Membincang “Ketidakhadiran” Sebagai “Kehadiran”

Shadow Dancing-A study of abstraction, color, and form that evoke emotion

Comunistas non tienen comer.

Sang petani yang mengucapkan kalimat yang berarti “Orang komunis tidak dapat makan” itu seketika ketakutan ketika “aku” menuliskannya di buku saku. Rautnya yang semula ceria, tampak bangga mengatakannya, secepat itu diawani kecemasan. Ia lalu memohon agar “aku” tak menuliskannya.

“Aku” berkata, “Tenang saja, aku bukan polisi.”

Wajahnya seketika kembali ceria. Betapa cemas ia, selorohnya tadi menjadikannya berurusan dengan polisi.

“Apakah kamu suka Castro?” tanya “aku” kemudian.

Ia diam.

“Aku” lalu mengubah pertanyaan, “Apakah kamu suka Che Guevara?”

“Che orang baik,” sahutnya cepat.

Tampak jelas, menyebutkan dua nama yang berbeda menghadirkan “supra sadar”, dalam istilah Viktor E. Frankl, yang berbelakangan sedemikian telaknya pada jiwa petani itu. Supra sadar yang lahir dan menghunjami kedalaman batinnya; yang satu meruahkan kesenangan dan yang satunya lagi menyeruakkan ketakutan—yang niscaya bertalikelindan pada perkara “pertaruhan hidup”.

Tidaklah menjadi pokok pikiran saya di sini gerangan apa yang melatari petani itu untuk sangat takut pada Castro dan sangat senang pada Che. Cerita nyata yang saya nukil dari catatan perjalanan Sigit Susanto (2005) ini, lamat-lamat dalam ingatan saya, meneguhkan pandangan Jean-Paul Sartre (2000) tentang teori “ketidakhadiran”. Apabila Anda sudah menjadi orang lain, kata Sartre, dan menderita karena ketidakhadiran yang berkesinambungan pada kedalaman keberadaan (eksistensi, batin) Anda, maka Anda lebih tidak hadir daripada diri Anda sendiri.

Ini tidak sesederhana ungkapan populer “jadilah dirimu sendiri, maka kau akan bahagia”. Sama sekali tidak.

Buktinya, petani itu seketika “menderita” saat nama Castro “menjadi dirinya” (karena “ketidakhadiran Che” dan “kehadiran Castro”) dan seketika “menjadi bahagia” saat nama Che “menjadi dirinya” (karena “kehadiran Che” dan “ketidakhadiran Castro”). Berwujudnya Castro atau Che—yang jelas bukanlah diri hadir petani itu—membuhulkan dua rasa batin yang kepalang tidak akur pada dirinya: derita versus bahagia.

Buktinya lagi, misal, saat dulu Anda hendak melanjutkan kuliah, boleh saja itu demi menyenangkan hati orang tua. Anda menjadi orang tua Anda, bukan diri Anda. Anda menderita karena menjadi “orang tua”, wujud “ketidakhadiran” Anda, tetapi Anda bahagia karena bisa kuliah, wujud “kehadiran” Anda. Lantas, pada suatu tahun, Anda lelah sama perkuliahan karena semakin terasing dengan atmosfer kampus dan lebih tertarik untuk menjadi Sema’un (dan ini jelas bukan kehadiran Anda pula). Anda merasa menderita karena menjadi orang tua dan bahagia karena menjadi Sema’un. Sungguhkah Anda menderita dan sungguhkah Anda bahagia, toh keduanya sama-sama menisbatkan ketidakhadiran Anda?

Sartre memungkasi pandangannya ini dengan kalimat cantik: “Cara di mana Anda bukan Anda sendiri dan cara di mana Anda bukanlah dia, tidak terlalu berbeda.” Artinya, rasa menderita dan rasa berbahagia dalam cara ketidakhadiran itu (menjadi orang tua atau Sema’un) sesungguhnya tidak terlalu berbeda. Setipis pentyliner!

****

Midori akhirnya mengatakan keinginan yang tak masuk akal dan mengundang tawa ketika memutuskan keluar dari kamarku karena didera kebosanan mendalam pada dua film porno yang ditontonnya. “Aku ingin memanjat pohon….”

Serupa dengan semua kita, lazimnya, setiap akan mulai menonton film bokep, hasrat diri sangatlah menggebu-gebu. Imajinasi keranjangan menyalak-nyalak. Begitu film diputar, hening menyergap. Hanya terdengar tarikan napas yang cenderung berat—dalam anekdot Kiai M. Faizi, “Jika di depan kamar kos terdapat banyak sandal, tetapi tidak ada suara dari dalamnya, itu tanda mereka sedang memutar film bokep.” Begitu film telah menayang setengah jam, rasa bosan mulai menyergap. Menguat. Lalu punahlah semua hasrat diri yang menggebu-gebu tadi.

Demikian pula kebosanan mendalam yang terjadi pada Midori, tokoh dalam novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami itu. Celetukan Midori untuk memanjat pohon seusai meminum cocktail merupakan ekspresi kemuakan pada dera kebosanan akibat “tidak menjadi dirinya”, atau, ketidakhadirannya. Bukankah situasi muak ini setipis pentyliner benar jedanya dengan gebuan hasrat saat hendak memutar film bokep itu? Sungguh sebuah “cara yang tidak terlalu berbeda” antara dua ketidakhadiran itu.

