“Membaca” Bir, “Minum” Puisi

Pada hari-hari sering hujan, penulis memilih mencari “teduh” bersama buku-buku dan majalah-majalah bekas di Gladak, Solo, Jawa Tengah. Tatanan ribuan buku dan majalah selalu memanggil mata dan tangan. Detik-detik bersama mendung, mata mencari-melihat buku dan majalah “wajib” dimiliki sering memakai tata cara berutang. Tempat itu semakin sepi. Adegan mencari buku dan majalah tak seru gara-gara sulit mencari “musuh” atau pesaing.

Majalah demi majalah terpilih menjadi tumpukan agak tinggi. Percakapan pendek dengan pedagang berlangsung dicampuri lelucon-lelucon murahan. Siang itu mendung. Penulis malah merasa “cerah”,  setelah setumpuk majalah dan buku lawas boleh dibawa pulang. Di rumah, majalah-majalah dibaca saat sore masih gerimis. Segelas teh panas dan gorengan mengesahkan ibadah membaca, setelah peristiwa mencuci pakaian dan menyapu beres. Sore dingin perlahan “terhangatkan” kata-kata dan gambar di majalah.

Basis edisi November 1952 memuat tulisan apik berjudul “Demokrasi dan Pemilihan Umum” oleh G Sumitra dan “Pudjangga Baru dan Angkatan 45” oleh Slamet Muljana. Sebiji tempe gembus untuk merampungkan dua artikel pendek. Dulu, orang-orang pintar membagi tulisan berkhasiat di majalah-majalah. Sekian pembaca jadi mengerti meski Indonesia masih memiliki puluhan juta orang belum melek-aksara. Pada saat makan lentho, mata melihat iklan kece. Di halaman 64, iklan minuman bir. Segelas teh panas diejek iklan! Kita simak iklan bir bergambar mobil dan botol: “Semua kenal Java Bier. Sekarang Java Donker djuga.”

Iklan bir di Basis tak cuma satu. Teh di gelas mau habis. Teh belum ingin digantikan bir untuk menjalani sore-sore di rumah. Sore itu teh, belum sore itu bir. Basis memang ngebir tapi pembaca minum teh saja. Di halaman 74, iklan sehalaman memberi godaan besar: “Menambah Semangat! Minumlah Bir Hitam Tjap Serimpi.” Di Jawa, orang-orang mengetahui serimpi itu tarian. Ketakjuban melihat para perempuan menari serimpi sering menjadi sumber penulisan cerita pendek, novel, dan puisi berbahasa Jawa dan Indonesia. Serimpi memang tari tapi serimpi juga ingatan pada bir. Botol bir itu memiliki tempelan bergambar penari. Gambar itu menularkan imajinasi bagi peminum untuk merasa sedang  menonton pentas tari dan mengagumi penari tak habis-habis? Dua lelaki meminum bir. Eh, botol bir memasang gambar penari! Bir perlahan mengajak ke pengelanaan imajinasi lelaki-perempuan.

Dua iklan bir mengartikan para penulis dan pembaca majalah Basis masa lalu sudah biasa minum bir, selain teh, kopi, dan susu. Sejarah menerbitkan majalah ingin memberi bacaan bermutu ke publik mendapat sokongan dari perusahaan atau distributor bir. Iklan-iklan itu menjelaskan hubungan iklan dan rutinitas penerbitan majalah memuat pelbagai tema: politik, ekonomi, pendidikan, sejarah, sastra, linguistik, agama, dan filsafat. Ingat bacaan “menghangatkan” atau menambahi “semangat”, ingat bir.

Pada masa 1950-an, majalah-majalah politik, hiburan, seni, dan keluarga lazim menerima pelbagai jenis iklan. Bir termasuk iklan penting tanpa perdebatan ganjil. Kita masih berjumpa iklan bir di Basis edisi Juli 1953. Iklan memasang wajah-wajah sumringah: “Selalu menjegarkan! Minumlah Java Bier Tjap Rumah.” Orang belum mau ribut mengetahui “serimpi” dan “rumah” dipilih menjadi cap bir. Cap-cap aneh tapi mengisahkan orang-orang sadar seni dan mengerti peran rumah di alur revolusi Indonesia.

Pada masa 1960-an, iklan-iklan bir masih tampil di pelbagai majalah. Orang mungkin menduga iklan bir pada masa 1950-an dan 1960-an terasa memikat ketimbang iklan-iklan teh, kopi, susu, dan sirup. Di majalah Basis edisi Desember 1961, iklan bir hadir bersama artikel-artikel keren buatan N Drijarkara dan Dick Hartoko. Iklan besar dari Anker Bier memiliki janji ke peminum: “Kawan Anda Dalam Dahaga.” Oh, orang sedang membaca Basis kehausan lekaslah minum bir!

