Mendengar Musik, Membaca Manusia

Judul Buku      : Lanskap Mosaik Musik dalam Masyarakat Jilid 2

Editor              : Irfan R. Darajat

Penerbit           : Laras

Tahun Terbit    : Januari 2017 (Cet. I)

Tebal               : xviii + 174

Karya seni, apa pun itu bentuknya, seturut dengan pandangan Theodor W. Adorno, tidak pernah lahir dari ruang yang kosong. Kelahiran karya seni nyaris selalu berkelindan dengan ruang dan waktu yang melingkupinya. Aturan itu, kalau boleh disebut demikian, agaknya juga berlaku dalam karya seni bernama musik.

Musik selama ini menjadi sebentuk karya seni yang paling diakrabi manusia. Seburuk apa pun apresisasi seni seseorang, serendah apa pun pendidikan seseorang, atau semiskin apa pun seseorang, niscaya meski sekali dalam hidupnya ia pernah akrab dengan musik.

Lantaran berkelindan dengan realitas ruang dan waktu itulah, aktivitas musikal (baik mendengarkan atau memproduksi musik) merupakan fenomena sosial yang kompleks dan menarik untuk diurai. Kelindan musik dengan realitas sosial itulah yang memungkinkan pilihan musik seorang pedagang keliling dari sebuah kota kecil dapat dibaca dari perspektif sosiologis, psikologis dan juga politik-ekonomi.

Barangkali, kerja-kerja intelektual semacam itu akan dianggap berlebihan dan membuang waktu. Namun, jika dilakukan secara serius, pembacaan seperti itu akan mendapati detail-detail kehidupan yang bisa dipastikan tidak tertangkap oleh mata awam kita. Menukil ujaran filosof eksistensialis Soren Kierkegaard, kehidupan yang abai pada detail, acapkali berakhir menjadi kehidupan yang nirmakna.

Buku Lanskap Mosaik Musik dalam Masyarakat yang dieditori oleh Irfan R. Darajat ini ialah satu dari sedikit upaya untuk membaca musik sebagai realitas sosial. Buku ini merupakan bunga rampai dari sejumlah penulis muda. Terdapat tidak kurang dari delapan judul tulisan, hasil amatan tentang musik dan kehidupan sosial masyarakat. Tema yang diangkat pun cukup beragam dan barangkali jarang terpikirkan sebelumnya sebagai bahan kajian ilmiah.

Di bagian awal, kita disuguhi hasil pembacaan atas makna musik dangdut yang diputar oleh pedagang gethuk (olahan tradisional singkong) keliling. Micheal B. Raditya, penulis artikel menelaah pilihan musik pedagang gethuk keliling yang memiliki usia dan latar belakang kehidupan yang berbeda. Usia, latar belakang pendidikan, dan kehidupan nyatanya berpengaruh pada pilihan ketiga pedagang gethuk terhadap jenis musik dangdut yang diputar di gerobaknya.

Preferensi musik ketiga pedagang gethuk itu tentu bukan ihwal kebetulan yang tanpa makna. Raditya melihat pilihan musik ketiga pedagang gethuk itu dalam kerangka semiotika (teori tanda). Yakni bahwa musik yang diputar menjadi semacam penanda kehadiran pedagang sekaligus representasi dari selera musik masyarakat luas. Preferensi musik para pedagang gethuk yang memilih dangdut dengan berbagai macam gagraknya adalah bagian dari apa yang oleh para pakar pemasaran disebut sebagai marketing strategy.

Pada bagian selanjutnya, kita akan bertemu dengan tulisan dari M. Rizki Sasono, yang notabene adalah vokalis dari grup musik indie Riski Summerbee and the Honey Thief yang cukup disegani di kancah musik indie nasional. Rizki, mengikuti pengkaji musik Max Richter mencoba mengulik musikalitas di Jalan Kaliurang.

