Kesempurnaan spiritualitas bisa mengantarkan seseorang pada kesanggupan untuk menyaksikan rangkaian wujud dari awal mula penciptaan hingga titik akhir perjalanan kehidupan. Hal itu dimungkinkan karena pada spiritualitas yang sempurna itu terdapat mata nyalang yang tajam dan jernih hingga jarak jalinan kausalitas yang sedemikian panjang bisa ditekuk dan digenggam sebagai sebuah titik kesatuan.
Seorang penjaga gawang rohani Thariqah Syadziliyah, Syaikh Abu al-Hasan asy-Syadzili, di puncak gunung spiritualitasnya dengan tegas pernah menyatakan: “Andaikan tidak dilarang oleh syari’at, saya bisa menyebutkan seluruh rangkaian kejadian dari awal mula alam diciptakan hingga para calon penghuni surga masuk surga dan para calon penghuni neraka masuk neraka.”
Artinya adalah bahwa penglihatan seseorang yang rohaninya sempurna itu sungguh begitu jauh menembus ke kekelaman hutan miliaran tahun di masa silam sekaligus menerobos jauh ke alam keabadian di rerimbunan akhirat yang masih sayup dan kelam. Dan kalau seorang Abu al-Hasan asy-Syadzili yang secara spiritual merupakan derivasi dari rohani Nabi Muhammad Saw. memiliki penglihatan sedemikian tajam seperti itu, apalagi Sang Nabi itu sendiri: pasti penglihatan beliau jauh lebih tajam dan lebih jernih.
Penglihatan yang tajam seperti itu terdapat di dalam hakikat kemanusiaan. Tidak ada pada diri binatang. Pun, tidak ada pada diri malaikat. Juga tidak ada pada makhluk-makhluk apa pun yang lain. Akan tetapi satu hal menjadi pasti bahwa pandangan yang tajam itu tidak secara otomatis bisa dialami oleh semua orang. Hanya orang-orang yang berjerih payah di jalan rohani dan mendapatkan pertolongan Allah Ta’ala yang akan memiliki kesanggupan seperti itu. Karena hal seperti itu mutlak merupakan kuasa hadiratNya.
Di penglihatan rohani yang tajam itu, setidaknya ada tiga hal yang bisa ditangkap secara serentak. Pertama, awal dan akhir yang kesannya terdiri dari dua kutub yang berseberangan itu ternyata satu jua adanya. Di sini, dualisme itu hanyalah bayang-bayang yang tidak lebih dari sebuah “tipuan”. Di antara keduanya seolah terbentang suatu demarkasi yang tidak kepalang tanggung luasnya, tapi ternyata apa yang disebut sebagai jarak itu sesungguhnya tidak ada dan tidak akan pernah ada secara hakiki.
Kedua, rangkaian sebab-akibat dalam proses perjalanan kehidupan itu sebenarnya tidak lain adalah “permainan” Tuhan. Sengaja saya letakkan idiom permainan itu di antara dua tanda kutip. Alasannya jelas bahwa Tuhan tidak pernah main-main dengan segala ketentuanNya. Apa pun yang ditentukan oleh hadiratNya murni merupakan kebenaran yang penuh dengan pelajaran rohani dan hikmah. Tapi itu juga saya sebut sebagai permainan karena Tuhan sendiri tidak wajib patuh terhadap serangkaian aturan yang merupakan hukum alamNya itu. Kerap kali Dia sendiri melakukan intervensi terhadap hukum kausalitasNya. Seperti terjadinya mukjizat pada para nabi, karomah pada para wali, ma’unah pada orang kebanyakan, dan lain sebagainya.
Ketiga, cahaya Nabi Muhammad Saw. merupakan awal mula wujud alam semesta. Ia menjadi selubung sekaligus “substansi” dari segala sesuatu yang lain. Kalau dengan pandangan mata batin yang jernih dan tajam kita melihat apa pun yang kita jumpai, kita akan menemukan stempel cahaya kenabian itu lekat pada seluruh yang ada. Sebagaimana kita juga akan menemukan stempel ketuhanan di situ. Inilah bukti dari adanya ma’rifah ar-Rasul. Inilah pula bukti dari adanya ma’rifah Allah.
Cahaya Nabi Muhammad Saw. yang merupakan awwal al-wujud itu juga disebut sebagai akal pertama yang telah “berjasa” melahirkan seluruh makhluk yang lain, termasuk adanya dunia dan akhirat. Dan tujuan penciptaan semua yang ada itu, selain merupakan rangkaian sebab-akibat bagi kelahiran dan pertumbuhan Nabi Muhammad Saw., juga merupakan pembuktian bagi kesanggupan beliau menampung segala sesuatu. Beliau, dengan demikian, adalah keluasan yang tak terkira-kira. Beliau adalah gumpalan wujud yang paling berbobot dan paling bermutu. Beliau tak lain merupakan “duplikasi” hadiratNya yang paling terang dan paling menawan.
Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu ‘Abdillah ad-Dinuri - 8 November 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah at-Turughbadzi - 1 November 2024
- Syaikh Abu Muhammad ar-Rasibi - 25 October 2024