Mendengar Sayup Luka Turki

Judul buku : Aku Mendengarmu, Istanbul
Penulis : Bernando J. Sujibto
Editor : Avifah Ve
Penerbit : Divapress, Yogyakarta
Edisi : Cet. 1, Januari 2018
ISBN : 978-602-391-650-4
Halaman : Soft cover, 250 hal; 14 x 20 cm
Harga P. Jawa : Rp60.000,00

Istanbul di Republik Turki lebih sering kita dengar dibanding dengan Palikir di Federasi Mikronesia, meski Presiden Recep Tayyip Erdoğan tidak ada hubungan darah dengan Indonesia sebagaimana halnya Presiden Peter M. Christian yang berterus terang; aku ini generasi ketiga keturunan Maluku. Apa karena kinship atau kekerabatan genealogis kalah moncer dari kekerabatan iman? Tapi sejatinya, masa bodohlah, itu bukan urusan fiksi.

Urusan terbesar fiksi bukan berasal dari mana sebuah cerita atau tentang apa, melainkan sejauh mana ia mampu membujuk pembaca memercayai segelondong peristiwa atau secuil insiden yang menampilkan sebuah dunia yang mungkin dan tak mungkin. Ketika fiksi memimpi kemungkinan dunia manusia yang mestinya berhenti saling bunuh, yang nulis akan repot-repot menjamu tamu pembacanya dengan camilan nyawa dan ceceran darah dari ledakan bom di tengah massa demonstrasi di sebuah taman kota di Lice, sebagaimana dalam Ela Gözlü (hal. 38), cerpen pembuka di kumpulan Aku Mendengarmu, Istanbul. Tokohnya, Berivan, menjadi luka ingatan dan sialnya terluka kembali saat ia—sebagaimana kita—menyaksikan hal-hal yang mengingatkan pada luka yang sebenarnya.

Begitulah, kadang menjengkelkan juga jadi manusia; ingatan pendek tentang cinta dan seks jadi candu, ingatan panjang tentang luka dan tragedi jadi terasa sakitnya berulang kali, meski tinggal sisa dalam ingatan. Dua hal tersebut; cinta dan tragedi, menjadi bab pembungkus dalam kumpulan 15 cerita dari Bernando J. Sujibto, yang merupakan alumni program master sosiologi Universitas Selcuk, Turki. Melihat latar belakangnya sebagai akademisi, pembaca dapat menemukan taburan ocehan gurih dan meyakinkan di atas lapisan gosip ilmiah dan, tentu saja, adonan fiksi.

Pemikiran-pemikiran bernas dari hasil riset sosiologis akan kita temukan berseliweran dalam arus cerita yang kadang lancar, kadang lambat, kadang bolak-balik diselingi pencetan klakson bahasa Turki yang membuat kita harus menilik spion catatan kaki.

Kamu tahu, teroris semuanya mengaku muslim. Dengan memekik Allahu ekbar, peluru dilecutkan, bom diledakkan. Kapan Islam mau maju dan disegani? Mereka saling menghancurkan dari dalam (“Kalekoy Untuk Muhammad Hasan Turki”, hal. 48).

Yang kami tahu, makna cinta adalah cara bertaruh nyawa dan darah. Tanpa darah, cinta kepada tanah kelahiran adalah cerita fiksi (“Lima Biji Zaitun Rontok”, hal. 211).

Dua contoh pemikiran bernas dari pose genit senjata dan iman, yang memikat darah dan agama dalam konstelasi politik global dan regional, semacam terkutip dalam cerpen-cerpen tersebut, menarik dan mencekik perhatian kita sebagai manusia normal. Misalnya, apakah kemudian mereka yang menginginkan kemerdekaan atas nama tanah-kelahiran-mereka-yang-lain disebut sebagai teroris atau pemberontak ataukah disebut: kelompok yang cinta tanah kelahiran yang bertaruh nyawa dan darah dengan peluru, bom, dan teriakan takbir? Saya tidak tahu jawabannya.

