Mawar

Jamur raksasa buah material vulkanik muntah dari kawah Jonggring Saloko Gunung Semeru. Awan panas membumbung tinggi mencoreng langit biru, bersiap menerjang segala yang ada. Mawar melihat erupsi tersebut dengan sorot mata biasa-biasa saja. Pikirannya melayang-layang, jauh menyusuri luas cakrawala, menggapai-gapai suaka penuh misteri.

            Pekik suara orang-orang menyusup ke dalam telinganya. Tapi Mawar masih mematung. Matanya setia menjurus pada jamur raksasa. Maut dianggapnya serupa nasi goreng yang bisa lenyap kapan saja—berpindah ke dalam perut si pemakan. Sesekali Mawar menyingkirkan helai rambut panjang yang menutupi dua biji mata indahnya.

            “Mawar!” suara ibunya di kejauhan memanggil namanya.

            Mawar tidak bergerak. Ia pasrah menerima nasib. Hidup atau mati, di benak Mawar, hanyalah siklus biasa yang pasti dihadapi setiap manusia.

            Jamur raksasa di atas sana, mengingatkan Mawar pada nasi goreng jamur bikinan Didi yang belum lama ini ia makan. Sementara sayup-sayup pekik warga sekitar mengingatkan Mawar pada kenangan tentang Nunu; buram dan sangat jauh.

            “Mawar!” suara ibunya kembali terdengar. Mawar belum ada niatan untuk bergegas menyelamatkan diri. Biarlah, gerutu Mawar dalam hati.

            “Selamatkan dirimu! Kau baru saja beranjak perawan. Masih belia. Hidupmu bakal panjang.”

            Mawar sangat mencintai ibu dan mendiang bapaknya. Namun, suara ibunya kali ini, seperti keteguhannya tadi, belum sanggup menggerakkan tubuh Mawar untuk beranjak menyelamatkan diri.

            Wajah Didi dan Nunu berkelindan di indra penglihatannya, bercampur dengan material vulkanik Gunung Semeru. Mawar masih duduk di atas bongkahan batu besar di pinggir sungai. Situasi desa makin berisik oleh jerit warga dan raungan Jonggring Saloko.

            Mawar melihat jembatan penghubung dua desa roboh diterjang lahar dingin. Mawar belum yakin, peristiwa di depannya nyata atau hanya khayalannya saja. Tapi bayang-bayang Didi dan Nunu, dua laki-laki yang menggerogoti hatinya, terpajang jelas di hadapannya; melahirkan dilema.

            Bertahun-tahun silam, Mawar sudah memendam perasaan kagum terhadap Nunu. Lambat laun, rasa kagum itu berubah menjadi sayang. Namun, Mawar gengsi untuk menyatakan perasaannya kepada Nunu. Aku perempuan, pikir Mawar, lebih baik aku menunggu, biarlah Nunu yang menyatakan perasaannya kepadaku. Nunu pun tahu bila Mawar menyukainya, namun Nunu tak punya keberanian untuk menyatakan cinta.

            “Didi … Didi …” Mawar menjerit dalam hatinya. Mawar masih duduk di atas bongkahan batu besar. Sementara warga desa sibuk berlarian menyelamatkan diri. Ibu mawar datang mendekat.

            “Kita harus menyelamatkan diri, Mawar!” kata si ibu sambil ngos-ngosan.

            “Mawar di sini saja,” balasnya, tenang. “Ibu saja yang menyelamatkan diri. Mawar pasti selamat. Semeru tak akan melukai Mawar.”

            “Kau lihat itu,” ibu Mawar menunjuk ke arah sungai. “Lahar dingin merobohkan jembatan. Itu juga,” ibu Mawar menunjuk Mahameru, Puncak Gunung Semeru. “Awan panas bakal menerjang desa kita.”

            “Mawar di sini saja,” desis Mawar, lebih kepada dirinya sendiri. “Mawar baik-baik saja.”

            “Jika itu pilihanmu. Lakukanlah! Ibu juga percaya kau akan baik-baik saja.”

            Mawar menganggukkan kepala. Lalu ibunya mencium kening Mawar, sangat lama dan penuh kelembutan.

            “Segeralah nanti menyusul ke tempat yang aman. Ibu akan menyelamatkan diri ke arah balai desa.”

            “Iya,” Mawar berkata pasrah. “Ibu pasti selamat. Semeru menyayangi kita semua.”

            Ibu Mawar mengecup kening anak perawannya sekali lagi, kemudian berlari menuju ke sebuah arah bersama warga desa yang kocar-kacir.

