Membaca Sastra Pesantren

Judul : Konvensi
Penulis : A. Mustofa Bisri
Penerbit : DIVA Press
Tahun Terbit : November 2018
Tebal : 132 halaman
ISBN : 9786023916344

Sebagaimana yang anda tahu, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berkawan sangat akrab dengan KH. Mustofa Bisri (Gus Mus). Bagi Gus Mus, Gus Dur bukan hanya seorang teman yang menyenangkan, melainkan sekaligus guru yang baik dalam banyak hal. Terutama soal kemanusiaan.
Gus Dur jugalah orang yang mencemplungkan Gus Mus di medan sastra. Kepenyairan Gus Mus hari ini tidak mungkin mengelak dari peran seorang Gus Dur. Orang yang “memaksanya” membaca puisi untuk Palestina di tingkat nasional. Dan sejak itulah Gus Mus melejit dikenal sebagai seorang penyair.

Sayangnya, takdir kematian tak dapat dirajuk. Kalau saja bisa, tentu kita berharap orang seperti Gus Dur dikaruniai keberkahan umur lebih panjang. Seratus tahun lagi mungkin. Agar Gus Dur bisa menemani umat yang papa dan rakyat yang dianaktirikan lebih lama lagi. Syukurnya sepeninggal Gus Dur kita masih memiliki ulama seperti Gus Mus, KH. Quraish Shihab, Buya Syafi’i, KH. Maimoen Zubair, dan Gus Sholah, yang memandang umat dengan pandangan kasih sayang.

Sebelum wafat, Gus Dur menyempatkan berkunjung ke rumah karibnya, Gus Mus, di Rembang. Kunjungan itu ternyata menjadi pertemuan terakhir dua sahabat. Pasalnya, seminggu setelahnya Gus Dur wafat. Gus Dur seakan tahu bahwa ia akan segera “pulang,” sehingga ia menyempatkan berpamitan dengan sahabat karibnya. Sahabatnya itulah yang di kemudian hari menjawab keluhan Gus Dur soal sastra pesantren.

Pada 26 November 1973, Gus Dur pernah menulis satu esai berjudul “Pesantren dalam Kesusastraan Indonesia”. Dalam esai itu Gus Dur menyayangkan minimnya dunia pesantren, sebagai objek sastra, tampil di dalam karya para sastrawan. Pesantren absen di dalam karya-karya garapan para sastrawan. Padahal, menurut Gus Dur tak sedikit para sastrawan yang telah mengenyam kehidupan di dalam pesantren. Kalaupun ada penggambaran pesantren, menurut Gus Dur hal itu masih sebatas nostalgia si pengarang.

Setidaknya ada dua sebab menurut Gus Dur mengapa pesantren absen di dalam kesusastraan Indonesia ketika itu. Pertama, persoalan dramatis di dalam pesantren berlangsung pada taraf “terminologis” tingkat tinggi. Sehingga sulit dituangkan di dalam sebuah karya fiksi. Kedua, masih kuatnya kecenderungan sakralisme agama. Gus Dur meminjam istilah ini dari Nurcholis Madjid.

Gus Dur telah wafat dan mustahil meminta beliau untuk menjelaskan maksud tulisannya itu lebih rinci. Termasuk juga mustahil meminta tanggapan Gus Dur terkait tampilnya pesantren di dalam karya sastra Indonesia hari ini. Kini, orang-orang pesantren seperti KH. Mustofa Bisri, KH. Zawawi Imron, Acep Zamzam Noor, dan Ahmad Tohari telah dikenal luas sebagai sastrawan yang lekat dengan dunia pesantren. Bahkan, pada 20 Desember 2018, kalangan pesantren telah dengan percaya diri mengadakan Muktamar Sastra di Pondok Pesantren Sukorejo Situbondo. Muktamar ini menghasilkan 19 butir maklumat sastra yang dinamakan Piagam Sukorejo.

Mereka bukan hanya sastrawan yang kebetulan berlatar belakang pesantren. Melainkan meniupkan ruh kepesantrenan di dalam karya-karyanya. Pesantren yang oleh Gus Dur disebut sebagai subkultur hadir di dalam dunia rekaan para pengarang pesantren. Sebagai subkultur, pesantren punya keunikan, kekhasan, perilaku, kebiasaan, dan tata nilai yang sangat mungkin berbeda dengan kebudayaan di luar pesantren. Identitas kultural pesantren yang terjaga dari tahun ke tahun dapat menjadi budaya tanding dari kebudayaan di luar dirinya.

Tentu tidak menutup kemungkinan terjadinya penyerapan atau dialog dengan kebudayaan-kebudayaan yang berkembang dan berubah di masyarakat. Justru dalam proses “dialog” kebudayaan itulah identitas pesantren yang bersifat subkultur tengah diuji. Bagi Gus Dur, akan menjadi tragedi bila kemudian pesantren mengalami pemutarbalikan tata nilai (kesederhanaan, kejujuran, kepatuhan, kesungguhan) yang telah dimilikinya.

Sastra Pesantren dalam Konvensi
Membaca tulisan-tulisan Gus Mus, kita seperti digandeng memasuki gerbang pesantren, diajak duduk di serambi masjidnya, lalu didongengi manis, asin, dan pahitnya dunia pesantren. Komplet. Ada ngaji atau ceramahnya, ada kritiknya, ada permenungannya, dan ada aroma nostalgia yang kental di dalamnya. Karya-karya Gus Mus tak ubahnya eksiklopedia pesantren itu sendiri.

