Hingga saat ini, masih ada yang memandang membaca karya fiksi adalah hal tak berguna. Pembaca yang protes dan curhat mengenai hal tersebut biasanya adalah remaja yang dilarang orang tuanya membaca fiksi. Mereka tidak mengerti mengapa dilarang sedemikian rupa memasuki dunia imajinasi yang ditawarkan pada lembar-lembar berjilid tersebut. Padahal, dunia itu sungguh menarik hati. Sebenarnya, pada beberapa situasi, pendapat para orang tua tersebut bisa jadi benar adanya.
Salah satu pendekatan mengenai karya sastra adalah memandangnya sebagai mimesis, cerminan dari kenyataan. (Untuk sementara, pada tataran tulisan ini, mari memakai acuan pengertian karya sastra yang digunakan mencakup semua karya fiksi dan tepikan dahulu perbedaan pendapat antara Plato dan Aristoteles mengenai teori ini.) Kenyataan yang melingkupi penulis itulah yang telah diramu dengan beberapa tambahan, kemudian disajikan dalam bentuk karya untuk kemudian dibaca.
Tanggung jawab penulis, menurut saya, berada pada niat, pada kegelisahan apa yang diketahuinya, dan apa tujuannya menyampaikan hal tersebut melalu tulisan. Mengenai bagaimana cara ia menyampaikannya, itu lain hal. Sebagian penulis memilih menampilkan sosok baik agar ditiru, sementara penulis lain memilih menghadirkan sosok jahat agar tidak ditiru, misalnya. Atau, contoh lain pada satuan lebih kecil: diksi.
Mengapa buku Sabtu bersama Bapak tidak ditulis menjadi Sabtu bersama Ayah? Atau buku Ayahku Bukan Pembohong tidak ditulis menjadi Bapakku Bukan Pembohong? Karena, kenyataan yang melingkupi kehidupan penulis kedua buku tersebut berbeda.
Salah satu kenalan malah pernah berkata kepada saya bahwa panggilan “ayah” kurang cocok untuk naskah X karena panggilan tersebut biasanya digunakan oleh orang yang berasal dari daerah kampung lebih dalam (memang begitu kalimatnya, tapi setidaknya maksudnya bisa kita tangkap). Yah, kalian tidak perlu emosi mendengar hal ini. Pendapatnya itu semata karena demikianlah kenyataan di sekitarnya, sepengetahuannya.
Pendapatnya tersebut menunjukkan bahwa dia perlu membaca karya fiksi lebih banyak lagi karena dalam buku teori sosiologi pun saya rasa tidak dijelaskan batasan panggilan “ayah”. Kenyataannya, toh setelah seseorang merantau, panggilannya kepada sang ayah tidak tetiba berubah menjadi “papah”.
Sebagian penulis tidak merasa perlu berpikir jauh mengenai efek yang ditimbulkan dari tulisannya. Misal, tulisan mengenai anak SMA yang mengejar cinta seseorang seakan-akan orang itu sudah pasti jodoh yang digariskan Tuhan untuknya di masa depan. Tokoh itu berjuang mendapatkan perhatian sang jodoh sampai mengabaikan hal-hal lain, hingga akhirnya berhasil dan kemudian selesai. Happy ending. Jika memang hanya itu yang ingin disampaikan penulis, maka ketika ada yang mengikuti jejak si tokoh, mengabaikan nilai dan orang tua demi mengejar idaman hati, demi berharap akhir bahagia serupa, maka membaca karya fiksi mungkin memang tidak berguna. Hal seperti inilah yang tidak diinginkan para orang tua, karena memang bukan hanya sinetron remaja berseri yang bisa menimbulkan efek mengkhawatirkan.
Besarnya pengaruh karya fiksi pada pembacanya bisa dibilang sudah terbukti. Hal itu pula yang menyebabkan beberapa buku, seperti karya Pramoedya, dilarang peredarannya pada masa Orde Baru. Maka wajar jika orang tua khawatir dengan bahan bacaan kamu.
Seperti lapisan pada bawang, beberapa karya fiksi memiliki kekuatan menyimpan inti pesan yang ingin disampaikan. Lapisan tersebut digunakan agar pesan yang ingin disematkan sampai dengan cara lain, tidak ditampakkan tiba-tiba di muka melainkan menyusupkannya melalui celah-celah indra hingga membuatnya lebih berterima.