Rizki memaknai Jalan Kaliurang dengan deretan rumah makan dan pertokoan adalah semacam ruang imajiner tempat musik populer dirayakan sebagai bagian dari denyut nadi perekonomian. Di Jakal, tulis Rizki, musik tidak lagi hadir dalam relasi konvensional antara pemain dan pendengar, namun ia menjadi konstelasional, ekonomi, dan gaya hidup dalam ruang yang sama (hlm. 37).

Dua tulisan tentang pertautan musik metal dengan Islam boleh jadi adalah alasan mengapa buku ini perlu dianggap penting. Dalam “Salam Satu Jari: Politik Ruang dalam Skena Musik Underground”, Ferdhi F. Putra menjelaskan bagaimana skena metal telah menjadi arena kontestasi ideologi nasionalisme versus islamisme. Kemunculan fenomena Salam Satu Jari yang diinisiasi vokalis Tengkorak Ombat Hariadi Nasution, disebut Ferdhi sebagai semacam upaya anak muda dalam menegosiasikan identitas keindonesiaan dan keislamannya.

Sementara Wiman Rizkydarajat dalam Black Metal di Kemranjen, Banyumas mendedahkan bagaimana musik black metal yang identik dengan isu satanisme-okultisme bersinergi dengan pondok pesantren. Adalah band bernama Agnostica yang berhasil mengubah citra black metal sehingga dapat diterima kalangan pesantren.

Satu hal yang acapkali membuat saya iri pada para peneliti sosial adalah kemampuannya dalam melihat sesuatu yang seringkali dianggap remeh dan luput dari amatan orang kebanyakan. Kemampuan itu tampak betul pada Gregorius Ragil. Alih-alih menulis isu-isu besar semisal hubungan musik dan politik ia justru menulis perkara remeh tentang makna di balik ucapan terima kasih dalam sampul album musik.

Menurutnya, tidak sesederhana yang terlihat, ucapan terima kasih para musisi atau penyanyi pada sampul album merupakan ekspresi seni yang sebetulnya sarat makna. Menggunakan teori arena produksi yang digagas Pierre Bourdieu, Ragil menyimpulkan bahwa ucapan terima kasih dalam sampul album merupakan representasi dari jejaring modal (kapital dan budaya) yang berpengaruh dalam produksi album tersebut.

Sebagaimana buku bunga rampai pada umumnya, kelemahan buku ini terletak pada kurang mendalamnya satu tema dikupas serta kesan tidak adanya kesinambungan antartema. Masing-masing tulisan seolah berdiri sendiri tanpa ada upaya untuk mendialogkannya. Barangkali, akan lebih menarik apabila terdapat semacam epilog yang menarik benang merah dari tema-tema yang berserakan itu.

Meski demikian, buku ini tetap memiliki andil yang tidak kecil bagi kajian-kajian lintas disiplin yang ironisnya masih sangat jarang dilakukan secara serius di negeri ini. Ketika dua majalah musik paling otoritatif di negeri ini, yakni HAI dan Rolling Stone Indonesia telah memutuskan berhenti cetak, praktis publik pegiat kajian musik di Indonesia mengalami defisit referensi untuk melihat sejauh mana musik dan kehidupan sosial saling bertautan. Buku ini, dengan segala kekuarangannya kiranya cukup untuk menambal defisit tersebut.

Taufiqurrahman, kritikus musik kawakan dari harian The Jakarta Post pernah berujar bahwa menulis musik pada dasarnya adalah menulis tentang manusia. Esensi dari menulis musik, menurutnya, bukanlah menulis hal-hal teknis semisal lengkingan gitar, dentuman bass, ketukan drum atau tarikan vokal membahana. Lebih dari itu, menulis musik pada dasarnya adalah mendemistifikasi karya seni sembari tetap menghargai kompleksitas manusia sebagai pencipta maupun penikmatnya. Dalam banyak hal, penulis-penulis dalam buku ini telah berhasil melakukannya.

Nurrochman
Latest posts by Nurrochman (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!