Memburu Mimpi dalam Fiksi

Judul                         : DI SURGA, KITA DILARANG BERSEDIH

Penulis                     : Umar Affiq

Penerbit                   : Basabasi

Edisi                         : Pertama, Agustus 2018

Tebal                        : 312 hal

ISBN                          : 9786025783210

Konon media massa cetak telah memasuki waktu magrib-senjakala, bila meminjam istilah Bre Redana. Media luring digantikan oleh media daring, terlepas pro-kontra yang menyertainya. Karena fenomena ini, banyak koran “mengorbankan” rubrik sastra mereka. Sekadar menyebut beberapa kasus, Lampung Post semenjak Agustus 2018 tidak lagi menayangkan cerpen baru, sekadar melanjutkan pemuatan yang dilakukan Media Indonesia, koran satu induknya. Radar Surabaya pun sudah lama menutup lapak pemuatan cerpennya.

Lantas dialamatkan ke mana cerpen-cerpen itu? Boleh dikatakan, “sastra koran” memang tidak seganas beberapa dekade lalu, ketika koran menjadi wadah pemuatan cerpen-cerpen berkualitas dan pembukuan cerpen yang dimuat koran begitu gencar. Di awal 2000-an, Penerbit Buku Kompas begitu rajin menerbitkan buku para cerpenis yang rata-rata sudah dimuat di koran, termasuk Kompas sendiri. Pengumpulan cerpen yang dimuat di media massa menjadi buku adalah sebuah tradisi yang kita tiru ketika sastra koran masih merajai di negeri ini.

Buku perdana Umar Affiq ini masih menggunakan formula demikian; mengumpulkan cerpen yang telah tersiar di media massa, dipilih judul terbaik untuk kemudian menjadi judul buku. Cerpen-cerpen dalam buku ini sebagian besar telah lebih dahulu dimuat di media massa.

Kutipan dan kata pengantar penulis dalam buku ini bisa kita jadikan sebagai cara membaca keseluruhan cerpen. Umar Affiq menyebut bahwa “hasrat menulis cerita” semula digerakkan oleh mimpi. Kemudian diperkokoh dengan pilihan dua kutipan di bagian awal, yakni milik Allan Lightman dan Rene Magritte, seniman asal Belgia.

“Mendapati mimpi yang rasanya begitu destruktif, sekaligus membangun sisi kepengarangan saya,” aku Umar Affiq.

Betapa kuatnya mimpi bagi kepengarangan penulis dapat kita lacak dalam cerpen “Suman”. Mimpi dalam cerpen tersebut menjadi bunga tidur sekaligus bocoran dari langit atas kematian Suman sendiri.

“Dalam mimpi itu, aku hanya berdiri di sisi mayatku sendiri, menyaksikan istri dan ibu tergugu tanpa air mata.” (hal.31)

Prosi pembahasan mimpi dalam cerpen ini memang menjadi dominan, hingga menutupi sebuah maksud atas kritik yang hanya disinggung Umar dalam beberapa larik kalimat.

Hampir setahun berdiri, pabrik itu (red: pabrik semen) telah menelan banyak pekerja dan dampak kekeringannya telah terasa. (hal.30)

Penulis memang lebih asyik mengupas mimpi Suman, yang menjadi penanda akan kematiannya sendiri. Dan perkara lebih banyak soal pabrik semen, justru dibahas lebih panjang dalam cerpen “Mayat itu Tergeletak di Tengah Jalan”. Dikisahkan mayat Salim ditemukan. Besar kemungkinan mayat itu terkait dengan protes atas pabrik semen.

Orang-orang desa mengenal Kang Salim sebagai orang yang paling giat mengajak warga menolak didirikannya pabrik semen dua kilometer di selatan desa. (hal.94)

Meski dalam cerpen ini, penulis juga masih keranjingan dengan mimpi. Sebenarnya, aku sudah mendapatkan wangsit tiga hari lalu, akan ada mayat tak wajar di desa ini. (hal.94)

Melacak bagaimana penulis begitu menggemari mimpi dalam fiksinya dalam dengan gamblang ditemukan dalam cerpen Harimau Sunan”. Perjumpaan dengan sosok imajiner yang memberi petuah dalam cerpen tersebut juga terjadi dalam domain mimpi.

Joko Pinurbo dalam penutupan Litbeat, 11 September 2018 lalu, menyinggung mimpi. “Saya memang tidak setiap saat menulis puisi, tetapi saya terus memikirkan puisi bahkan dalam mimpi.” Ya, mimpi bisa menjadi energi besar bagi seorang pencipta. Di alam mimpi, semua batasan nalar tak berlaku. Semua imajinasi bisa tumbuh tanpa pagar. Dan ini bukankah bahan utama sebuah fiksi.

Meski mimpi dalam bahasan Umar Affiq belum memiliki kekuatan sedahsyat dalam film Inception (2010), atau A Day (2017), atau Will You Be There? (2016). Dunia mimpi dalam tiga judul film tersebut mampu menggerakkan kehidupan keseharian manusia, bahkan memberi signifikansi perubahan. Tidak sekadar bunga tidur yang masih diraba-raba kemungkinannya sebagai petunjuk atas apa yang akan terjadi.

Cerpen yang menonjol dalam pembacaan saya adalah “Untuk Siapa Pohon Berdoa?” Dialog-dialog subtil dalam cerpen ini begitu kuat, diperkuat dengan jalinan fantasi soal pohon yang menjadi tulang punggung cerpen ini. Meski kisah yang ditulis masih seputar asmara dan patah hati, nuansa subtil yang mendukung mampu menambah cuka bagi sebidang luka yang penulis hamparkan.

“Apa kabar pohon aku sekarang?”

“Pohon itu sudah tinggi-besar sekarang. Anak-anakku suka bermain di bawahnya dan suamiku suka sekali buahnya.” (hal.216)

Kehadiran Penulis Muda

Sebagai penulis muda, Umar Affiq memang tidak terpaku pada satu bentuk kebanyakan cerpen. Dalam beberapa judul, kita dapat temukan percobaan-percobaan teknik menulis yang ditawarkan. Meski beberapa terkesan sekadar tempelan yang kurang padu dengan cerita dan tekniknya sendiri.

Yang paling kentara dalam penulisan beberapa cerpen adalah keinginan sosok penulis hadir dalam cerpennya. Terbukti dari beberapa cropping judul buku, judul film yang adalah konsumsi penulis dan ditempelkan dalam cerita. Seolah ingin menunjukkan referensi penulis. Bukan menjadi soal, tetapi beberapa perlu diamplas lagi agar halus tidak terkesan asal tempel.

Namun sebagai buku pertama sekaligus menandai jejak Umar Affiq dalam dunia sastra, buku ini cukup enak dibaca. Meski di langkah-langkah selanjutnya, penulis harus berani dengan konsep yang lebih kuat dan cerita yang padu.

Atau mungkin penulis baik Umar Affiq atau cerpenis lain, memikirkan pembuatan buku kumpulan cerpen dengan konsep yang padu dan teknik penulisan yang kuat. Dengan tujuan memang khusus untuk judul sebuah kumpulan cerpen, bukan sekadar diedarkan di koran baru kemudian dibukukan. Bukan jelek, tetapi bila sudah dianggit sedari awal pastilah ada kepaduan masing-masing cerita.

Mungkin bisa ditiru bagaimana Budi Darma menulis judul kumpulan cerpen kanon, Orang-Orang Bloomington yang sama sekali tidak lebih dulu dimuat sastra koran. Ya, kita tunggu karya Umar Affiq selanjutnya. []

Teguh Afandi
Latest posts by Teguh Afandi (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!