             Hujan pasir halus menggerayangi desa. Rambut hitam Mawar berubah menjadi kelabu. Kulitnya yang putih kemerahan, pun menjadi kelabu tersepuh oleh abu vulkanik. Mawar tidak mempedulikan dirinya dan situasi sekitar yang bertambah kacau. Pikirannya melayang ke masa tiga tahun silam, ketika pertama kalinya bertemu Didi di Ranu Kumbolo. Lebih jauh lagi, pikirannya melayang ke masa lima tahun silam, ketika pertama kalinya bertemu Nunu di pasar kecamatan.

            “Ada baiknya kamu memilih Didi,” kata teman Mawar, gadis seusianya. “Didi sudah berani melamarmu.”

            “Tapi Nunu datang lebih dulu di kehidupanku,” potong Mawar.

            “Tapi Nunu laki-laki pengecut,” teman Mawar gantian memotong. “Nunu hanya memberimu ketidakpastian. Nunu tidak berani melamarmu.”

            Lamunan Mawar buyar ketika kakinya diseruduk oleh kucing hitam. Sementara, letusan dari arah Mahameru makin menggelegar. Langit menjadi redup. Ada gulungan awan hitam membentuk liukan kucing di cakrawala. Mawar mendongak ke atas sangat lama, kemudian meraih kucing hitam di dekat kakinya, lalu memangkunya.

            “Kau tak ingin menyelamatkan diri?” tanya Mawar pada kucing kesayangannya.

            Si kucing hanya mengeong kencang, seolah-olah menjerit seperti manusia, mengabarkan kepada Mawar bahwa ia akan menemani majikannya di bongkahan batu besar.

            “Sebaiknya kau mencari tempat aman!” kata Mawar, dan si kucing menggelengkan kepalanya beberapa kali.

            “Dasar kucing keras kepala.”

            Si kucing hitam membawa Mawar kembali menggeledah kenangan. Mawar tak kuasa menghindari amuk gelombang masa silam. Dahulu, Nunu datang ke rumah Mawar sambil membawa kardus berisi bayi kucing hitam. Mawar memang menyukai kucing. Beberapa bulan kemudian, ketika si kucing hitam sudah agak besar, Mawar mengajaknya naik ke Semeru.

            “Kau tak ikut naik Semeru?” tanya Mawar kepada Nunu.

            “Tidak, Mawar!” balas Nunu. “Aku tak suka naik gunung.”

            “Baiklah, aku akan mengajak si hitam.”

            Maka berangkatlah Mawar bersama rombongannya mendaki Gunung Semeru dari jalur Ranu Pani. Mawar menaruh si hitam di dadanya, menggantung pada sebuah tas gendongan. Sesekali, si hitam melompat ke jalan setapak, melakukan pendakian seperti manusia yang ia lihat; berjalan. Ketika merasa lelah, si hitam kembali melompat ke arah Mawar, kembali meringkuk di dalam gendongan.

            Setibanya di Ranu Kumbolo, si hitam melompat kembali. Ia berlarian menghampiri barisan tenda yang dikerubuti kaum pendaki. Si hitam tampak senang. Hidungnya menghampiri sumber bau ikan asin yang digoreng oleh seorang pendaki. Bukan hanya si hitam, Mawar dan kawan-kawannya pun terteror bau ikan asin yang bikin perut keroncongan.

            “Hitam! Hitam! Jangan nakal!” pekik Mawar ke arah si hitam yang bertengger di sebelah seorang pendaki. Dan, betapa terkejutnya pendaki itu ketika melihat seekor kucing hitam. Pendaki itu berlari, seolah-olah melarikan diri dari kejaran monster paling mengerikan. Sedangkan si hitam terlihat kebingungan; antara mengejar si pendaki atau menerjang ikan asin. Beruntung Mawar lekas-lekas menggendongnya.

            “Mengapa teman kalian lari?” tanya Mawar ke kawanan pendaki yang menggerombol dekat penggorengan ikan asin.

            “Oh, dia takut kucing,” jawab salah satu di antara mereka.

            “Di … Didi … Kemari! Kucingnya jinak,” seorang lainnya berteriak memanggil pendaki yang lari ketakutan melihat kucing hitam.

            Sekembalinya Didi di lokasi camp, ia disemprot ledakan tawa oleh kawan-kawannya. Ejekan bernada hangat terlontar dari mulut kawan-kawannya. Tak ketinggalan, Mawar buru-buru meminta maaf karena kucing hitamnya sudah membuatnya takut.

            “Maaf ya, kucing hitam ini sudah membuatmu takut.”

            “Saya maafkan,” jawab Didi, kebingungan.

            “Tapi tenang, si hitam tidak galak. Dia jinak,” kata Mawar sambil mengelus kepala kucingnya yang meringkuk di gendongannya.