Nasihat untuk berusaha memahami perasaan mertua mungkin akan lebih dimengerti setelah membaca “Nyonya Dutta Menulis Surat” karya Divakaruni. Ketakutan sebagian perempuan atas perubahan fisiknya menjelang tua bisa jadi akan lebih mudah dipahami melalui salah satu tokoh Yetti A. KA dalam cerpen “Jeruk-Jeruk yang Mengering di Kulkas”. Mari coba contoh lain. Misalnya seseorang menulis dengan kalimat berikut.
Anak penderita sindrom asperger kesulitan berkomunikasi dan bersosialisasi. Karena itu, orang-orang di sekitarnya diharapkan berusaha memaklumi kelakuan mereka yang terkesan aneh.
Setelah membacanya, kamu seakan tahu, mendapat informasi baru. Tapi, akan jauh berbeda efeknya dengan membaca Insiden Anjing di Tengah Malam yang Bikin Penasaran karya Mark Haddon. Kamu bisa lebih mengerti, kadang bahkan memahami, kesulitan macam apa yang mereka hadapi, untuk kemudian bersikap lebih empati.
Selain penulis dan karya itu sendiri, ada hal lain yang menentukan berguna atau tidaknya sebuah karya fiksi: pembaca.
Ya, pembaca itu sendiri tentu memiliki andil atas apa-apa yang ia serap dan terima dari mana saja. Pembaca berhak memilih karya mana saja yang hendak ia baca, tapi ia ikut bertanggung jawab atas apa-apa yang tidak disaring dari bacaan tersebut. Kalau kamu masih remaja, yang umumnya memiliki kesombongan masa muda, wajar saja jika orang tua merasa perlu ikut membatasi apa-apa yang boleh dibaca olehmu.
Penerimaan seseorang dengan orang lain terhadap suatu karya bisa sangat berbeda. Misal, sebagian menganggap membaca cerpen “Bibir dalam Pispot” karya Hamsad semata sebagai adegan menjijikkan yang dilakukan pencuri agar terhindar dari hukuman. Bagi sebagian yang lain, karya tersebut dianggap sebagai bentuk protes kepada pemerintah dengan menghadirkan kemiskinan dalam bentuk berbeda, kemiskinan yang mendorong seseorang mampu berbuat di luar dugaan manusia.
Contoh lain, penerimaan atas cerpen “Anjing Buta” karya R.K. Narayan. Pembaca A mengaitkannya dengan dunia kerja, bahwa anjing buta merupakan perumpamaan bawahan yang kembali kepada atasan yang suka semena-mena. Sementara Pembaca B mengaitkannya dengan dunia asmara; anjing buta tersebut mengingatkannya pada temannya yang dengan dungunya selalu kembali pada kekasihnya yang sudah sering memukulinya hingga lebam.
Karena masing-masing pembaca, seperti penulis, memiliki hidup yang jelas tidak serupa, maka perbedaan tersebut bukan untuk diperdebatkan. Kita memang memiliki banyak perbedaan, justru karena itu hidup menjadi menarik. Salah satu cara untuk berusaha memahami perbedaan tersebut justru adalah dengan membaca karya fiksi.
Di antara perbedaan penerimaan tersebut, bisa jadi ada efek besar yang disebabkan buku yang kamu baca terhadap pola pikir atau pola hatimu. Hal itu tentu tidak perlu dikhawatirkan jika dampak yang dilihat orang tua pada dirimu setelah membaca mengarah positif. Jadi, jika kamu memang ketat dilarang membaca karya fiksi, belajar dewasalah dengan mulai mengoreksi diri sendiri.
Dan jika setelah banyak membaca sebuah karya fiksi tidak ada hentakan atau sekadar gelitikan pemikiran di kepalamu, atau bahkan justru menuntunmu melakukan pembenaran atas tindakan yang sebenarnya kekanakan, artinya kamu harus memperbanyak variasi jenis bacaan. Atau, bisa jadi membaca karya fiksi memang hal tak berguna—bagi dirimu, saat ini.
- Penting Tak Penting Perihal Teenlit - 26 October 2016
- Membaca Karya Fiksi Memang (Kadang) Tidak Berguna - 28 September 2016
- Imajinasi dalam Rungkup Teknik Berkisah dan Pesan yang Ingin Disampaikan - 12 June 2016
Najla Al-Faiq
tulisan yang bagus (y)
Anonymous
Saya menemukan healing atas masalah yang saya hadapi di masa lalu dan berdampak pada masa kini saya dengan membaca fiksi. Sebelnya, saya baru saja melakukannya beberapa waktu terakhir. Padahal diantara masalah-masalah itu sudah mengendap beberapa puluh tahun. Dahsyat kan pengaruh fiksi dalam hidup saya.