Membela Literasi dengan Mencuri

Judul                          : Gilkey Si Pencuri Buku

Pengarang                 : Allison Hoover Bartlett

Penerjemah              : Lulu  Fitri Rahman

Penerbit                     : Pustaka Alvabet

Tempat Terbit           : Jakarta

Cetakan                    : 1, Januari  2018

Ukuran                      : 13 x 20 cm

Tebal                          : 300 hlm

ISBN                           : 978-602-6577-21-4

 

 

 

Buku itu hidup meski hanya secarik kertas.

Kitab-kitab kuno yang memuat sisi nyata maupun misteri dari perjalanan manusia, semakin tua usianya, semakin langka dan mahal. Buku telah menjadi “alat” penimbun kekayaan selain emas. Para kolektor buku seluruh dunia tetap mencari, berapa pun harganya. Buku tulisan tangan Leonardo da Vinci (1506-1510), katakanlah, yang sebelumnya dipajang di Phoenix Art Museum, dibeli oleh Bill Gates seharga 30,8 juta dolar AS, atau lebih dari 427 miliar untuk koleksi perpustakaannya (Bussiness Insider, Selasa, 19 Januari 2015).

Namun, bagi yang tak memiliki uang sebanyak Bill Gates, keinginan itu membuatnya memikirkan cara lain untuk mewujudkan impian berbuku. Salah satunya ialah mencuri. Kasus hilangnya buku di toko maupun perpustakaan terjadi karena sering dicuri para pengunjung. Konon, penyair kondang Chairil Anwar pun pernah mencuri buku karena cintanya terhadap bacaan. Meskipun, motivasinya bukan untuk dijual.  Barangkali, baginya “sekali mencuri sesudah itu mati”.

Buku Allison Hoover Bartlett, sesuai judulnya: Gilkey Si Pencuri Buku (2018), mengisahkan tokoh Gilkey yang memiliki obsesi terhadap buku sejak kecil karena pengaruh film Inggris zaman Victoria, “Sherlock Holmes”. Film yang Gilkey tonton meriwayatkan “pria terhormat yang memiliki perpustakaan tua”, memicu keinginannya untuk memiliki koleksi buku langka. Seakan, kebesaran sesorang dilihat dari berapa buku yang dibaca dan dikoleksi di rumahnya.

Lahir dari keluarga tidak berkecukupan, ia merasakan  ketidakadilan dalam benaknya karena tidak sanggup memiliki sesuatu sementara  yang lain-lain bisa. Keinginan untuk mengoleksi buku tak bisa terbendung, dan dengan jalan mencuri ia bisa menunaikan mimpinya. “Sejak 1999 hingga awal 2003, Gilkey telah mencuri buku senilai 100.000 dolar dari para agen di seluruh negara,” meskipun rekor itu belum bisa menyamai koleksi Bill Gates.

Pencurian buku adalah masalah pelik semua penjual buku. Di Indonesia sendiri nyaris tak kita temukan lewat pemberitaan media. Sama halnya yang terjadi dengan tokoh Gilkey. Hal ini membuat Sanders, tokoh lain yang dikisahkan penulis sebagai agen buku langkah Kota Sake Lake sekaligus detektif amatir, merasa geram dengan perilaku para pencuri. Ia bertekad memerangi pelaku yang sering meresahkan para agen buku langka itu dengan caranya sendiri.

Sebagai tokoh protagonis, ia meyakini bahwa buku mestinya selalu didapatkan karena rasa cinta dan kegembiraan. Pertualangan memburu pelaku rupanya agak belepotan saat meringkus Gilkey. Meski akhirnya berhasil membuat Gilkey mendekam di penjara, ia sama sekali tak bisa membunuh niat Gilkey untuk berhenti mencuri. Setelah keluar dari penjara, Gilkey tetap melakukannya.

