Memikirkan Ulang Gaya Hidup Religius

Judul                           : Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir

Penulis                         : Marvin Harris

Penerjemah                  : Ninus D. Andarnuswari

Penerbit                       : Marjin Kiri

Cetakan I                    : Mei, 2019

Halaman                      : x + 262

ISBN                           : 978-979-1260-88-6

Pada zaman modern, agama telah menemukan dua rival tangguh baru sebagai sumber pencarian kebenaran: sains dan sejarah manusia. Dua mahadaya ilmu modern ini punya tendensi sangat ampuh untuk tidak pernah membiarkan agama-agama hanya diilmukan berdasarkan dogma yang melangit. Keduanya menarik paksa agama, kitab suci, para utusan agama, bahkan Tuhan, pada semesta bumi. Hasilnya, terkadang bahkan cukup sering, membuat orang-orang beriman harus berpikir ulang tentang dogma agama tapi sering juga memicu amarah.

Dalam buku Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir (2019), antropolog Marvin Harris mencoba memberikan penjelasan teka-teki tabu atau larangan (gaya hidup) keagamaan. Dengan pendekatan materialisme kultural yang tak mau berakhir dengan berkata “hanya Tuhan yang tahu”, dan dengan perlintasan luas data geografis dan bukti historis, Harris memfondasikan kehidupan (kultural) kaum beragama kepada kebutuhan-kebutuhan mendasar berhidup di muka bumi. Tak ada metafisika atau teologi yang diberi posisi utama sebagai penjelas teka-teki gaya hidup agama.

Harris menyajikan tiap pokok masalah sebagai satu serangkaian pembahasan dan penjabaran atas tabu/larangan dengan memberikan pendasaran paradigmatik. Kita diajak memecahkan teka-teki tabu di tanah yang gersang di kawasan Timur Tengah ke tanah yang sangat subur di kawasan Pasifik. Dari masyarakat yang mempunyai Tuhan monoteistik ke masyarakat dengan dewa-dewa atau roh leluhur. Semua tema pokok dibuat saling kait-mengait untuk menjawab tabu dalam agama yang selama ini dianggap tak terjelaskan, atau membantah penjelasan inkonsisten teologis, atau penjelasan irasional dari para ahli modern.

Bagi Harris, larangan memakan sapi dalam agama Hindu di India, larangan memakan babi dalam agama Yahudi dan Islam, atau fanatisisme cinta memakan babi adalah satu gaya hidup yang sama. Alasan utama pelarangannya bukan dari dogma, tapi terutama dari ekosistem dan daya tampung habitat yang tersusun dari tanah, tetumbuhan, hewan, iklim, perhitungan ekonomi, populasi flora-fauna dan manusia. Harris juga membuktikan dengan pembacaan data sejarah yang tangguh dari masa-masa yang sangat lampau sampai dari masa yang baru.

Dalam kasus sapi suci di India, sebagai contoh, Harris menyimpulkan: Hukum termodinamika dan pilihan selektif-evolusiner sapi (jenis zebu) adalah justru yang mendasari penyucian sapi. Hukum-hukum inilah yang wajib dipatuhi jika tidak ingin terjadi krisis ekonomi, budaya, politik pada agama Hindu. Larangan memakan babi juga punya pendasaran yang sama seperti sapi. “Alkitab dan Al-Quran mengutuk babi karena peternakan babi adalah ancaman bagi keutuhan ekosistem alami dan budaya Timur Tengah,” kata Harris.

Dari ekosistem babi haram, Harris membuat perbandingan telak dengan tanah subur dan penuh air yang sangat cocok untuk habitat babi yang juga dihuni suku-suku holtikultura pecinta fanatik babi di New Guinea dan Kepulauan Pasifik Selatan. Penghuni area ini adalah “pemakan hutan”, dan sebab itu harus membuat siasat canggih agar bisa bertahan dari ancaman ekologis dan sosial-militer dari luar kelompok mereka.

