Memanjat Bukit Cahaya (Gradasi-Gradasi Ontologi Ala Mulla Shadra)

celoteh-pak-edi
beliefsoftheheart.com

Pada prinsipnya, semua manusia meyakini kemutlakan “Wujud” atau “Realitas”. Plato menyebutnya eidos (idea) dan Aristoteles menyebutnya morphe (forma). Sebagian kita kemudian menyebutnya Tuhan, sebagian lainnya menyebutnya “bukan Tuhan” (sebutlah hukum alam)—dan mulai persimpangan inilah lantas berbeda jalanlah kaum teistik dan ateistik.

Bila kedua pihak ini didekati dengan pertanyaan filosofis (seperti, bagaimana mereka bisa berseberangan padahal berpangkal pada penalaran yang sama perihal keberadaan “Wujud” atau “Realitas”), konsep ontologi Mulla Shadra (filsuf muslim terkemuka kelahiran abad 16 M di Syiraz, Iran, yang terkenal dengan gagasan al-harakah al-jauhariyah [gerakan substantif]) saya kira menarik untuk diangkat guna memberikan penjelasan memuaskan—dan berikutnya bisa kita gali untuk memperkaya paradigma keberagamaan dewasa ini.

Berbeda dengan pandangan Ibn ‘Arabi yang menyatakan Wujud sebagai Kesatuan-Tunggal, Shadra memiliki penjelasan sendiri yang secara ontologis berbasis pada tasykik al-wujud (hierarki eksistensial), sehingga Wujud yang Tunggal tidaklah (janganlah dipahami) Tunggal, tetapi menempias bagai pendar-pendar cahaya. Setiap kita senantiasa bergerak dalam mekanisme proses vertikal, dari bawah ke atas, menuju pada Wujud itu. Setiap proses gerakan itu menghadirkan keping-keping “Wujud” itu. Ia bergerak secara berundak dalam bentuk hierarki. Inilah yang dimaksudnya hierarki eksistensial, yakni jenjang-jenjang gerakan substantif (al-harakah al-jauhariyah) dalam suatu mekanisme proses (serupa “filsafat proses” Alfred North Whitehead yang mempengaruhi Charles Hartshorne) yang ditempuhi seseorang dalam hidupnya, yang akhirnya mengantar pada sebuah pencapaian. Apa pun itu capaiannya, demikianlah “posisi eksistensialnya”, dan itulah Realitasnya, Wujudnya. Maka, setiap proses (peristiwa atau kejadian) sejatinya adalah pula Realitas, Wujud.

Jika cara pandang ini dibalik dari posisi atas (Wujud, Realitas) ke bawah (kita), akan gamblang dimengerti mengapa Shadra juga menyatakan Wujud dalam tasykik al-wujud itu sebagai “gradasi-gradasi”. Mari bayangkan sebuah lingkaran dengan warna merah solid. Tegas, terang, dan tebal. Lalu, Anda memberikan polesan gradasi pada sisi-sisi lingkaran itu. Warna merah di tepian-tepiannya tidak sama dengan warna pusatnya yang tegas, terang, dan tebal. Warna-warna tepian itu jika digerakkan (al-harakah al-jauhariyah) ke titik pusat akan menegas, menerang, dan menebal. Begitulah ilustrasi tasykik al-wujud (hierarki eksistensial) dalam filsafat Shadra.

***

Sekarang, mari kita aplikasikan pemikiran mentereng Shadra ini ke dalam kehidupan nyata kita hari ini—setidaknya, agar pemikiran-pemikiran filsafat tidak selalu dicibir tidak membumi oleh kaum malas-mikir.

Di beranda kita, misal, tengah bergolak riuh perkelahian faksional seputar halal/haramnya mengangkat pemimpin nonmuslim. Perkelahian artifisial jelas, tetapi diimajikan substansial. Objek keributannya adalah “nonmuslim”, subjek yang saling sikut adalah sesama muslim, dan senjata yang digunakan adalah dalil dan riwayat yang sama. Sungguh perkelahian artifisial yang proficiat!

Dengan sama-sama menghunus senjata al-Maidah ayat 51, dengan jurus yang berbeda, kedua pihak berperang gagah berani—seolah sedang membela Wujud. Yang satu memperagakan jurus tekstualitas (hadharah al-nash) dan satunya lagi menyenaraikan jurus kontekstualitas (hadharah al-‘ilmi). Hasilnya, sama-sama terjatuh berkalang tanah dalam vonis “sesat dan kafir” dan “bodoh dan cupet”!

Bila ayat 51 dari surat al-Maidah itu diposisikan sebagai Wujud Eksistensial dalam paradigma Shadra, sejatinya dua jurus yang dipergunakan itu adalah dua wujud (dengan “w” kecil) gradasi dalam skema tasykik al-wujud (hierarki eksistensial). Gradasi versus gradasi.