Meski di tahun 2000-an motif pencurian buku di Amerika dalam gambaran penulis sudah modern, menggunakan kartu kredit dengan metode melacak nomor kartu, rasanya mustahil membayangkan hal itu terjadi di Indonesia tahun 2018. Kasus pencurian buku justru sering dilakukan oleh oknum mahasiswa, hanya saja modus yang digunakan masih tradisional yakni menyelinap buku ke balik baju. Tidak melalui metode canggih semisal skimming.

Buku Bartlett terbit pertama kali pada tahun 2010 dengan judul  The Man Who Loved Books to Much. Penulis menggambarkan Gilkey sebagai tokoh utama yang antagonis, cerdas, penuh muslihat, dan terkadang nakal dalam mewujudkan obsesinya. Ia memiliki keyakinan soal buku dalam dirinya. “Buku merupakan artefak sejarah dan tempat berkumpulnya kenangan.” Baginya, buku yang paling dikenangnya adalah yang paling sulit didapatkan. Misalnya, Gale Wilhem 1936 yang mempersembahkan buku No Letters to the Dead untuk kekasihnya Hellen Hope Rudolph sebagai kenang-kenangan. Ia menulis, “Helen sayang—ada yang pernah bilang edisi ini mirip sekotak coklat, jadi–dengan cintaku—kupersembahkan sekotak coklat seharga 6 shilling.” Kecintaan kepada seseorang diungkapkannya lewat karya yang ditulisnya. Kita tahu Mohammad Hatta bahkan pernah memberikan buku Alam Pikiran Yunani kepada istrinya sebagai hadiah perkawinan.

Sanders, tokoh lain di buku Bartlett, mewakili suara-suara penjual buku lawas. Sebagai pedagang buku, ia telah bersusah payah mencari, membeli, merawat, dan menjualnya kepada masyarakat untuk dibaca publik. Selain karena motif ekonomi, penjualan buku lawas juga ikut melestarikan dan mengabarkan kembali bacaan-bacaan lama. Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu contoh orang Indonesia yang peduli terhadap bacaan lama. Ia menghabiskan waktunya bertahun-tahun untuk  mengkliping koran-koran serta buku langka sejak seabad yang lalu, meski akhirnya diberangus oleh penguasa. Kelangkaan buku lawas pun terasa, dan pasar-pasar karya klasik di Indonesia lumayan menjanjikan bagi para penjual. Artikel majalah Worth pernah menuliskan bahwa pasar sastra klasik telah melampaui harga saham dan obligasi dalam dua puluh tahun terakhir.

Buku yang menyabet penghargaan sebagai salah satu buku terbaik tahun 2009 versi Library Journal ini, memiliki keyakinan yang tak terkalahkan, “hukuman seberat apa pun hampir tak berdaya dalam mengecilkan kejahatan nafsu.” Mengingatkan kita pada para pelaku korupsi. Meski hukuman bagi tindak pidana korupsi cukup berat, keinginan untuk mengambil yang bukan haknya nyaris tak bisa dibendung.

Membaca bab-bab buku ini, kita tidak hanya mengikuti pertualangan Gilkey dan Sanders. Penulis rupanya juga masuk ke dalam cerita. Ia bahkan mengisahkan dirinya terlibat langsung dalam hidup Gilkey dan Sanders hingga akhir cerita. Secara keseluruhan buku ini layak diburu untuk dikoleksi. Tidak perlu berperang untuk menghancurkan sebuah negara, bakar saja semua arsip dan buku-bukunya, negara itu akan binasa. Gilkey maupun Sanders sama-sama telah merawat buku, benteng terakhir literasi ketika seluruh dunia sudah abai terhadap bacaan  yang dianggap kuno. Sebagaimana diucapkan Wilmarth Sheldon Lewis, seorang kolektor yang meninggal pada tahun 1979, “gila atau waras, mereka menyelamatkan peradaban.” []

Adam Radjulan
Latest posts by Adam Radjulan (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!