Pada Maret 2018, penerbit Ultimus mencetak ulang beberapa karya S. Rukiah Kertapati. Sebut saja Kejatuhan dan Hati serta cerita anak berjudul Pak Supi: Kakek Pengungsi. Untuk resensi kali ini, saya lebih tertarik dengan buku kedua. Saya pikir usaha Ultimus menerbitkan kisah Pak Supi seperti oase yang muncul di antara keringnya pembahasan soal cerita anak.
Sebelum memberikan catatan atas buku Pak Supi: Kakek Pengungsi, ada baiknya saya menuliskan ringkasan cerita agar teman-teman yang membaca bisa mengikuti. Akan tetapi, perlu dipahami, jalan cerita yang saya tuliskan tidak akan runtut seperti di buku. Juga perlu diketahui, buku ini terbit pertama kali pada 1961 oleh Penerbit Swada, maka pembahasan selanjutnya akan disesuaikan dengan konteks zamannya.
Dalam buku cerita ini, kita akan diajak untuk mengikuti kenakalan khas anak-anak sekolah dasar, bernama Abas, Didin, dan Kandar. Sedangkan Pak Supi diceritakan sebagai pusat gosip dan juga rumor.
Banyak orang menganggap Pak Supi adalah tukang tenung, yang mampu mengubah anak-anak kecil menjadi kodok. Perangai Pak Supi pun tidak bisa dikatakan menyenangkan, dia lebih banyak mengurung diri di rumah, menolak untuk srawung ataupun bergabung dalam perkumpulan tani di tempat dia tinggal, Desa Sukarapih.
Tidak ada yang tahu bagaimana keadaan Pak Supi sebelum pindah ke Sukarapih. Alih-alih bertanya, gosip dan rumor yang melekat pada diri Pak Supi telah dijadikan fakta oleh sebagian besar masyarakat. Hal ini membuat ketiga bocah, yang sudah disebut di atas, penasaran. Mereka mengintip rumah Pak Supi dan melihat kejanggalan, Pak Supi tampak bahagia bermain dengan boneka kayu yang dia simpan dalam sebuah peti. Berlawanan dengan sikapnya yang pemarah ketika bertemu warga desa.
Persinggungan dengan Pak Supi untuk pertama kalinya membawa ketiga bocah tersebut, terutama Abas, ke dalam cerita-cerita yang lain. Seperti ketika Pak Supi membawa Tatik, adik Abas, karena merasa Tatik mirip dengan cucunya yang hilang. Juga ketika Didin, Kandar, dan Abas terjebak di tengah sungai ketika hujan deras datang, dan Pak Supi yang pada akhirnya memberikan pertolongan.
Ada banyak gejolak yang dilalui Pak Supi bersama warga Desa Sukarapih. Dia pernah difitnah membakar rumah seorang juragan dan mencuri perhiasannya. Fitnah tersebut sempat membawa Pak Supi ke dalam penjara, sebelum Abas dengan gagah berani memberikan kesaksian tentang siapa pelaku sebenarnya.
Menarik melihat bagaimana cerita Pak Supi ini masuk dalam kategori cerita anak. Saya melihat kedewasaan Abas ketika dia memutuskan untuk mengatakan pelaku sebenarnya. Ada pertentangan dalam diri Abas yang baiknya saya petikan,
“… Dan bukankah pengadilan telah memutuskan Pak Supi perampoknya? Siapakah yang lebih berkuasa dari pengadilan?”
“ada.”
“siapa?”
“Kebenaran!” (hal. 61)
Saya tidak terlalu kaget melihat bagaimana Rukiah memberikan garis batas yang jelas tentang siapa yang jahat dan baik. Pesan moral pun ditampilkan secara jelas dan berulang-ulang, “Kebenaran dan keadilan akan menjalankan peraturan yang semestinya!” begitu tulis Rukiah. Sebagai salah satu anggota, Rukiah menunjukan dengan jelas posisi Lekra dalam literatur anak.
Hal ini sejalan dengan pidato Sugiarti Siswadi, pimpinan pusat Lekra, yang mengatakan bahwa literatur anak-anak harus menjadikan anak “manusia yang bersegi banyak, memberikan padanya pandangan dunia yang ilmiah, cinta kerja dan cinta Rakyat pekerja, keagungan manusia, ya, kebenaran dan kebesaran sosialisme” (selengkapnya bisa dilihat dalam koran Harian Rakjat, 18 Mei 1963 atau buku Fairuzul Mumtaz, Karya-karya lengkap Sugiarti Siswadi: Hayat Kreatif Sastrawan Lekra).
