MDRCCT

kafe basabasi

Ada pengunjung kafe datang membawa ransel besar. Ia letakkan ransel itu di atas meja, lalu ditinggalkan begitu saja tanpa cemas hilang, menuju kasir, meminta segelas air panas. Lalu ia kembali ke kursinya dengan membawa segelas air panas itu. Menemui ranselnya lagi. Membukanya. Sejurus kemudian, ia aduk sasetan kopi susu di dalam gelas itu. Menggunakan bekas plastik saset yang dilipatkan sedemikian rupa menyerupai fungsi sendok. Ia mengaduknya agak lama. Lalu menyeruputnya dengan tenang. Membakar sebatang rokok lintingan.

Ia kemudian mengeluarkan laptop dari ranselnya. Menyalakannya. Lalu mulai menulis puisi….

Saya terbahak mendengar tuturan tersebut. Betul, saya tak menyaksikannya, hanya mendengarnya dari seorang kawan Yusri.

Yusri kemudian melanjutkan ceritanya.

Teman ngopinya, bernama Toni, bila datang ke Kafe Basabasi Sorowajan bisa bertahan dari pagi sampai sore hari. Begitu baru tiba, ia pesan secangkir kopi AGM seharga Rp.5.000. Ia merokok, menyalakan laptop, entah mendesain atau menulis apa.

Sesekali ia bangkit dari duduknya, pergi ke luar kafe Basabasi, menuju kafe di sebelah, dan tak lama lagi kembali. Yusri pernah bertanya, pergi ke mana? Jawabannya begini: ke kafe sebelah, minum air putih. Di sana kan ada dispenser umumnya, air isi ulang.

Dalam seharian, ia bisa tiga atau empat kali ke kafe sebelah, dan kembali lagi melanjutkan ngopi dan ngetiknya.

Begitulah. Saya kembali terbahak.

Sejumlah orang, ini bagian yang saya kerap menyaksikannya sendiri, memasuki Kafe Basabasi Sorowajan dan langsung menuju bagian belakang. Bukan kasir. Menuju toilet dan mushalla. Mereka melaksanakan shalat dengan tenang.

Sejurus kemudian, mereka melenggang dari belakang kafe dan terus keluar, melindap ke kafe sebelah, dan melanjutkan nongkrongnya di sana.

Suatu malam, saya mengajak kawan menemani ngopi di Kafe Basabasi Sorowajan. Ia memesan kopi dan sepotong roti. Semuanya seharga Rp.7.000. Kami pun berbincang selama nyaris lima jam, lalu saya pamit.

Ia pun turut pamit, pulang.

Jika Anda punya waktu longgar, dan sedang di Jogja, bila sempat datanglah ke kafe-kafe di seputaran Sorowajan Jogja ini. Anda akan menyaksikan langsung denyut kesemarakan orang-orang melakoni hidupnya dengan ringan, tenang, santai, dan sederhana.

Tak ada ketergesaan. Tak ada ketegangan. Tak ada kerut-kerut wajah yang menyiratkan betapa hidup ini sangat berat, pelik, dan harus diburu-buru.

Jika Anda ingin mencari panorama lainnya, datanglah sehabis Subuh. Betul, saat kafe ini tutup di bagian pesanan dan kasirnya, tidak berarti lalu semua orang pergi. Tidak. Sebagian melanjutkan dengan sisa kopinya yang tentunya sudah dingin karena telah dipesan sejak berjam-jam lalu. Sebagian lainnya, kebanyakan, tergeletak tidur dalam berbagai pose dan posisi.

Mereka tidur dengan tenang, tenang, dan tenang.

Sejumlah orang yang datang dari luar kota dan tidak memesan penginapan di Jogja, atau karena suatu kondisi tak memungkinkan baginya untuk pulang ke kos, lazim saja menginap di kafe-kafe ini. Ada yang tidur di lesehan-lesehan, bersebelahan dengan orang-orang lain yang boleh jadi tak pernah dikenalnya, atau baru kenal wajahnya. Sebagian lain menggeletak di barisan kursi yang mereka tarik dan tata memanjang bagai bangku.

Ketika meraka bangun, tentunya mereka segera menuju toilet, membersihkan diri—tidak berarti mandi—dan kembali ke kursinya, memesan kopi panas di pagi hari, dan memulai aktivitasya lagi. Seharian lagi, semalaman lagi. Dan terus begitu, sampai berhari-hari.

Banyak kolega dan kawan saya dari luar kota, terutama Jakarta, yang tergeleng-geleng penuh heran. Pertanyaan umum mereka sejenis ini: bagaimana bisa bisnis kafe ini dijalankan dengan cara sedemikian rupa?

Saya terbahak.

Jawaban saya kemudian beraras begini: betul, ini adalah bisnis. Tapi bisnis kan tidak harus terukur semata dari transaksi dan uang.