Pertanyaannya kini apakah ketidakhadiran diri pada diri (sebutlah, menjadi orang lain karena sebuah pengaruh atau kepentingan) adalah sebuah problem bagi hidup kita? Sebab, kata kuncinya, jika ia menisbatkan problem, buahnya adalah penderitaan; jika ia tidak meriwayatkan problem, buahnya adalah kebahagiaan. Sedekat itu jarak menderita dan bahagia ternyata—hanya ada pada silsilah “problem” itu.

Para motivator mainstream tentu sudah terlalu membosankan untuk didengarkan karena cenderung berpikir negatif bila ditanya tentang: “Bagaimana cara agar saya bisa bahagia?” Jawabannya mudah diterka: be your self! Apa yang saya maksud “berpikir negatif” ialah simplifikasi. Penyederhanaan yang gegabah. Dan itu sungguh tak masuk akal!

Mungkinkah kita tiba-tiba menyeruak ke permukaan dengan emblem “diri sendiri”? Saya bilang, mustahil! Tepat di titik ini, para motivator itu tak pernah mampu menuntun Anda untuk menjadi diri Anda sendiri, bukan?

Mari ingat selalu betapa semua kita adalah makhluk historis. Kita lahir, besar, dan menua bukan di Mars, tapi di bumi, di Gunung Kidul atau Cilacap, misal, yang di dalamnya ruah tumpah dengan historisitas. Nihilisme warisan Nietzsche, sampai di sini, jelas hanyalah bualan kosong belaka di hadapan fakta historisitas kita.

Lantas, perjalanan hidup kita (baik secara akademik ataupun pergaulan) membintikkan “kehadiran baru” yang membentuk entitas diri kita, siapa kita, bagaimana kita berpikir, bertindak, dan ujungnya merasa hidup bahagia atau menderita. “Kehadiran baru” yang terbentuk dari “ketidakhadiran” (perjalanan, pencarian) dan sekaligus “kehadiran” (khazanah tradisi), penerimaan atau penolakan, secara diam-diam ataupun blak-blakan. “Kehadiran baru” itu adalah historisitas kita yang membentuk diri setiap kita, baik yang berubah kemudian ataupun yang menetap akhirnya. Ia adalah proses panjang hidup kita yang berpangkal pada “kehadiran dan ketidakhadiran diriku dalam diriku”. Tanpa ampun!

Apakah muaranya lantas menerbitkan rasa bahagia atau menderita, inilah pertanyaan utamanya yang harus selalu kita takar sejeli-jelinya sebelum terlambat.

Apakah petani dari Kuba itu bahagia setelah memperlihatkan ketidaksukaannya pada Castro dan kesukaannya pada Che? Tidak, ia gemetar didera khawatir “aku” ternyata adalah seorang polisi.

Apakah Midori bahagia setelah menonton dua film porno sekaligus? Tidak, ia bosan luar biasa!

Apakah Anda bahagia dengan keputusan tidak menyelesaikan kuliah karena Anda berpikir bergelar sarjana hari ini bukanlah garansi kualitas kecendekiaan dan kecemerlangan masa depan—dan itu bukanlah cara “kehadiran” Anda? Hanya Anda yang tahu jawabannya—dan, pasti, sejarah historisitas yang kelak akan memanggungkan kepada khalayak apakah Anda sungguhan bahagia atau menderita.

Apa pun atau siapa pun yang tengah kita tempuhi pada “ketidakhadiran diri” kita kini, kita hanya perlu memastikan dengan sepenuh nalar sehat, sadar, dan tulus bahwa “kehadiran baru” kita di shaf itu pulalah yang nantinya akan memanenkan bahagia atau derita. Kita akan menghuninya sendirian, tidak bersama apa atau siapa yang mengisi kita, lalu akhirnya epitaf abadi tentang kita akan tertuliskan sedemikian adanya. Kata Maulana Rumi, “Semua kita akan memiliki jalannya sendiri, mungkin kita akan berjalan bersama-sama, tetapi takkan ada yang menempuhkan jalan itu untuk kita.”

Bila ingat narasi ini, rasanya sungguhlah konyol bila kita sedemikian pongahnya menegasi khazanah historisitas (“kehadiran lama”) karena terbius oleh panorama-panorama baru (“ketidakhadiran”), lalu kita menashihnya dengan bangga sebagai “kehadiran baru” kita, padahal di suatu kelak kita akan meratapinya sebagai “kehadiran baru yang tidak hadir” pada kehidupan nyata kita. Tetapi, memang, sebaliknya, sama konyolnya bila kita bersikeras menampik panorama-panorama baru sebagai “ketidakhadiran” kita, lalu kita berbangga-bangga dengan “kehadiran lama” sebagai mutlak “kehadiran baru” kita, padahal kita tahu dunia ini terus bergerak dengan roda yang melindas-lindas.

Apa pun itu, siapa pun itu, begitulah kita menjadi. Begitulah kita berhistori. Dan begitu pulalah kita dikenang. Diperlukan kerendahan hati dan pikiran untuk bisa memaklumi bahwa “kehadiran baru” kita sejatinya adalah sirkulasi “ketakhadiran dan kehadiran”, lama dan baru—dan keduanya tidaklah “terlalu berbeda”.

Sartre memang tidak mengaitkan teori “ketidakhadiran”-nya dengan perkara bahagia atau derita. Maklumi saja, buat dia yang eksistensialis-ateis, hal-hal demikian menjadi sesederhana “Aku berpikir maka aku ada”—kendati tak mengakuinya. Adapun kita, atau konkretnya saya, kebahagiaan adalah sebuah dasein, sebuah the way of life, sebuah “Perjanjian Primordial”.

Jogja, 13 Oktober 2016

Edi AH Iyubenu

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!