Sebuah prosa adalah dunia yang dipenuhi imajinasi. Meskipun terkadang ada realitas yang membayanginya. Sebuah cerita yang baik selalu mengundang rasa penasaran yang teramat dalam, menggali setiap lubuk keingintahuan yang tak habisnya. Merangkaikan semacam getar, dalam aura bunyi, dengan selubung alur, mungkin pula tokoh ketika dibaca. Aktivitas yang mencoba menepikan diri sendiri dari berbagai hiruk-pikuk dunia. Jeda pembacaan yang menandakan sebuah untaian kalimat begitu menggoda untuk dikuliti sampai habis.
Apakah prosa kita memang semacam itu? Betulkah kita sudah memiliki karya prosa yang benar-benar “besar”?—meminjam ucapan Hudan Hidayat. Kegelisahan ini barangkali beralasan. Seperti semangat menggebu yang terjadi di dalam dunia puisi, ketika sejumlah kritikus, pengamat, para petualang sastra dengan hasrat yang maksimal kepingin mencari (menemukan?) puisi yang besar. Apakah betul, prosa yang hadir dan lahir di koran, majalah, juga jurnal—adalah prosa yang besar dalam arti sebesar-besarnya. Untuk itu, saya merasa harus mengetuk pintu kepada para penulis prosa. Dengan mengutip sebuah sajak dari Joko Pinurbo. Ketika kita berhadapan dengan sebuah teks, barangkali kita harus pandai mengarifi teks tersebut.
- Jangan sok pintar dan sok tahu. Jangan belum-belum sudah bilang: ah, kalau cuma begini aku juga mampu.
- Jangan cepat merasa bodoh kalau tidak juga paham apa maunya buku. Apa yang tak kaupahami suatu saat toh akan membukakan diri.
- Jangan terlalu lugu. Tahu kan batas antara lugu dan dungu sering tidak jelas-jelas amat? Kau bisa saja mengganti kata-kata dalam buku dengan kata-katamu.
- Jangan sok filsuf: membaca buku sambil mengernyitkan dahi dan mengerutkan mata, apalagi pakai ketok-ketok jidat segala. Santai saja, supaya tidak penat. Kalau penat, kata-kata yang kau baca tidak akan bebas menari-nari dalam otakmu (Sajak “Buku”, Telepon Genggam, 2003)
Memang, sampai sekarang, penafsiran seseorang terhadap teks sastra secara umum berbeda-beda. Hal semacam ini juga diakui Radhar Panca Dahana, “Jika penilaian 10 pembaca terhadap sebuah karya berbeda-beda. Hal itu tak masalah. Kesemuanya benar.” Namun, setidaknya perkembangan prosa kita memang terus akan bergejolak. Konsep sastra memang mengikuti konsep ilmu sosial lainnya. Selalu berkembang menurut keadaan zaman.
Prosa yang ditulis oleh Hamsad Rangkuti, Martin Aleida, misalnya—memang berbeda dengan prosa yang ditulis Danarto. Itu baru dari pengarang yang satu generasi. Bagaimana dengan yang lain generasi, semacam Agus Noor dengan Seno Gumira Ajidarma? Yang jelas, pergumulan kreatif akan terus berlangsung, sepanjang si pengarang terus melakukan eksplorasi. ada tarikan keinginan di kalangan pengarang, untuk menjadi titik sentral dalam menuliskan prosa. Sebab bangunan prosa sendiri, nyaris seperti puisi. Pernyataan yang dikeluarkan Seno, tentang “pembocoran terhadap fakta” bukanlah rumus yang baku dalam menulis prosa. Pun dengan eksplorasi bagian tubuh yang dikembangkan Djenar, bukan merupakan rumus an sich dalam menuliskan prosa. Dan masih banyak prosais lain yang selalu membuat kepincut ketika membaca sejumlah karya mereka, Joni Ariadinata, Hudan Hidayat, Chairil Gibran Ramadhan, Nukila Amal, Ayu Utami, Kurnia Effendi, Puthut EA, Satmoko Budi Santoso, Raudal Tanjung Banua.
Walhasil, perjuangan pengarang prosa saat ini jadi kian berat. Halnya sama dengan bidang puisi. Ketika bahasa sudah dieksplorasi habis oleh pendahulu sebelumnya. Maka, pengarang yang ada saat ini harus melakukan perjuangan kreatif dua kali lipat. Artinya, selain harus menemukan gaya penceritaan baru, mereka juga harus melawan klise dalam diri sendiri. Demikian pula dengan peran media massa dalam hal mensosialisasikan gagasan baru, sungguh teramat besar. Media dalam hal ini apa pun, baik yang terbit di kampus, daerah, atau berskala besar—secara langsung ataupun tidak telah mampu membentuk opini publik pembacanya. Katakanlah, sekali terbit—berapa pasang mata yang akan membacanya? Namun prosa-prosa klise yang pernah disindir Triyanto Triwikromo, sebenarnya merupakan sebuah untaian proses pula. Dan, tidak dapat dinaifkan bila media massa membentuknya menjadi lebih “seragam”. Untuk itu saya harus terpulang lagi pada kalimat yang pernah ditulis Budiarto Danujaya, dalam kata Penutup Cerpen Pilihan Kompas, “Media massa kenal genealogi, tetapi tidak ingatan.” Hal ini berlaku juga pada rubrik-rubrik yang ada di media massa.