Sudah tentu, secara ontologis, sesama hanya sebuah gradasi, keduanya asalinya semata bagian dari tasykik al-wujud (hierarki eksistensial), gradasi, yang dicapai oleh al-harakah al-jauhariyah (gerakan substantif). Antarpihak tentu saja lazim berbeda bentuk gradasinya.

Mari ingat lagi prinsip filsafat Shadra, bahwa pencapaian proses apa pun, di hierarki apa pun, adalah gradasi-gradasi Wujud Eksistensial belaka. Adapun  titik pusatnya yang solid, tegas, terang, dan tebal warnanya (Kebenaran Mutlak takwil al-Maidah ayat 51), siapa lagi kalau bukan Allah yang mengotorisasinya secara tunggal.

Mestinya, epistemologi ini telah bernas betul untuk membuat kita insaf betapa asalinya kita semua senantiasa berada di dalam pusaran mekanisme proses al-harakah al-jauhariyah (gerakan substantif) yang lantas membuahkan suatu titik dalam tasykik al-wujud (hierarki eksistensial) itu. Kita hakikatnya hanyalah peraih gradasi-gradasi Cahaya, yang sama-sama sedang berjuang memanjat bukit Cahaya itu. Kita sama sekali bukanlah Cahaya itu; bukan Realitas, bukan Wujud Eksistensial, bukan kebenaran ayat, bukan Tuhan.

Maka, bagaimana mungkin kita tidak malu untuk getol berpongah hati mendapuk diri sebagai pemangku Cahaya itu; bahwa gradasi kita adalah Wujud Eksistensial itu dan gradasi orang lain adalah wujud belaka, parah lagi, wujud yang salah, sesat, karenanya harus ditinggalkan.

Bila Anda mengernyit bahwa mazhab yang dianut atau guru yang diamini sudah sewajibnya diyakini sebagai prinsip dan kebenaran dalam hidup seorang muslim, Shadra pun demikian adanya—pula saya. Kendati Shadra sealiran dengan Whitehead dalam epistemologi “mekanisme proses”, tetapi secara ontologis ia telak berbeda. Bila Whitehead meletakkan mekanisme proses dalam langgam logika relasional (misal, tidur bisa memberikan kesehatan pada tubuh), sehingga yang dikenalnya hanyalah relasi-relasi horizontal (zat-zat dan benda-benda, bukan peristiwa dan kejadian), Shadra mengembangkan logika substansial yang bergerak secara vertikal (al-harakah al-jauhariyah). Shadra, dalam tamsil tidur bisa menyehatkan tubuh tadi, melibatkan bukan hanya logika relasional ala Whitehead (tubuh secara alamiah perlu diistirahatkan), tetapi juga perkara psikologis, ekologis, dan tentu spiritual. Inilah bedanya Sharda yang “berfilsafat proses vertikal” (spiritual) dengan Whitehead yang “berfilsafat proses horisontal” (natural). Inilah bedanya ontologi filsafat proses sekuler ala Whitehead dengan filsafat proses Islam ala Shadra—masihkah Anda akan bersikukuh memvonis berfilsafat itu  haram dengan tudingan menyesatkan dan melemahkan iman?

Nyala terang sekali bukan betapa segala apa yang kita rayakan sebagai keyakinan, kebenaran, dan prinsip hidup seorang muslim, sama sekali tidak perlu dicemaskan akan luntur, apalagi tercabik-cabik, oleh filsafat, oleh Mulla Shadra. Ini hanya perkara senarai-senarai ontologis—dan berlaku pada semua aliran filsafat.

Shadra justru memperluas, memperkaya, dan memperdalam alasan-asalan theomorfis pada pikiran dan jiwa seorang muslim, sehingga gerakan-gerakan ontologisnya bisa menisbahkan kedalaman-kedalaman makna dalam menancapkan ekspresi hablun minallah dan hablun minannas.

Shadra telah mewariskan sebuah cara pandang yang berharga bagi kita untuk piawai sekaligus adil dalam mendudukkan diri di hadapan Sang Wujud: bahwa ia adalah sebuah gerakan substansial di antara jenjang-jenjang Wujud-Tunggal itu, bagian dari sebuah gradasi yang bersebelahan dengan gradasi-gradasi lain dan gradasi-gradasi lainnya lagi, dan lainnya lagi, dan demikian seterusnya.

Purwokerto, 14 Oktober 2016

*) Judul esai ini diadaptasi dari buku Kuswaidi Syafi’ie, Memanjat Bukit Cahaya.

Edi AH Iyubenu

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!