Tapi saya punya segelas ocehan yang sudah dingin; jika ada tanah kelahiran, berarti ada tanah kematian, dan di tengah-tengahnya, yang paling sejati, yang durasinya lebih lama dibanding lahir dan mati, yang tiap hari kita usahakan ada; tanah kehidupan. Karena apa, karena tidak semua yang lahir di istana menjadi raja, sebagaimana tidak semua yang lahir di kandang domba menjadi penggembala. Tanggung jawab pada kehidupan manusia di luar ruang identitas, tanpa batas genealogis, kekerabatan iman, atau tali negara, yang terbukti membuat orang yang lahir di istana tadi menjadi budha dan yang di kandang domba menjadi nabi.

Dalam bab yang mengelompokkan cerpen-cerpen dengan stempel cinta, Bernando J. Sujibto lebih banyak mengelola ingatan. Mulai dari dirinya sendiri, masa kecil di Madura, Kyai Zainal Arifin Thoha, hingga benturan dengan masa lalu dari tokoh-tokoh Turki yang berebut tempat dalam dunia fiksi dan dunia riset ilmiah untuk menciptakan situasi kritis atas situasi krisis yang ada, yang sebagian besar mereka ditumbuhi latar belakang ingatan perih tentang kehilangan dan kematian. Cerpen cinta hadir dengan cinta yang bertabiat meremuk-remuk hati pencintanya, disertai balutan kartu pos naratif hasil perjalanan ke tempat di mana turis berfoto atau pemberontak mati. Semacam cerpen dari catatan perjalanan—dan yang lebih nyata memakai konsep catatan ini hadir pada cerpen Tragedi-Tragedi di Tramway.

Benturan-benturan ingatan, beban masa lalu dan keinginan masa depan, seolah menangkap hasrat Turki itu sendiri, yang pernah gemilang dalam sejarah sebelum meredup kehilangan voltase peradabannya, yang direpresentasikan melalui individu-individu yang kerap murung dan terancam dalam beberapa cerpen-cerpen Bernando J. Sujibto. Mereka seakan-akan gamang mencari tempat bagi identitas mereka di dalam negara sendiri, di dalam agama, juga antara entitas Eropa dan Asia.

Cerpen Ikuti Anjing Itu, dalam bab tentang tragedi, menjadi cerpen yang membuat saya tertarik. Bukan hanya karena ingatan saya, waktu mengungsi dari daerah operasi militer, muncul seperti hantu bawa senjata—dan menembak kembali luka masa kecil saya, menjengkelkan memang—tetapi lebih dari itu. Meski alur akhirnya mudah diterka, pengelolaan pikiran—motif adalah salah satu mode utama fiksi, dan tindakan tokoh, serta keberpihakan kepada kemanusiaan tanpa obrolan moral dan data yang berlebihan membuatnya seru. Tragedi-tragedi lain tidak kalah mencekik, meski yang paling gurih yang bukan gambaran tidak langsung dari tragedi tersebut; bukan cerita tentang tragedi, tetapi tragedi itu sendiri di dalam cerita.

Tanda lain yang tak bisa luput buat dicatat dalam buku yang penting ini adalah hadirnya asosiasi tokoh yang membaca buku—berkali-kali, bahkan membaca buku karya Bernando J. Sujibto itu sendiri—ya, bolehlah. Muncul juga permainan interteks dengan tokoh-tokoh karya Orhan Pamuk, novelis peraih nobel sastra dari Turki. Pengantar dari M. Alfan Alfian, yang tak kalah legit alur sastrawi dan suguhan Turkinya, juga membangkitkan selera pembaca.

Membaca buku ini membuat kita melihat banyak bekas luka. Kalau dibacakan, setidaknya oleh diri kita sendiri, akan terdengar luka itu mendenging di antara bisikan individu, kemudian gema kolektif; bolak-balik seperti setrika yang satu menyebabkan yang lain. Yang pada gilirannya mencoba meluruskan kusut prasangka kemanusiaan kita akan kondisi Turki, dan daerah-daerah di sekitar perbatasan kerah, maupun di sekitar saku geografis kekuasaan Presiden Recep Tayyip Erdoğan. Seakan semua itu menegaskan kembali bahwa cinta dan tragedi kemanusian sepertinya bukan hanya perkara di Turki atau Mikronesia, tetapi di mana pun manusia itu berada.

Eko Triono
Latest posts by Eko Triono (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!