Tiap kali menyinggung soal ideologi di bidang ekonomi, biasanya kita hanya akan tergiring untuk mendiskusikan dua ideologi yang saat ini kita kenal luas, yakni ideologi Kapitalisme dan Marxisme (dan turunannya: Komunisme, atau turunannya lagi yaitu Komunisme-Leninisme yang pernah diterapkan Lenin di Rusia, kaum Bolshevik). Keduanya adalah dua arus utama ideologi yang memang menyejarah dan (selalu) head to head. Padahal, jika kita menyelidiki secara lebih mendalam dan bersikap objektif, kelahiran keduanya tidak dapat dilepaskan—walau tidak berkaitan secara langsung—dari satu ideologi lain yang selama ini terabaikan atau hanya mendapat sedikit perhatian dari aktor-aktor yang berperan di panggung sejarah.
Ideologi satu ini, diakui maupun tidak, telah berperan besar dan menjadi jembatan yang menghubungkan peralihan ilmu pengetahuan dari era pra-masehi (Kebudayaan Yunani sebelum masehi) dengan era modern yang diawali perubahan politik (baca: Revolusi Prancis) di abad ke-18 sampai tercetusnya Revolusi Industri di abad yang sama, dan kemudian menyediakan sebuah ekosistem yang subur bagi kelahiran Kapitalisme yang difondasikan oleh Adam Smith, yang seabad kemudian dikritik dengan sangat tajam oleh Karl Marx.
Marx meyakini kapitalisme telah gagal menciptakan masyarakat yang makmur-berkeadilan dan malah menjadi musabab munculnya jurang yang lebar antarkelas ekonomi di dalam masyarakat. Kritiknya kemudian dikenal dengan Marxisme. Ada juga yang menyebutnya komunisme dengan merujuk pada bentuk masyarakat ideal tanpa kelas yang diimpikan Marx (dalam ungkapan lain: komunalisme).
Ideologi yang terabaikan itu adalah sebuah ideologi yang pernah tumbuh besar selama berabad-abad yang kita kenal dengan Islam, sebuah ajaran moral yang digemakan oleh Muhammad Saw. dari tanah Makkah-Madinah yang kemudian diteruskan oleh khulafa al-rasyidin dan beberapa kali mencapai puncak kejayaan politik, ekonomi, dan kebudayaannya. Kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah tercatat dalam sejarah menjadi pemerintahan yang mampu menandingi imperium besar kala itu, dari Persia hingga Romawi. Luasan wilayah kekhalifahan ini bahkan temus ke benua Eropa, yaitu Andalusia yang sekarang merupakan bagian dari wilayah Spanyol.
Maka, menafikan ideologi yang disebut terakhir sama saja dengan melakukan pengingkaran terhadap fakta sejarah atau bersikap ahistoris.
Mari kita sedikit menjelajah.
Jauh sebelum Adam Smith menerbitkan bukunya, The Wealth of Nations, pada tahun 1776 M, para ilmuwan muslim yang bernaung di bawah kekhalifahan-kekhalifahan itu telah menyajikan karya-karya besar yang membahas persoalan-persoalan ekonomi yang cakupannya memiliki kemiripan dengan kajian Smith. Tentu saja pembahasan mereka tidak sama persis, karena perkembangan pengetahuan dan juga sistem politik (baca: bentuk negara) yang berbeda di kedua era tersebut.
Sebagai contoh, kita bisa menyebut nama-nama seperti Abu Yusuf (798 M) dengan Kitab Al Kharaj, sepuluh abad mendahului Smith, yang berisi kajian perpajakan sebuah negara (baca: khilafah). Al Ghazali (1055-1111 M) yang lebih populer sebagai ahli filsafat, tokoh sufi, dan ulama fiqh dengan kitab Ihya’ Ulumuddin-nya, pernah membahas teori permintaan dan penawaran, penurunan harga, dan memperkenalkan elastisitas permintaan. Ia juga membahas pertukaran uang yang disebutnya sharf yang di era kiwari dikenal dengan pasar uang, melarang penimbunan dan pemalsuan uang, juga menyusun pembagian industri menjadi tiga: dasar, pendukung, dan komplementer.
Siapa sangka pula Ibnu Taimiyah (1263 M) yang lebih dikenal sebagai teolog dan tokoh anti-filsafat serta ulama yang fokus pada pemurnian aqidah (pufirikasi) juga membahas secara spesifik perekonomian sebuah negara yang sangat dipengaruhi oleh aktivitas ekspor dan impor. Jika kita lebih menjelajah lagi, kita bisa menyebut nama lain yang juga berperan seperti Mawardi (902 M), Ibnu Hazm (1064 M), Al Syatibi (1388 M), dan Ibnu Khaldun (1404 M) yang memiliki fokus tersendiri dalam bidang ekonomi.
Sayangnya, seperti telah diterakan di awal, kiprah para tokoh muslim tersebut seolah lenyap dari panggung sejarah: terabaikan dan diabaikan. Karya-karya mereka dianggap hanya ajaran agama dan secara ilmiah tidak setara dengan karya ilmuwan yang datang berabad-abad setelahnya. Sebagai contoh, jika kini kita membahas soal ekonomi, kita hanya akan disuguhi episode di mana Adam Smith diakui sebagai pencetus teori ekonomi modern. Itu paling jauh.
