Mengapa Bapa tak pernah lagi berdoa, Mama? tanya Kei di samping dadamu yang hangat, yang membentangkan rumah dan hal-hal tabah. Apakah Bapa tak lagi percaya Yesus? sambung Kei yang membuatmu semakin bisu. Sebetulnya, kau ingin menjawab pertanyaan itu. Namun, selalu saja ada pertanyaan selanjutnya setelah jawaban yang dilontarkan tak pernah lugas. Bapa itu benci Yesus, kah?
Kau mungkin ingin menjawab segelintir pertanyaan itu dengan permulaan dari beberapa tahun sebelum hari ini. Di sebuah malam, setelah pulang kuliah, tepat di rumah yang dikontrak untuk beberapa teman dia, suamimu yang kau cinta. Namun, sebelum kata pertama mendarat di telinga Kei dan diafragmamu sempurna mengeluarkan bunyi yang kemudian menciptakan sebuah kata, kau menghela, lalu mencium kening Kei. Bapa tidak benci siapa pun, termasuk Yesus.
“Tapi Bapa tak berdoa.”
Kei benar. Namun, tak berdoa bukan berarti benci Yesus.
Lelaki tampan yang kau elus-elus punggungnya itu pun mengeluarkan satu kata yang membikin malam makin panjang: lalu.
“Hanya saja…”
Kau tahu kata-kata yang harus dilontarkan selanjutnya. Namun, semuanya terasa berat, bahkan lebih berat daripada menjadi perempuan karier dan ibu yang baik dan istri yang teladan dan guru di keluarga.
***
Seharusnya itu malam seperti tahun-tahun sebelumnya di Bulan Maria. Kau berkumpul di sana bersama kawan-kawan yang tak alpa berbuat dosa tetapi tak absen memohon ampun kepada Bapa.
Usai kuliah, langkah-langkah kaki beriringan menuju kontrakan. Pelan-pelan, kontrakan makin ramai. Di jam yang melekat di sebagian tangan teman-temanmu itu, menunjukkan waktu yang menipis dan ibadah harus dimulai.
Lebih baik daripada tidak sama sekali, itu yang kau pikirkan saat itu, sehingga pintu kontrakan itu sengaja dibiarkan terbuka. Barangkali, ketika segalanya dimulai, teman-temanmu yang mungkin telat, tak berbalik arah.
Dan tak lama, dari kontrakan itu menjelanak, seperti mantra bagi yang asing. Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus. Amin.
***
Seperti tahun sebelumnya, sebelum menjelang Hari Kenaikan Yesus, di rumah ibu-ayahmu, adik-kakakmu akan memasak satu ekor babi. Sebagian di dagingnya di panggang, sebagian lagi dimasak rica hingga goreng kering.
Para perempuan siapkan bumbu. Para lelaki siap menampung bahan mentah dimasak jadi macam menu. Kemudian setelah beberapa jam kemudian, seluruh makanan digiring ke ruang tamu.
Kebiasaan itu telah kau ikuti bersamanya semenjak 4 tahun belakangan. Tepatnya, semenjak ibu mertuamu menyusul ayah mertuamu yang sejak kalian mengucap janji sehidup semati di depan pastor tak lagi menyaksikan momen paling indah itu.
Dia tak keberatan dan kau betapa bahagia. Namun ketika kau ingat doa bersama, kau tiba-tiba menatap ngeri. Dan tiba-tiba dia memeluk, mencium keningmu, dan mengelus punggungmu.
Kau tahu dia ingin mengucapkan sesuatu. Kau tahu kata-kata yang harus dilontarkan dirinya. Namun semuanya terasa berat, betapa berat setelah 4 tahun belakangan selalu doa bersama menjadi masalah, terutama ketika dia diminta yang membawa.
***
Mungkin itu memang mantra. Malam itu, entah mengapa, Doa Bapa Kami yang terakhir tiba-tiba semakin pelan. Di telingamu dan di telinga teman-temanmu hanya ada asu, lonte, pepek, bajingan, dan bakar.
Mungkin itu suara kau dan teman-temanmu yang terlalu pelan. Namun semakin kencang Doa Bapa Kami dibacakan, semakin keras pantek, kontol, perek, dan bakar.
Mungkin itu benar, kau dan teman-teman terlalu pelan bersuara. Sebab sebelum Doa Bapa Kami yang terakhir menyentuh amin, ada jeda yang kau dan teman-temanmu dengar seperti ini: anak-anak kontol, keluar!
Kau dan teman-temanmu keluar. Kau dan teman-temanmu tak mengetahui, di depan pintu yang terbuka itu, puluhan marah menghampiri. Puluhan marah siap memberi bogem mentah dan makian hingga tahun baru sepuluh tahun ke depan.
Mungkin itu hanya perlu penjelasan. Namun mungkin sesuatu yang kalian rapal seperti mantra bagi yang asing. Sebab, sebelum kau selesai berbicara, ada darah di sebelah kiri perutmu.
Mungkin kau dan teman-temanmu tak pernah tahu, mantra bisa membikin kelewang melayang. Mungkin kau dan teman-temanmu juga tak menduga, setelah kelewang melayang, bogem mentah, bibir pecah, tubuh bau ludah, menyusul seketika.
***
Sebelum akhirnya kau menemukan kata yang tepat, Kei memotong.
“Mengapa Bapa tak pernah lagi berdoa?”
Kau menyerah. Mungkin menceritakan tentang malam itu satu-satunya cara. Mungkin, sebelum cerita itu habis, Kei terlanjur tidur. Namun, seperti ada mantra, pintu kamar terbuka. Cahaya yang tipis masuk. Di balik cahaya itu kau mengenal seseorang itu.
Betapa jelas kau dengar seseorang itu pun berbicara dan mendekat: besok ajarkan bagaimana caranya berdoa ya, Bapa lupa.
Kau tersenyum tipis dan dia memelukmu dan dia memeluk Kei dan punggungmu dielusnya dan punggung Kei dielusnya.
“Bapa tak pandai berdoa ya?”
Kau tak menjawab. Dia juga demikian. Hanya pelukan dan elusan semakin hangat, seperti darah malam itu. Darah sebelum Doa Bapa Kami yang terakhir tandas dirapal.
- Mengapa Bapa Tak Pernah Lagi Berdoa, Ma? - 10 May 2024
nat
wow kena banget, kerennnn
Alfath Fiqri A
Padahal dengan medsos sebenarnya jadi lebih mudah toleransi di ajarkan . Tapi tingkat SDM dan jumlah hoaks yang ada di nusantara ini menjadikan hal yang sebaliknya .
arinaahera
ini nggak bisa dilike ya? KEREN ABIS
Admin
bisanya di-share ke socmed, kak. hehe
Hotma D.L. Tobing
Bacaan berguna. Terima kasih
Lin
Wow saya membaca ini saat menunggu waktu kerja karena datang terlalu pagi. It’s really good story. Sudah lama saya tidak terhanyut dalam sebuah cerpen yang terbilang pendek. Feel ceritanya bisa sekali saya rasakan. Terus berkarya!