“Gus Jakfar” adalah cerpen yang paling populer bagi publik luas. Istimewanya, cerpen tersebut merupakan cerpen debutan Gus Mus dan langsung menorehkan beragam penghargaan: terpilih cerpen terbaik Kompas 2004 dan penghargaan Majelis Sastra Asia Tenggara. Cepen tersebut digerakkan oleh renungan spiritual melalui sosok seperti Gus Jakfar dan Kiai Tawakal. Kiai Tawakal dalam cerita itu menggebrak kesadaran Gus Jakfar. Bahwa pencapaian spiritual tidak dapat diukur dengan kesaktian atau kemampuan linuwih yang dimilki oleh Gus Jakfar.

Konsistensi Gus Mus dalam menggambarkan dunia pesantren di dalam cerpennya membuatnya digelari sastrawan pesantren. Bukan karena Gus Mus sebagai sastrawan yang kebetulan jebolan dan pengasuh pesantren. Melainkan karena dimensi lahiriah dan batiniah pesantren tampil di dalam cerpen-cerpennya. Dalam beberapa kesempatan Gus Mus menegaskan hal ini. Ia juga mencontohkan banyak penulis lain di luar dirinya yang juga menulis tentang pesantren. Namun, kebanyakan hanya menjadikan pesantren sebagai latar cerita. Sehingga menurut Gus Mus dengan mudah cerita tetap dapat berjalan dengan hanya mengganti latarnya saja.

Konsistensi ini pula yang dapat dengan mudah kita temukan dalam kumpulan cerpennya yang baru, terbit November 2018, berjudul Konvensi. Tema seputar pesantren mendominasi, 8 cerita dari total 15 cerita. Cerpen-cerpen ini disuguhkan Gus Mus dalam beragam variasi. Ada yang realis. Ada yang surealis. Ada yang satire. Ada yang ending-nya dibiarkan menggantung atau open ending. Dan ada juga yang sengaja dialognya diperpanjang mirip khutbah di atas mimbar. Singkatnya, meski tema pesantren mendominasi, penyajiannya tidak monoton.

Dalam cerpen berjudul “Konvensi” misalnya, kita akan mendapati dunia politik yang dapat menipu siapa saja. Termasuk kiai dan putranya: Kiai Sahil dan Gus Maghrur. Dalam konstalasi politik, kiai dan putranya tersebut digambarkan tak lebih sebagai alat pendulang suara. Gus Maghrur yang dijanjikan jadi wabup ternyata ditelikung. Bahkan ia kalah dalam satu pemilihan ketua partai.

Dan ia yang “selamat” digambarkan sebagaimana ucapan tokoh aku yang biasa dipanggil Mbah atau Eyang: “Untung aku tidak tergiur ketika ada yang menawariku – dan kamu ikut mendorong-dorongku – untuk ikutan maju sebagai cawabup” (hal. 49).
Gus Mus dikaruniai kecakapan berceramah dan menulis yang sama bagusnya. Tidak mengherankan banyak kalangan yang rela mengantre dan menunggu berbulan-bulan kehadiran beliau untuk mendengarkan ceramahnya. Albertine Minderop dalam Psikologi Sastra menerangkan bahwa karya sastra sangat mungkin memantulkan latar belakang pengarangnya. Gus Mus sebagai penceramah dapat dengan mudah kita temukan jejaknya dalam cerpen-cerpennya.

Misalnya di dalam cerpen berjudul “Rizal dan Mbah Hambali”, Gus Mus dengan ringan mengelaborasi mutiara kalam dari Syeikh Ibn ‘Athaillah, pengarang kitab Hikam. Bahwa sesuatu yang sudah dijamin oleh Allah, jangan sampai dikejar secara membabi buta. Dan justru melenakan kewajiban sebagai hamba yang bersujud.

Latar belakang penceramah juga terasa dalam “Nasihat Kiai Luqni”. Gus Mus menciptakan tokoh rekaan yang meninggal ketika berceramah. Ceramahnya berisi nasihat bahwa hidup yang baik ialah hidup yang senantiasa mengingat kematian.

Tak perlu takut merasa bosan dengan kutipan-kutipan panjang dari tokoh utamanya. Karena Gus Mus dengan terampil menyajikannya dalam bahasa yang komunikatif. Sekali lagi, sangat mungkin Gus Mus sengaja memanjangkan dialog atau kutipan agar dengan mudah memasukkan pesan dalam cerita. Sebagaimana dalam cerpen “Nyai Sobir” yang hampir seluruhnya berisi monolog seorang Ibu Nyai yang baru saja ditinggal wafat suamianya.
Cerpen-cerpen lain di luar tema pesantren juga tak kalah menarik. Dalam Wabah misalnya, Gus Mus bermain simbol dengan bau tak sedap. Setiap orang yang mencari bau tak sedap sebenarnya tengah menyindir kebiasaan kita. Cerpen tersebut seolah menempeleng kepala-kepala yang lebih sibuk menghisab aib orang lain dibanding menyadari aibnya sendiri.

Dalam antologi ini kita juga akan menemukan kritik yang mengena atas fenomena ulama atau ustadz seleb yang hari ini cukup menyesaki kehidupan berbangsa dan beragama kita. Gus Mus meramu paradoks dalam cerpen berjudul “Primadona”. Seorang tokoh “karbitan” yang satu sisi berusaha mematut-matut diri di hadapan khalayak dan di sisi lain menyembunyikan kebopengan hidupnya.

Seandainya Gus Dur sempat membaca cerpen-cerpen karya sahabat karibnya ini, mungkin ia akan merevisi pandangan dalam esainya tahun 1973 silam itu. Karena sulit mengelak bahwa karya-karya Gus Mus yang bertebaran hari ini memuat dunia pesantren di dalamnya. Selamat membaca.

HA. Muntaha Mansur
Latest posts by HA. Muntaha Mansur (see all)

Comments

  1. Tigo W Reply

    this “sakralisme agama” is REAL

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!