Puluhan tahun berlalu. Ingatan kita pada bir adalah ingatan ke “madjalah bulanan untuk masalah kebudajaan umum” atau “madjalah kebudajaan umum.” Pada masa berbeda, iklan-iklan bir mulai bersaing dengan pelbagai minuman. Bir mendapat hantaman komentar-komentar menggunakan pelbagai dalil. Pembaca majalah-majalah perlahan kehilangan iklan-iklan bir. Bir masih ada di toko dan warung tapi semakin sulit dilihat di halaman-halaman majalah.

* * *

Minuman menjelaskan identitas, pemikiran, agama, etnis, romantisme, hiburan, keluarga, dan kota. Indonesia memiliki ratusan jenis menimuman memawa sejarah, sejarah ratusan tahun lalu. Kedatangan bangsa-bangsa asing dari segala penjuru menambahi adab dan jenis minum. Di kalangan bangsawan, pemuka agama, seniman, buruh, dan pendidik, pengenalan dan pemberian arti minuman semakin ruwet dan mengandung risiko perbantahan panjang.

Pada awal abad XX, minuman-minuman asal Eropa jadi pilihan bagi penganut kemodernan. Di Jawa, minuman-minuman “baru” direkam di novel-novel berbahasa Jawa dan Indonesia. Pengertian mendapat pukau melalui iklan-iklan. Upacara atau pesta mulai memberi suguhan minuman-minuman bereferensi Eropa, tak lagi mutlak meneruskan tradisi para leluhur. Bir menjadi minuman idaman. Orang-orang ketagihan minum bir dengan mempertimbangkan tempat, waktu, suasana. Pilihan minum bir sendiri atau bersama juga menentukan khasiat ke jiwa-raga.

Sejarah Indonesia memiliki halaman-halaman bir. Orang mustahil membuat sangkalan atau meminggirkan bir di babak-babak kemodernan di Indonesia. Bir bukan sekadar minuman. Kita bisa simak di buku-buku biografi para intelektual dan seniman menunaikan pelbagai misi di Indonesia, sejak awal abad XX. Pada masa pemerintahan Soekarno berakhir, bir masih berperan di kerja literasi dan semaian intelektualitas meski bakal sampai ke senja muram.

* * *

Penulis masih ingin menikmati teh mulai mendingin di senja belum selesai bergerimis. Sekian majalah Basis sudah rampung disantap dan memberi percik ingatan ke masa lalu. Malam belum tiba, Intisari dibaca setelah menghabiskan bakwan. Di majalah Intisari edisi Oktober 1978, iklan bir ada di sampul depan sisi dalam. Iklan sehalaman penuh dan berwarna. Kita simak: “Kini, wajah bau bir San Miguel!” Lihat, tangan itu memegang botol dengan rupa anggun!

Tataplah iklan bir, sebelum membaca tulisan-tulisan di Intisari berjudul “Paulus VI, Paus Orang Miskin”, “Alexandra Tolstoy Mengenang Ayahnya,” “Vatikan Tidak Sekaya Diperkirakan Orang”, “Mitos Periuk Pelebur”, “Mengunjungi Tana Toraja”, dan “Menjadi Koki Istana Soestdijk Selama 42 Tahun”.  Iklan itu segar bagi pembaca mau serius memikirkan pelbagai hal di majalah Intisari. Kita simak: “Rasa segar, nyaman dan mantap dari bir San Miguel kini semakin digemari. Untuk mengikuti popularitas bir San Miguel ini, dengan bangga kami mempersembahkan kepada Anda wajah baru Bir San Miguel. Wajah baru internasional yang mengikuti selera zaman.” Bir kelas internasional, pilihan orang berduit dan menjalani hidup canggih. Bir itu ingin membujuk orang-orang meninggalkan bir-bir berkesan lokal?

Imajinasi internasional diberikan bir bagi para peminum di Indonesia. Orang minum bir menjadi “internasional”. Bir habis, ia kembali menjadi manusia lokal atau manusia Indonesia? Bir masih memiliki pesona di masa Orde Baru. Indonesia sedang ingin menjadi negara maju. Indonesia itu pembangunan nasional. Nah, lakon besar itu tatap memiliki catatan kaki bertema bir.