Pendekatan dalam Prosa
Jika sebuah prosa tak lagi berbeda dengan puisi, lalu di mana lagi esensi (keasyikan) menulis cerita? Penyamaran realitas yang terkurung dalam suatu tradisi merupakan sebuah wacana yang terus bergulir. Koran, dengan publik setia pembacanya—tentu mulai menyeragamkan anggapan ini. Sebuah cerpen yang terdapat dalam koran Minggu, misalnya, lebih mendekati pada realitas yang terjadi di masyarakat. Radhar Panca Dahana, menulis sebuah ulasan tentang keegoisan kita menamai dengan cepat sebuah kotak-kotak sastra, menjadi bidang cerpen, esai, ataupun sajak sekalipun. Padahal, kesemuanya terkadang menipu, dengan permainan kata-kata, yang hampir sama bentuk, bunyi, dan isi. Ini yang perlu dijelaskan, maka saya terpaksa harus kembali pada Sutardji Calzoum Bachri, dalam sebuah ulasannya tentang beda prosa dan sajak. Kesemuanya tergantung niat pengarangnya. Pengotakan yang dilakukan orang, mungkin hanya sebuah tafsir keliru.
Mengenai prosa sendiri, dengan mengaca pada tata kerjanya. Terlihat betapa banyak eksplorasi yang dilakukan, meski terkadang gayanya seragam. Maka patut dipertanyakan kepada para pengarang cerpen, adakah konsep yang mapan dibuat dalam bengkel kerja kreatif—atau katakanlah, dalam membuat sebuah cerita? Tampaknya, kekhawatiran Nirwan Dewanto mulai mendekati dunia prosa kita, di mana hal yang sama juga dikeluhkan oleh Triyanto Triwikromo. Ketika cerpen-cerpen yang beratus itu, dikumpulkan, maka yang terlihat adalah kesamaan tipografi kalimat. Umumnya, gejala latah inilah yang menghinggapi para cerpenis. Klise, kesamaan bentuk—ketika dua buah cerpen dipersandingkan dengan dua pengarang yang berbeda yang tampak hanyalah kesemuan. Unsur-unsur pembentuk dalam merangkaikan kalimat saling tindih, mengeliminasi, sehingga menciptakan kabut cerita yang amat rentan.
Sebuah persoalan yang menjadi tanggung jawab kita bersama. Padahal, kita begitu merindukan sebuah kehadiran cerpen yang mampu menyerap tenaga pembaca—sehingga ketika membaca, tidak lagi menjadi sebuah tissue yang dibuang ke tong sampah. Proses dalam dunia cerpen masih panjang, ibarat sebuah perjalanan yang sampai muara, kita masih kerap terkecoh. Miskinnya pembelajaran di kalangan cerpenis membuat sebuah bangunan cerita ambruk dengan seketika. Memang, konsep karya sastra tak pernah bisa dipisahkan dengan kenyataan sekeliling yang membentuk seseorang penulis cerita. Padahal, saya masih sering merasakan sebuah keajaiban ketika membaca hikayat 1001 Malam, yang sampai sekarang tak pernah lekang itu. Atau ketika mengulang kembali rangkaian hikayat yang disodorkan oleh Multatuli dalam Max Havelaar.
Betulkah prosa kita telah sedemikian dekat dengan kejadian sehari-hari? Goenawan Mohamad, dalam kata penutup di buku kumpulan cerpen pilihan Kompas, pernah menyinggung ihwal sulitnya seorang penulis cerita mengungkapkan gagasannya dalam rangkaian kalimat yang menarik. Sebuah artefak kalimat yang tidak lagi verbal, bermain-main namun serius, meminjam ucapan Hasif. Sehingga kita sesungguhnya telah kehilangan eksplorasi untuk memindahkan sebuah ruang ide. Meski acap didapati sepotong peristiwa yang getir, menyentak perasaan—tetapi mengapa tak pernah sampai ketika dituangkan dalam gaya naratif? Padahal dunia puisi yang kita miliki mulai menunjukkan ke arah sana. Dengan sajak-sajak lirik yang masih bertahan sejak Hamzah Fansuri. Artinya, gaya lirik tak pernah hilang dalam gaya penulisan kita. Sebab hal itulah yang lebih mudah dipahami, ditelaah oleh publik luas. Mungkin kita bisa memulainya dari sana. Barangkali.
- Sajak-Sajak Alexander Robert Nainggolan; Meja Kantin - 8 May 2018
- Membaca Kembali Prosa Kita - 28 April 2016
- Hari yang Lewat Tanpa Ayah; Puisi Alex R. Nainggolan - 3 November 2015