            “Saya kira itu kucing liar.”

            “Bukan, dia kucing kesayangan saya. Oh ya, saya Mawar. Kamu?”

            “Panggil saja Didi.”

            “Ngomong-ngomong mengapa takut kucing?” tanya Mawar penasaran.

            “Tak ada alasannya. Sejak lama saya takut kucing.”

            “Kamu dari mana?”

            “Surabaya. Kamu?”

            “Saya tinggal di lereng Semeru. Kini kuliah di Malang.”

            “Wah, berarti sudah sering ke Mahameru?”

            “Tak bisa dihitung dengan jari. Kamu?”

            “Ini untuk pertama kalinya.”

            Penggeledehan Mawar perihal masa silam buyar ketika teman sebayanya datang menghampiri Mawar pada bongkahan batu besar. Gadis itu datang sambil napasnya megap-megap.

            “Kau mau mati di sini?”

            “Tidak ada yang mati. Aku percaya Semeru tidak berniat jahat pada kita.”

            “Tapi coba kau lihat dan rasakan! Letusan makin menjadi-jadi.”

            Barulah di sini Mawar sadar dan merasakan kulit serta rambutnya sudah tertutup abu vulkanik.

            “Tadi ibumu bilang kau sedang duduk-duduk di batu besar. Aku disuruh membujukmu.”

            “Tak perlu!”

            “Tak perlu katamu?”

            “Aku tahu kapan waktu yang tepat untuk menyelamatkan diri.”

            “Kau sudah gila.”

            “Aku bingung.”

            “Aku tahu. Tapi kau harus mengambil keputusan. Terima lamaran Didi atau kau menyatakan perasaanmu kepada Nunu.”

            “Aku perempuan. Aku harus menunggu Nunu menyatakannya padaku.”

            “Sudah kubilang, Nunu laki-laki pengecut. Dia tidak berani menyatakan cinta padamu. Seperti kataku dulu, terimalah laki-laki yang berani melamarmu dan memberimu kepastian. Aku tahu, kau sebenarnya juga suka dengan Didi, tapi kau merasa tak enak dengan Nunu.”

            Mawar tak sanggup berkata-kata lagi. Mawar hanya mengelus-elus si hitam di pangkuannya, sambil sesekali Mawar melirik ke arah Mahameru.

            “Sekarang apa keputusanmu, Mawar?”

            “Aku harus menyusul ibuku.”

            “Segeralah! Didi kebetulan ada di Lumajang. Sekarang Didi sudah ada di balai desa bersama ibumu.”

            “Sungguh?”

            “Tak ada gunanya aku berbohong.”

            “Nunu di mana?”

            “Buat apa kau tanyakan laki-laki pengecut itu. Nunu dan keluarganya sudah meninggalkan desa ke arah kota. Tak ada secuil pikirannya untuk datang menyelamatkanmu.”

            “Lihatlah jamur raksasa di atas sana!” kata Mawar. Temannya mendongak ke atas.

            “Nah, kau lihat sendiri, bukan,” jawab temannya. “Sebentar lagi awan panas akan datang kemari.”

            “Ayo!” ucap Mawar.

            Mawar bergegas meninggalkan bongkahan batu besar, sambil menggendong si hitam. Mawar berlari. Teman sebayanya mengikuti dari belakang. Suasana desa makin mencekam. Letusan bertambah keras belasan kali. Langit mendadak hitam pekat. Di kejauhan, Mawar menangkap ada sorot lampu senter dan seseorang memanggil namanya. Mawar hafal suara itu.

            Laki-laki pembawa senter itu kian dekat dengan Mawar.

            “Aku ke rumah warga lainnya, membantu proses evakuasi,” kata teman sebayanya. “Itu sudah ada pangeranmu.”

            Mawar berlari menuju cahaya senter. Si hitam melompat dari dekapan Mawar dan menerjang laki-laki pembawa senter. Si hitam kini berpindah pada gendongan laki-laki pembawa senter.

            “Hitam! Jangan nakal!” pekik Mawar.

            “Tak apa-apa, Mawar. Biarkan saya yang menggendong si hitam.”

            “Sejak kapan kamu tidak takut kucing, Didi?”

            “Tidak ada yang perlu ditakutkan di dunia ini kecuali …” kalimatnya berhenti. Ia belum mampu meneruskannya.

            “Kecuali apa, Didi? Kalimatmu belum tuntas.”

            “Aku takut kehilangan kamu, Mawar.”

            “Aku tahu!”

            “Ayo! Kita harus menuju tempat yang aman.”

Eko Darmoko
Latest posts by Eko Darmoko (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!