
Seorang kiai “ditegur” oleh dokter langganannya yang sedang sowan ke rumah beliau gara-gara rokok.
“Pak Kiai, apa Sampeyan ndak pernah membaca jurnal, majalah, buku, atau link internet tentang temuan medis terhadap bahaya merokok bagi kesehatan, ya?”
“Ya tentu sudah,” jawab sang kiai. “Makanya saya kemudian berhenti.”
“Lha kok masih merokok terus begini…?”
“Berhenti membacanya.”
****
Seseorang berkata kepada sang kiai. “Pak Kiai, Sampeyan merokok terus begitu, apa tak takut mati, ya?”
“Lha kok repot. Kalau mati tinggal dibakar lagi aja.”
****
Seseorang berkata kepada sang kiai yang sedang ngobrol ringan tentang potensi hidup sehat dan berumur panjang. Lalu tibalah obrolan itu ke ihwal rokok.
“Pak Kiai, secara teoretis kan jelas bahwa hidup sehat bagian dari usaha meraih umur panjang. Merokok jelas bukan gaya hidup sehat, berarti…”
“Lha umur panjang tapi ndak merokok, mau ngapain? Masak saya cuma ngemut permen kayak bocah SD?”
****
Kiai Faizi sowan kepada seorang kiai sepuh. Sembari menunggu kiai sepuh keluar, ia membakar rokok di ruang tamu. Ditemani putra kiai sepuh tersebut.
Tak lama berselang, putra kiai sepuh berbisik pada kiai Faizi. “Abah datang….”
Spontan kiai Faizi mematikan rokoknya, menyimpan asbak. Ia lakukan itu demi menghormati kiai sepuh yang dikabarkan mengidap gangguan pernapasan dan telah berhenti merokok.
Kiai sepuh itu masuk ke dalam ruang tamu itu sambil kebal-kebul. Sebatang rokok terjepit di jemarinya.
Kiai Faizi menjamah rokoknya lagi, lalu membakarnya. Ia pun bertanya kepada kiai sepuh, “Saya dengar Panjenengan sudah berhenti merokok karena gangguan pernapasan….”
“Ya gimana, ya, kalau ndak merokok kok ya ndak enak, mau ngapain juga….”
“Apa dokter langganan Pak Kiai tak melarang Panjenengan merokok, ya?”
“Wah, dokter itu bukan hanya melarang, tapi pakai marah-marah segala, ngancam-ngancam mati segala. Saya jadi malas mau konsultasi lagi….”
“Berarti sudah ndak pernah ke dokter itu lagi, Pak Kiai?”
“Ini, semingguan lalu kayaknya, saya ke sana.”
“Lho, katanya sudah tak konsultasi lagi, Pak Kiai?”
“Iya, ndak lagi.”
“Barangkali ada hajat lain ya main ke dokter itu?”
“Iya, takziah, seribu harinya. Saya juga telat dengarnya….”
****
Kisah-kisah tersebut sungguh bikin saya ngekel ndak keruan. Ngakak. Dalam cekikikan Gus Lord Rio Tedjo Cahaya Asia, ia layak dipungkasi seruan, “Mdrcct….”
Lihatlah, saya tunjukkan kali ini, betapa “mdrcct” tidaklah lantas sahih begitu saja ditabalkan sebagai cacian dan makian. Ia jelas punya konteks, sorge, dan darinyalah lalu terbangun maksud semiotiknya.
Begitu lho hidup ini bekerja, beserta seluruh media, atribut, dan simbol yang kita jejalkan dan pakai keseharian. Pada langgamnya masing-masing, jelas benar betapa hidup ini adalah hidup saja. Ia begitu saja.
Ihwal Anda mau menyebut suatu realitas, waktu, dan dinamika di dalam hidup sebagai umpama “kemajuan” atau “kemunduran”, lalu dengannya Anda membangun postulasi-postulasi hidup yang begini atau begitu—paling nyata dalam bentuk resolusi-resolusi setiap awal tahun—pada kenyataan yang hakiki bukankah Anda tak benar-benar pernah ke mana-mana, ya?
Umpama betul Anda menanjak secara finansial di awal tahun ini, tetap saja Anda tak beralih dari satu hidup ke hidup lain. Peralihan yang Anda rasakan, juga ungkapkan, sejatinya hanyalah ulah “atribut-atribut baru” yang Anda jadikan “simbol-simbol baru” dan kemudian “makna-makna baru”.