Pada bagian itu, Harris membuat satu tahap pemikiran lebih menukik: bagaimana ekosistem makanan pokok dan kebutuhan protein jadi pemicu perang. Harris juga menjabarkan bagaimana perempuan yang mempunyai segala hal untuk membentuk sistem matriarki (dari kendali reproduksi, produksi pangan, edukasi, dan seterusnya) tapi justru tersudut dalam lingkaran iblis patriarki yang tidak hanya dikehendaki lelaki tapi juga diusahakan perempuan meski jadi korbannya. Ancaman perang mengubah secara radikal keunggulan agregat perempuan.

Tesis-tesis Harris itu tampak remeh, terutama bagi para pengiman idealis seperti agamawan, psikolog seperti Freud (yang diejek Harris), atau pemikir tentang manusia sebagai mahkluk buas, atau feminis yang terlalu idealistik. Hasil penelusuran bibliografis Harris menunjukkan bahwa hal-hal yang mendasar berhiduplah yang menjadi motif perang, baik dalam perang “primitif” atau perang modern—ingat perang dagang mutakhir. Para pelaku sering mengelabui diri secara personal atau kolektif dengan mencipta pembenaran teologis, seksual, idealistik, atau mistik. Antara penanaman rumbin (pohon suci) bagi suku Maring atau membuat senjata nuklir adalah sama: untuk membuat, mencegah, atau menunda perang dan damai.

Dari makanan dalam kuasa ekologis-habitat, Harris bergerak lebih jauh lagi: bagaimana suatu masyarakat menciptakan pola pemahaagungan kekayaan material demi menjamin dan melayani tuntutan ekologis. Bagi Harris, tak ada beda antara praktik potlatch (perjamuan mahapamer kekayaan) bagi orang Indian Amerika yang berdiam di pantai Alaska Selatan dengan praktik “etika protestan”, sistem bonus berdasarkan prestasi dalam kapitalisme, pemberian-pemberian hadiah dalam relasi bisnis-politik, pemunculan “orang besar”, angpao pada hari raya tertentu, berkurban hewan, dan seterusnya. Seperti dalam hukum ekologi, sistem-sistem ini punya fungsi melayani distribusi kekayaan atas sumber daya alam. Orang-orang yang berhasil secara ekonomi-sosial atau “orang besar” diagungkan tapi juga dituntut secara sosial-etis untuk melakukan distribusi sumber daya dan sekaligus menjalankan sistem produksi.

Petualangan atas tafsir tabu dalam gaya hidup agama memuncak pada citra Yesus dari Nazareth. Dengan pendasaran pada kebutuhan dasar berhidup pada zaman penuh pergolakan militer dan hasrat utopis-religius akan kedatangan mesias-militer, dan dengan bukti dan argumentasi yang berlapis-lapis yang diambil dari sumber sejarah, Harris sampai pada satu kesimpulan: “Kesadaran gaya hidup yang sama-sama dimiliki Yesus dan para muridnya bukanlah kesadaran gaya hidup mesias pendamai.” Di sini, Harris tidak memfondasikan pada sesosok “great man” (manusia akbar) sebagai yang mahamampu mengubah fondasi berhidup yang telah ditetapkan alam dan pranata sosial-politik. Tiap manusia terserap dalam sistem material-kultural yang merengkuhnya.

Tentu saja, berbagai penjawaban atas teka-teki religi itu masih sangat bisa diperdebatkan. Kehadiran sains modern dan ilmu sejarah baru memunculkan keriuhan penjelasan bahkan pertarungan pemaknaan baru atas agama-agama. Masalah krusial yang muncul kemudian: jika penjelasan sains dan sejarah lebih bisa diandalkan, dan jika semua alasan saintifik itu ternyata mendasari tabu/larangan, apakah tabu/larangan itu bisa dianulir, dilegal-halalkan setelah sebelumnya diharamkan, misal, jika alasan-alasan yang mendasarinya sudah tidak berlaku lagi. Hampir semua agama di muka bumi menghadapi masalah ini. Tanggapannya sangat bervariasi: dari yang ekstrem iman harfiah sampai yang longgar kontekstual.

M. Fauzi Sukri
Latest posts by M. Fauzi Sukri (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!