Judul : Pacar Seorang Seniman
Penulis : W. S. Rendra
Penerbit : Bentang
Tahun : Oktober, 2016
Tebal : x+186 hlm
ISBN : 978-602-291-274-3
Selusin lebih satu, kumpulan cerpen Rendra di buku ini dibuat berdasarkan rentang waktu tahun 1950-1960-an. Sebagaimana pernyataan Edi Haryono (penyunting buku ini) dalam pengantarnya. Pembaca mungkin akan terhenyak, mendapati Rendra yang lebih akrab kita kenal sebagai maestro penyair dan pelaku seni peran terkemuka, ternyata sempat menjadi cerpenis yang cukup produktif di zamannya. Meskipun pada akhirnya, Rendra lebih memilih tenggelam di dunia pentas dan kepenyairan yang “membesarkannya”.
Menurut Haryono, penerbitan buku ini sesungguhnya atas rekomendasi Rendra sendiri kepadanya (sebagai orang yang pernah menulis biografi Rendra). Rendra mengakui sebagian cerpen-cerpennya di buku ini merupakan jejak rekam kisah hidupnya yang mungkin perlu juga diketahui para pembaca biografinya.
Kita pun dapat merasakan darah muda Rendra pada saat itu, yang menggebu ingin segera meraih popularitas sebagai penulis. Kita tahu, hingga kini penerbitan karya cerpen yang lebih diterima pasar dibanding puisi, membuat para cerpenis lebih cepat dikenal ketimbang para penyair.
Bagi pembaca sastra generasi millennial dewasa ini, menelusuri cerpen-cerpen Rendra di buku ini pasti akan dapat merasakan sensasi citra-rasa berbahasa tahun 60-an yang unik sekaligus berbeda. Bahkan mungkin terkesan rancu, kurang enak dibaca (Sekadar contoh Rendra menulis “yang terang” (hlm. 102) untuk menyebutkan maksud “yang jelas”). Tapi di situlah nikmatnya. Kita bisa mencicipi dan mempelajari gaya bahasa dan teknik bercerita Rendra yang menyunggi pelbagai persoalan saat itu. Dari mulai pembahasan soal cinta remaja; perkembangan psikologi manusia; hingga refleksi kritis Rendra terhadap kehidupan sosial yang melingkupinya.
Gelegak masa muda Rendra yang penuh warna membuatnya berhasil melukiskan cerita berbagai karakter manusia di zamannya. Dengan liar dan bebas, terkadang terkesan “nakal” tanpa tersandung pada kerikil sarkasme dan pornografi. Di setiap cerpennya, Rendra selalu berhasil menyelipkan kekuatan pesan moral lewat karakter dan dialog-dialog antar-tokoh rekaannya.
Perihal cinta misalnya, bisa kita tengok pada cerpen “Pacar Seorang Seniman” (hlm.1), yang menjadi judul buku ini. Berkisah tentang seorang perempuan yang rela dicibir sebagai perawan tua, lantaran tak kuasa menghapus kenangan manisnya pada kebaikan almarhum pacarnya, sosok pelukis yang teramat dicintai sekaligus disetiainya.
Melalui cerpen “Pacar Seorang Seniman”, Rendra mengingatkan kita untuk tidak mudah silau oleh gemerlap penampilan. Seniman yang terkesan urakan, jauh dari keteraturan, ternyata memiliki kehalusan budi dan komitmen yang kuat untuk menghargai nilai-nilai moral serta menjunjung tinggi martabat kaum perempuan. Rendra telah memandu kita untuk bersikap tepat dan bijak dalam menyikapi atau menilai orang lain.
Secara tematik, cerpen-cerpen yang dijalin Rendra terbilang memotret hal-hal umum keseharian. Sekadar contoh, soal “siksaan” jerawat (“Muka yang Malang”); sikap kritis jiwa kanak-kanak yang menggugat status quo moralitas yang digenggam kedua orang tuanya (“Ia Masih Kecil”); dilema psikologis perempuan hamil di luar nikah (“Ia Membelai-belai Perutnya”); anak yang merasa terbuang dan kehilangan sosok seorang bapak (“Sehelai Daun dalam Angin”); gambaran sikap orang tua yang terlalu membangga-banggakan salah satu anaknya (“Pohon Kemboja”); dan seterusnya.
