Dok. Zelfeni Wimra
Ia dinamai Dwarapala. Sebutan itu berasal dari dua kata bahasa Sanskerta. Dwara berarti gerbang dan pala berarti penjaga. Dwarapala bertakrif penjaga gerbang.
Dwarapala termaktub dalam ajaran Hindu-Buddha. Ia raksasa berhati mulia dan awalnya bertugas menjaga hutan. Kemuliaannya membuatnya dijadikan patung penolak bala dan ditempatkan berdua berjaga di sisi kanan-kiri gerbang tempat-tempat suci seperti kuil dan candi.
Perubahan kekuasaan membuat Dwarapala berpindah tugas. Kini, Dwarapala kebanyakan dipekerjakan menjaga gedung-gedung pemerintah. Dua Dwarapala misalnya, ditempatkan di sisi kanan dan kiri teras depan Istana Kepresidenan Yogyakarta.
Jauh masa sebelumnya, Dwarapala tersebut adalah penjaga biara yang menjadi bagian dari Candi Kalasan. Candi itu didirikan tahun 778 Masehi oleh Maharaja Tejapurnama Panangkarana, putra Raja Sanjaya dari Kerajaan Hindu Mataram. Candi Kalasan terletak 16 kilometer arah timur Yogyakarta.
Saat berkunjung ke Istana Kepresidenan Yogyakarta sebagai bagian kegiatan Jogja Literary Festival (Joglitfest), Senin 30 September 2019, daku sempat jumpa Dwarapala. Beliau berjaga di sisi kanan teras istana dengan posisi kaki kiri berlutut. Tangan kanan memegang gada tegak yang pangkalnya ditopangkan ke lutut kanannya.
Sembari berfoto-foto dengan beliau, terjadi kira-kira percakapan singkat di antara kami seperti tertera di bawah:
Aslan: Kok, dikau senyum-senyum terus sih, Bang Dwara? Ada apakah gerangan?
Dwara: Iya neh. Daku senang melihat banyak sastrawan datang ke sini, Mas Aslan.
Aslan: Apa pula senangnya melihat banyak sastrawan, Bang Dwara?
Dwara: Lha, mereka itu sebenarnya makhluk penting, Mas Aslan. Mereka bekerja menyampaikan berbagai suka dan duka manusia. Mereka mencatat kesalahan-kesalahan agar tidak diulangi dan menulis kebaikan-kebaikan supaya terus dijalankan. Karya mereka membantu kita memahami dan berempati kepada manusia. Sastra dapat membuat kita lebih manusiawi.
Aslan: Bang Dwara kok bisa tahu sih, manfaat karya sastra? Pemerintah kita sekarang saja malah sepertinya tidak tahu dan tampaknya tak mau tahu. Hehe.…
Dwara: Lha iyalah, Mas Aslan. Daku ini kan pernah jadi karya sastra. Hihi…. Sebelum maujud jadi patung dan bertahan sekian abad, daku ini dulunya karya sastra, Mas Aslan. Daku mengalami reinkarnasi atau alih wahana menurut istilah sastrawan Sapardi Djoko Damono. Hihi….
Aslan: Beh, daku malah jadi bingung, Bang Dwara. Ayo, dong, jelaskan lebih detail. Please!
Dwara: Begini, Mas Aslan. Daku ini awalnya dicipta dalam bentuk karya sastra. Dulu daku adalah tokoh dalam karya sastra yang diajarkan turun-temurun dengan cara dilisankan, dilakonkan, ditarikan, diukir, maupun dipatungkan. Ketinggian peradaban masyarakat zamanku itulah yang membuat daku bisa bertahan sampai sekarang. Malah setelah sekian abad, daku bisa berjumpa dengan pembuat karya sastra seperti njenengan. Lucu, kan?
Aslan: Ya…, ya…. Lucu dan tragis malah, Bang Dwara. Soalnya sekarang, karya sastra di masyarakat kita bangsa Indonesia tidak lagi dimuliakan seperti dulu.
Dwara: Padahal, justru karya sastra penting bagi bangsa yang bhinneka ini, Mas Aslan. Kebhinekaan baru bisa menjadi kekuatan kalau orang-orangnya cukup manusiawi untuk dapat saling menerima perbedaan. Kalau tidak, perbedaan itu malah akan dijadikan sumber perpecahan. Itulah sehingga, belajar karya sastra yang banyak berisi beragam bentuk kemanusiaan, dapat menjadi modal bangsa ini untuk bertahan. Simpelnya kira-kira begini, Mas Aslan, tidak belajar sastra dan tak menjadi manusiawi, tidak akan membuat bangsa ini berumur panjang.
Aslan: Itu pandangan yang menarik, Bang Dwara. Tetapi sepertinya tak akan dianggap penting oleh penguasa yang sudah telanjur bebal seperti pemerintah Indonesia.
Dwara: Ya, kebebalan akan selalu menghancurkan sebuah bangsa. Menariknya, bangsa bebal tidak akan sadar hingga benar-benar telah hancur. Yaah…, namanya juga bebal, Mas Aslan. Hihi….
Aslan: Ya. Padahal bangsa ini sedang sakau akibat ulah orang-orang yang overdosis sisi buruk pengetahuan impor dari Arab, Bang Dwara. Mereka suka merasa benar sendiri, merendahkan serta menyerang orang lain yang dianggap berbeda. Mereka dipenuhi kebencian, kerakusan berkuasa, dan nafsu untuk menghancurkan orang lain.
Dwara: Yaah…. Daku telah banyak melihat kehancuran, Mas Aslan. Daku tahu betapa kebencian dan nafsu berkuasa dapat membuat orang sangat tidak berperikemanusiaan. Kebencian dan kerakusan itu pula yang menghancurkan peradaban daku dahulu dan membuat daku terdampar di tempat ini. Manusia bisa saling merendahkan, berbunuh-bunuhan, dan saling memusnahkan. Itulah sehingga manusia perlu terus berupaya mempertahankan kemanusiaannya.
Aslan: Benar, Bang Dwara. Hmm…, by the way, sayangnya pertemuan kita mesti berakhir. Hari sudah menjelang sore dan daku mesti mengikuti kegiatan Joglitfest selanjutnya. Senang bisa ngobrol dengan dikau, Bang. Semoga kita bisa berjumpa lagi. Tarima kasi’.
Dwara: Kuru’ sumange’ta, Mas Aslan. Oke. Semoga kita semua senantiasa baik-baik saja. Sampai jumpa lagi. Matur nuwun!
Daku segera berbalik pergi. Tak menoleh lagi ke belakang. Takut Bang Dwara melambaikan tangan, tersenyum lucu, dan berucap: “Isih penak jamanku to?”
Daku menunduk sembunyikan wajah bergidik ngeri. Terbayang suatu saat kelak, anak-cucuku—mungkin beserban, berjubah, berjidat hitam, dan memekikkan nama Tuhan—datang membawa kapak dan palu besar untuk menghancurkan Dwara.
Dikau tahu, Dwara, bangsa yang tak mau belajar hanya akan melahirkan gerombolan bigot. Kaum fanatik yang bahkan membenci benda-benda suci tanda kebesaran kaum lain. Dikau, penjaga Istana Kepresidenan Yogyakarta, barang berharga yang akan selalu diintai untuk dihancurkan.
- Membayangkan Kehancuran Dwarapala - 9 October 2019
Merisa
Saya ikut ngeri membayangkannya, semoga kedepannya bangsa kita mau belajar dan mampu untuk saling menghargai.