Mereka mengangguk-angguk—meski saya yakin tak benar-benar memahami, apalagi sepaham, tuturan saya.

Biarinlah, tak ada kewajiban atau kepentingan bagi saya untuk menjelaskan dengan detail untuk membuka ruang pemahaman yang lebih dalam lagi kepada siapa pun. Jika yang terhunjam di benaknya adalah “gila, gendeng, tak masuk akal”, saya punya jawabannya, dengan menukil celetukan kondang Gus Lord Rio Cahaya Asia, “Mdrcct….” Nanti saya bocorkan artinya.

Untuk alasan dan pengalaman sejenis itulah, saya enggan meninggalkan Jogja. Jika tak benar-benar mendesak untuk suatu urusan, buat saya tiada yang lebih menarik dari atmosfer Jogja yang sejenis itu. Sekali lagi, yang sejenis itu.

Hidup butuh uang, jelas. Tapi di sini, di Jogja, di kafe-kafe mahasiswa yang bertabur bagai jamur di banyak pelosok kota ini, jika Anda mengkhidmati uang terlampau tingginya, Anda hanya akan menuai tertawaan. Atau parodi.

Suatu malam, pukul 22.00 WIB, seseorang dari luar Jogja bertanya kepada kami perihal toko buku lengkap yang masih buka. Ia bilang butuh banyak buku, mumpung lagi di Jogja.

Mas Hairus Salim HS tertawa sambil berkata, “Jogja tak seserius yang kau bayangkan, Bro….”

Saya ngakak. Ngakak untuk merayakan suatu “kebenaran Jogja” yang semakin hengkang—atau sengaja dijerengkangkan—dari isi kepala dan utamanya rohani kita di hadapan dinamika kehidupan yang memang sejatinya akan begitu-begitu saja sampai kiamat kelak. Anda mesti ingat, dari Jogjalah lahir dan menguar ke seantero negeri ini fatwa lawas yang maha asyik, “Ngunu yo ngunu ning ojo ngunu….

Jelas tak berarti semua orang Jogja begitu, semua spot kulinari Jogja begitu. Tidak. Tapi bahwa di Jogjalah Anda bisa meraup nilai-nilai hidup yang merawat benar kesederhanaan, apa adanya, kepedulian—yang diungkapkan atau tidak—hingga slownya ritme hidup, itu benar-benar ada sampai hari ini. Dan saya yakin akan terus eksis seiring dengan tersedianya ruang-ruang publik yang menyokongnya—termasuk kultur ngopi di lingkungan Sorowajan ini.

Bekerja ya bekerja, tapi ya jangan begitu; bercita-cita ya bercita-cita, tapi ya jangan begitu; berjuang ya berjuang, tapi ya jangan begitu; berbisnis ya berbisnis, tapi ya jangan begitu; menabung ya menabung, tapi ya jangan begitu; serius ya serius, tapi ya jangan begitu.

Saya kira Anda telah sepenuhnya memahami situasinya, kultur yang terawat, dan atmosfer kehidupan yang mengalir di dalamnya.

Suatu kali, orang-orang Jogja terperangah dengan praktik transaksi perduitan yang dilakukan sejumlah selebtweet dengan cara membuka jasa curhat dan membuat caption. WTF! Ada ya ternyata bisnis begituan? Akutnya lagi, ada ya ternyata konsumen yang merasa itu penting benar untuk dibayar?

Gus Lord Rio lalu membuat parodi: membuka jasa misuh. Memaki. Jika Anda ingin memaki orang lain dengan kaffah—baca: jejak makiannya sempurna menembus ulu hati hingga tujuh turunan—tapi Anda sungkan atau takut melakukannya, pasrahkan saja pada beliau.

Saya terbahak. Mdrcct! pekik saya dalam hati.

Apa sih makna mdrcct?

Tak ada padanan katanya, termasuk dalam KBBI. Ia adalah sebuah sorge, sebuah Jogja. Sebuah rumah kehidupan yang bila Anda memasukinya, Anda akan seketika merasa nyaman-nyaman saja menyeruput kopi seharga Rp.5.000 dari pagi sampai pagi lagi. Di dalam rumah tersebutlah, Anda akan memahami makna mdrcct. Saya jamin, Anda terbahak….

Jogja, 7 Januari 2019

Edi AH Iyubenu

Comments

  1. lee zhableng Reply

    Mdrcct apakah kependekan dari modar cocote? Atau modyaaarrr cocote? Atau modar cicite?

    Sebagai anggota permisuhan, saya hanya bisa mengartikan itu.

  2. Marwono Reply

    Orang kota tidak akan pernah paham… bagaimana nikmatnyaaa

  3. Darul azis Reply

    Saya juga kerap menyaksikan yang begitu2 itu Pak dan terkadang juga, sebagai orang yg ngoyo, saya juga heran bagaimana bisa mereka hidup dalam ritme yang seperti itu.

    Jogja ancen mboh og.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!