Rendra di beberapa cerpennya terkesan tidak terlalu mementingkan penggambaran setting atau suasana cerita secara indah dan detail (terkecuali pada cerpen yang pernah dimuat di majalah Kisah) sebagaimana gaya para cerpenis saat ini. Ia lebih menekankan penguatan karakter serta dialog-dialog filosofis melalui tokoh-tokoh rekaannya.
Setting bagi Rendra sekadar bumbu untuk membantu lebih menghidupkan pergerakan tokoh-tokohnya. Itu pun dibuat dengan singkat dan sederhana. Perhatikan misalnya penggambaran setting lokasi pada cerita “Gaya Heryan” berikut; Di kiri kanan kami sawah yang baru ditanami, seperti sebuah kepala yang dicukur model potong pendek. (hlm 120). Cerita bagi Rendra, dapat kita baca sebagai media alternatif penyampai pesan atau gagasan, yang mungkin kurang tersampaikan secara efektif jika melalui jalur esai atau puisi yang kerap dipakainya.
Dalam cerita “Wasya, ah, Wasya”, Rendra dengan piawai melakukan autokritik terhadap dunia kesusastraan dan kesenian yang diarunginya. Rendra mengungkapkan perasaannya yang terlalu asyik di dunia sastra dan kesenian, yang ia sebut sebagai “dunia terpencil” yang mengungkungnya, sehingga menjadi linglung dan kaku dalam mengenal dunia di luar kesusastraan dan kesenian.
Rendra menggambarkan bagaimana dirinya harus kelimpungan saat ditanya salah seorang mahasiswa Australia tentang siapa menteri keuangan Indonesia saat itu (hlm. 133), padahal ia begitu fasih jika ditanya siapa Dante, Mozart, atau Stanislavsky (hlm.134).
Rendra pun mengkritisi budaya ronda, yang seolah kehilangan fungsi dan tujuannya. Beralih fungsi sekadar dipakai untuk kongkow-kongkow berbagai karakter unik manusia di dalamnya. Ia menulis “Bagaimanapun juga, perondaan itu sangat kecil artinya bagi penjagaan keamanan. Namun, ia memang berarti besar sebagai lambang persatuan antara penduduk kampung kami.” (“Orang-orang Peronda”, hlm. 54).
Rendra menyindir sikap para peronda (baca: kita) dalam memanfaatkan gardu. Lewat tokoh Den Harjo yang sok terpelajar dan suka menggurui banyak orang; Parko, bocah cilik yang menjadikan gardu sebagai tempat pelarian dari orang-orang di rumahnya yang tak lagi membuatnya nyaman; Pak Iman yang gemar memamerkan prestasi anak-anaknya di sekolah; Dulalimin pencari rokok gratis; atau Den Harto, pengangguran yang bosan dimanjakan istrinya. (hlm. 60)
Kumpulan cerpen yang juga dilampiri suplemen biografi singkat Rendra di lembar-lembar akhir ini merupakan warisan berharga bagi para pegiat atau penikmat sastra dari mendiang si Burung Merak yang patut jadi koleksi, sekaligus referensi bacaan untuk mengenal lebih dekat siapa Rendra sesungguhnya.
Tak hanya ragam cerita Rendra yang luar biasa yang patut kita baca di buku ini. Lewat tambahan biografi singkatnya, ternyata perikehidupan Rendra yang bagaikan mozaik warna tak kalah unik dan menginspirasi. Sebagai cermin untuk kita berkaca, menelisik bagaimana tampilan wajah kemanusiaan sesungguhnya.
- Membaca Manusia Lewat Cerita - 28 January 2017
- Rumah Kertas: Memoar dan Kritik Dunia Buku - 17 December 2016