Pertanyaannya: apanya yang baru sesungguhnya?
Lahiriah. Artifisial. Slapstik. Permukaan. Adapun kedalamannya, yang faktanya di sumbu inilah semua kita mengeksistensi hidup tanpa mampu membantahnya, selalu sama saja.
Masih sangsi?
Begini. Jika Anda yang hari ini merasa kekurangan secara finansial mengandaikan hidup Anda akan jauh lebih yosh bila memiliki penghasilan dua kali lipat dan mampu mengatur keuangan dengan disiplin tinggi sesuai fatwa-fatwa perduitan Mas Haryo, misal, cobalah Anda ingat hidup Anda tiga atau dua tahun lalu.
Apakah atribusi hidup Anda benar-benar sama dengan masa silam tersebut? Jelas tidak! Anda sih memang telah mengalami perubahan dan Anda lazim menyebutnya “kemajuan”. Tapi apa yang Anda rasakan kini? Lalu babarkan semeja dengan apa yang Anda rasakan dulu?
Halah, sama belaka ternyata!
Yaaa, kita ini sungguh-sungguh hanyalah gugusan impian! Hari-hari kita keduk dan susun bagai mainan pasir di pantai, kita sebut gugusan baru hari ini sebagai postulasi hidup yan lebih baik, resolusi, bahkan kita daftar sedemikian detailnya untuk dilakoni dengan begini-begini diimpikan. Semua petuah perduitan Mas Haryo diamalkan dengan lebih disiplin ketimbang niat lama mendawamkan surat al-Mulk setiap senja dan fajar yang tak kunjung diejawantahkan.
Kita sendiri yang membuat postulasi-postulasi baru itu, menyusun pasir-pasir di pantai itu, semakin tinggi, tinggi, dan tinggi, kemudian kita berlakukan pada diri sendiri, maka kini tanyalah: barunya di mana dan (tanya lagi kemudian) apakah ia ada batasnya?
Tidak! Anda akan terus menyusunnya lebih tinggi dan lebih tinggi lagi, padahal Anda tak pernah benar-benar telah ke mana-mana dengannya, atau lalu akan ke mana-mana berikutnya. Anda tetaplah Anda yang tetap berjibaku dengan postulasi, resolusi, gugusan pasir pantai. Anda tetap di sini, begini, seperti ini, dalam hidup yang begini.
“Mdrcct,” kata Gus Lord Rio.
Saya ingat sebuah tulisan kecil Bang Im, seorang kawan dari Ternate. Ia berkata, “Luka yang tak terasa ialah luka yang tumbuh dari dalam, tapi ia terus menggerogoti hari demi hari dan lama-kelamaan memakan jiwa dan tubuh hingga mati meninggalkan nama.”
Postulasi-postulasi, resolusi-resolusi, adalah kesejatian luka-luka yang kita ciptakan dan sematkan pada jiwa kita sendiri. Kita terus biakkan itu di dalam hati, rohani, lalu merembes ke pikiran, ke alam perilaku yang menjelma kenyataan, sehingga hidup ini terasa sangat kerap tidak adil, buruk, keras, dan menyakitkan.
Kita pupuk hal-hal melukai dan menyakiti begitu ke dalam gugusan hari-hari kita dengan tragis, sepanjang masa dan hayat, dan kita menyatakannya dengan jemawa sebagai terbosan impian, cita-cita, harapan, resolusi, postulasi hidup.
Kita pancangkan setiap gugusan itu sebagai jalan kebahagiaan hidup kita, tapi nyatanya kita terbunuh karenanya. Berikutnya, kita bikin lagi hal serupa dengan bingkai-bingkai terbaru, dan lagi-lagi kita terbunuh. Tak kapok, kita bikin lagi. Terus lagi, terus begitu, sampai pada suatu titik, dalam pekur yang panjang, dalam, dan penuh kerapuhan, kita menggumam: “Mdrcct….”
Jika Anda telah mencapai gumanan tersebut dengan hakiki, rengkuhlah ia karena itu adalah isyarat sunyi yang maha mengerti betapa Anda memang harus berhenti. Mdrcct tiada guna bagi Anda yang terus berlari….
Gus Dur ditanya, “Gus, siapa sebenarnya yang diperintahkan disembelih antara Ismail dan Ishak? Ini penting, Gus, untuk meluruskan sejarah.”
Gus Dur menjawab, “Yang penting keduanya selamat to.”
Kafe Basabasi Sorowajan, Jogja, 12 Januari 2019
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019