mereka yang tinggal di daerah minim pembangunan. Mungkin juga karena merasa lebih “tinggi”, tentu mereka merasa perlu membantu orang-orang di daerah tertentu. Pemberian sepatu, pakaian, dan lain sebagainya. Permasalahannya, belum tentu mereka membutuhkan semua itu.
Cara berpikir seperti ini sering dikaitkan dengan cara pandang pro-poor tourism yang datang dari dunia barat. Mereka yang merasa lebih maju, melakukan perjalanan untuk membantu si miskin. Padahal mereka juga belum tentu mengerti benar-benar kebutuhan dan budaya warga setempat. Atau bahkan, dengan pemberian barang-barang tersebut, malah menciptakan cara pandang baru bagi warga; bahwa jangan-jangan mereka membutuhkannya? Padahal belum tentu aslinya mereka butuh. Jadi kebutuhannya adalah hasil ciptaan para pelancong.
Terlalu berbelit memang. Namun, dari berbagai persoalan tersebut, bagi saya pribadi muncul-lah rasa hormat pada mereka yang masih hidup dengan kesederhanaannya dan dekat dengan alam. Masyarakat yang mungkin sedang bahagia dengan berbagai “ke-minim-annya”. Karena bagi mereka, mereka memang tidak minim. Mereka punya segalanya. Tidak butuh lampu, kan ada matahari dan bulan.
Ah, rindu rasanya berada di tengah-tengah mereka. Memikirkan bagaimana warga di berbagai tempat berpikir hal-hal yang mereka anggap sederhana dan menyenangkan. Begitu hal yang mereka hadapi sehari-hari. Sedangkan kita? Di kota terlalu banyak masalah. Termasuk masalah listrik padam malam ini.
Selamat menikmati gelap. Pejamkan mata, jernihkan pikiran.
- Mati Lampu di Jakarta: Gelap dan Terang, Setara atau Timpang? - 14 August 2019
- Menjadi Kecil di Raja Ampat - 2 January 2019
- Sumber Air Su Dekat Kakak! Iya kah? - 15 August 2018