Doktrin Lekra ini juga sangat terasa dalam beberapa bagian cerita. Sisi ini diceritakan lewat tokoh seorang Akip, yang digambarkan memiliki bibir perot. Dia adalah korban dari kekejaman serdadu Belanda. Tidak lain karena dia tertangkap sedang membaca koran Republik, koran yang saat itu dilarang. Langsung, Akip dihajar dengan sepatu lars panjang hingga seluruh giginya rontok. Akip dipaksa memberitahukan posisi para pasukan gerilya.
Bagian Akip ini sedikit membuat mual. Rukiah menggunakan kata ‘dipukul’, ‘dibanting ke tembok beton’, ‘jatuh berlumuran darah’, hingga ‘diinjak-injak’. Namun, seperti yang dikatakan oleh Sugiarti, anak juga perlu diajarkan tentang kebenciaan terhadap para penjajah. Ini dibuktikan dalam salah satu larik bikinan Sugiarti, “Hantjur lebur Belanda kita gempur”.
Saya jadi teringat dengan salah satu penulis cerita anak dari Inggris, Roald Dahl. Bukunya digandrungi oleh anak-anak, tetapi sebagian besar orang tua protes karena merasa Dahl terlalu banyak menampilkan unsur kekerasan dan seksualitas dalam cerita-ceritanya. Akan tetapi, novelnya laris dibaca anak-anak, sampai saat ini, belum ada laporan mengenai perilaku destruktif anak setelah membaca buku Dahl.
Soal kedua, Pak Supi diceritakan terpaksa menyingkir karena kelompok anti Soekarno menyerang keluarganya. Saat itu, anak Pak Supi adalah ketua Satuan Petani, dia bisa baca tulis dan mampu membawa kelompok tani ke keadaan yang lebih haik. Hal ini membawa kemarahan bagi para anti Soekarno, lalu anak Pak Supi dibunuh, rumahnya pun dibakar, sehingga menyebabkan menantu dan cucu Pak Supi tewas.
Menarik melihat narasi Rukiah soal kelompok anti Soekarno. Mereka digambarkan sebagai kelompok pembunuh, penculik, pembakar rumah dan sekolah, maupun penjahat. Intinya, segala yang jelek merupakan jelmaan dari kelompok tersebut.
Pada pemilihan umum 1955, Partai Komunis Indonesia mengejutkan seluruh pihak ketika berada pada posisi empat besar perolehan suara. Sejalan dengan hal tersebut, kekuataan politik di Indonesia mengalami polarisasi menjadi tiga sosok: PKI, Soekarno, dan tentara.
Tentu kita masih bisa mendebatkan apakah Lekra merupakan bagian dari PKI, walaupun tidak dipungkiri bahwa kedua organisasi tersebut memang dekat. Oleh karena itu, kecenderungan PKI untuk pro terhadap Soekarno juga mempengaruhi Lekra. Hal ini sejalan dengan narasi tentang kelompok anti-Soekarno yang dianggap sebagai teror di dalam masyarakat.
Satuan Petani pun terasa seperti program kelompok tani yang dicanangkan oleh PKI. Satuan ini ikut membantu beberapa orang untuk sekadar mendapatkan sepetak tanah dari tuan-tuan tanah yang kaya raya. Atau juga belajar membaca dan menulis bersama.
Akan tetapi saya menyayangkan cerita ini tidak dicetak ulang sesuai versi aslinya. Sulit untuk menentukan bagian mana para editor mengedit cerita Rukiah, karena saya belum pernah membaca cetakan yang pertama. Saya pikir mempertahankan versi aslinya akan membuat cerita ini sesuai dengan konteks zamannya, seperti buku Menjadi Tjamboek Berdoeri dari Kwee Thiam Tjing terbitan Kobam yang tetap mempertahankan ejaan lama.
Butuh waktu lama bagi Rukiah untuk hadir di era milineal ini. Sebagai salah seorang penulis perempuan pertama yang mendapat penghargaan Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional pada 1953, Rukiah mengalami represi ketika berlangsung peristiwa pada 1965, Bukunya masuk dalam daftar terlarang Orde Baru.
Seperti yang dituliskan oleh Fernando Baez dalam bukunya Penghancuran Buku dari Masa ke Masa, penghancuran buku (dalam bentuk lain bisa berupa pelarangan, pemusnahaan, penghilangan) adalah usahaa menghabisi memori penyimpannya, yaitu berupa warisan gagasan-gagasan dari suatu kebudayaan.
Ultimus telah menyelamatkan kepingan memori dengan menerbitkan cerita-cerita Rukiah. Oleh karena itu saya patut berterima kasih. Akan tetapi, ada satu pertanyaan yang masih mengganjal di otak: sebenarnya, berapa banyak karya tulis di negeri ini yang belum (atau mungkin justru tidak) bisa diselamatkan?
- Membaca Kisah Pak Supi - 1 December 2018