Kita mengingat bir dan Indonesia melalui majalah Tempo masa 1980-an. Majalah itu rajin memuat iklan-iklan bir. Majalah emoh kalah dengan nostalgia ngebir para pembaca Basis dan Intisari. Pada peringatan Hari Kemerdekaan, ada iklan bir bercorak nasionalisme di Tempo edisi 17 Agustus 1985. Iklan dua halaman. Iklan memberi seruan-seruan sejarah dan masa depan: “Kemerdekaan, milik berharga setiap warga Indonesia. diperoleh bukan hanya dari perjuangan bambu runcing. Tetapi juga dari semangat membara. Rasa nasionalisme. Dan kesatuan tekad. Perjuangan Indonesia tidak berhenti pada kemerdekaan. Ataupun sematan Bintang jasa. Indonesia kini setelah Pancawindu Merdeka, harus tetap membangun. Membangun dan membangun. Agar Indonesia tetap jaya. Selamanya.”

Siapa pembuat kalimat-kalimat tak enak dibaca? Perhatikan cara penulisan “Bintang jasa” dengan kesengajaan penggunaan huruf kapital berkaitan merek bir! Iklan diadakan oleh PT Multi Bintang Indonesia. Dulu, orang-orang mengenali Bir Bintang. Iklan seturut suasana Agustusan. Pembaca mungkin tertawa atau mbesengut. Bir mengingatkan sejarah dan nasionalisme. Bir Bintang dan Bintang jasa? Orang agak rumit mengartikan dengan terang dan benar.

Iklan heroik masih diberikan PT Multi Bintang Indonesia pada pembaca majalah mingguan “enak dan perlu.” Iklan memilih hari bersejarah. Di Tempo, 12 November 1988, kita membaca iklan bir sambil melihat foto heroik dari 1945. Foto lama itu menggugah imajinasi melawan kekuasaan-kekuasaa asing setelah Indonesia sudah mengabarkan proklamasi, 17 Agustus 1945. Perlawanan memuncak pada 10 November 1945. Surabaya jadi pusat sejarah.

Bir hadir di ingatan sejarah: “Arek-arek Suroboyo…. Anda layak dapat Bintang.” Duh, sebutan “Anda” terasa resmi. Mengapa tak memakai sebutan Bung agar semakin ke sejarah? Kalimat di iklan minta dibaca: “10 November 1945. Hotel Oranje jadi saksi. Arek-arek Suroboyo bangkit. Merdeka atau mati! Lalu Merah Putih berkibar perkasa. Sejarah kepahlawanan telah terukir.” Cara memaknai sejarah dianjurkan sambil minum Bir Bintang. Ingat bir, ingat sejarah.

* * *

Pada malam dingin, penulis memilih minum jahe wangi sambil membaca buku berjudul Air Kata Kata (2003), berisi puisi-puisi gubahan Sindhunata. Puisi bersanding gambar-gambar memikat dari Agus Suwage, Djokopekik, Hari Budiono, Nasirun, Ugo Oentoro, Ong Hari Wahyu, dan lain-lain. Buku dibaca lagi setelah tergoda melacak bir-bir di kesusastraan Indonesia. Pembaca sering menemukan kopi di ratusan puisi. Joko Pinurbo di awal Januari 2019 masih melulu kopi dengan terbitan buku puisi berjudul Surat Kopi. Teh kadang ditulis di puisi. Bir malah mengingatkan kita pada dua orang menggubah puisi dan mahir membacakan puisi: Sutardji Calzoum Bachri dan Saut Situmorang.

Pada alur dan suasana berbeda, Sindhunata menggubah puisi berjudul “Tuhan dan Bir”. Puisi panjang digenapi gambar dari Yamyuli Dwi Iman. Percakapan di titian religius saat menjalani hidup “memberat” di dunia. Sindhunata menulis tokoh-tokoh di percakapan: Indera kita telah terbiasa/ dengan godaan warung-warung jalanan Mar/ karena itu Tuhan sering mencobai kita/ dengan penderitaan tanpa pernah dihiburkan-Nya/ kita didera oleh kehausan/ tanpa pernah kita diberi-Nya minum./ Minuman di jalan tak dapat menyegarkan kita lagi/ sementara tiada tersedia minuman-Nya bagi kita./ Demikianlah Mar, Ia mendidik kita/ supaya terbiasa akan nikmat minuman-Nya/ yang bukan minuman kita/ Untuk itu, Mar, kita harus terbiasa/ bertahan sampai akhir/ agar di sana kita bisa minum bir. Puisi memberi rangsang untuk lekas membaca novel berjudul Rumah Minum gubahan Zola. Buku belum sanggup dibeli dan masih gagal mendapat pinjaman. Novel itu pasti berminuman. Begitu.

Bandung Mawardi
Latest posts by Bandung Mawardi (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!