Entah kenapa, jika kita berusaha menarik ke belakang, era sebelum Smith, kita hanya akan menemukan jejak peradaban Yunani 4 SM yang kemudian gelap, terputus, dan baru dilahirkan kembali oleh filsafat skolastik yang dikembangkan Thomas Aquinas di Abad 13. Terdapat “masa kegelapan” dalam sejarah dunia hingga berabad-abad lamanya (yang jelas itu sulit diterima akal sehat kita). Jawabannya tak lain ialah akibat kita menihilkan perkembangan pengetahuan dan kebudayaan Islam yang gemerlap dari abad ke-7 hingga abad ke-13. Perspektif dominatif ala “Barat” inilah yang kemudian menghalangi kita dari bersikap jujur terhadap sejarah dan sekaligus menjadi penghalang bagi umat Islam sendiri bahkan untuk mengenali sistem ekonomi yang terdapat di dalam ajaran mereka sendiri. Hanya dengan upaya-upaya keras menggali karya-karya mereka itulah kita akan mampu menyambung mata rantai sejarah yang “seolah” terputus itu.
Tentu saja, ini bukanlah semacam sikap apologetik atas ketidakmampuan umat Islam saat ini untuk berdiri sejajar dengan umat lain, atau semacam romantisisme kosong demi pelipur lara. Sama sekali bukan. Ini semata demi membuka pemahaman yang lebih jujur terhadap lapisan sejarah, serta kemudian mengambil apa-apa yang signifikan dan relevan dari warisan para ilmuwan muslim untuk memungkinkannya dijadikan fondasi bagi “ekonomi Islam baru”.
Di sisi lain, secara subjektif dan objektif, fakta bahwa dunia kontemporer tengah mengalami kejenuhan atas ketidakmampuan Kapitalisme menyejahterakan warga dunia, sebagaimana kritik Marx, dan bahkan muncul anggapan hanya menjadi tambang kekayaan negara-negara maju sebagai “orang kaya” dunia dan lalu menjadi negara adidaya secara politik, telah mendorong minat pada pencarian sistem ekonomi yang lebih pro keadilan, mengusung pemerataan kesejahteraan, memiliki moral substantif, memiliki cita-cita peluruhan dominasi utara atas selatan, atau narasi semisal bisa menjadi lahan subur bagi tumbuhnya sistem ekonomi alternatif. Jalannya sudah pasti takkan mulus dan lapang. Ia sangat terjal dengan batu-batu kerikil di sepanjang lajurnya.
Peliknya tantangan yang dihadapi oleh geliat “ideologi alternatif baru” ini tidak hanya datang dari eksternal tapi juga internal umat Islam sendiri yang saat ini cenderung abai dan tidak percaya diri pada sistem ekonomi warisan Islam. Bahkan pada tahap yang lebih mengkhawatirkan, ia kerap dijadikan bahan candaan dan lelucon. Cermin kuatnya keraguan yang mendalam pada efektivitasnya.
Beberapa hambatan internal, pada pokoknya, sudah pasti adalah kurang komprehensifnya pemahaman dari umat Islam sendiri. Saya mencatat beberapa contoh nyatanya, seperti anggapan bahwa “ekonomi Islam hanyalah strategi pengasong khilafah atau gerakan Islam politik lainnya dan bukan datang dari Islam itu sendiri”, “ekonomi Islam adalah mainan baru para kapitalis untuk merebut pasar muslimin”, atau “ekonomi Islam sama saja dengan kapitalisme, hanya beda jubahnya”.
Jika dilihat sekilas, saya pun tidak kuasa memungkiri hal-hal tersebut memang terjadi di lapangan ekonomi kita kini. Pada tahap aksiologisnya, anggapan-anggapan tersebut acap menemukan pembenarannya karena memang secara teknis tampak tidak ada perbedaan yang signifikan. Tetapi sesungguhnya perbedaan mendasarnya akan benar-benar teruntaikan setelah dibedah dengan mendalam. Ini tugas epistemologis kita.
Dengan kata lain, jika kita berhenti hanya pada level aksiologi tanpa masuk ke epistemologinya, kita akan terjebak pada kulit alih-alih mempelajari apa itu “ekonomi Islam” sebagai sebuah ideologi, atau sistem ekonomi, lalu bagaimana ia sebenar-benar realistis dan komprehensif untuk diejawantahkan dalam kehidupan seorang muslim.
Di titik ini, izinkan saya sedikit menyembul ke permukaan dengan membahas perkara istilahnya. Perbedaan istilah jika tidak dijelaskan dapat memicu kebingungan yang tidak perlu.
Di Indonesia, misalnya, istilah yang sering digunakan adalah ekonomi syariah. Di luar Indonesia, istilah ini tidak dikenal sebagai ideologi ekonomi secara khusus. Istilah syariah secara umum dipahami sebagai aturan fiqh yang mengatur pendapat dan sikap keagamaan seorang muslim. Di dunia (Islam), ia lebih populer dengan sebutan ekonomi Islam saja. Ya, begitu saja. Maka, untuk memudahkan pembacaan, dalam tulisan ini akan digunakan istilah yang dipahami secara umum yaitu “ekonomi Islam”.
Mari kita bahas epistemologisnya.
Anggapan bahwa ekonomi Islam sekadar strategi pengasong khilafah atau gerakan Islam politik lainnya sangat bisa dibantah dengan mudah. Siapa pun yang belajar fiqh, khususnya di bidang mu’amalah, akan mudah menemukan bahwa sistem ekonomi ini adalah warisan dari ajaran Islam. Nabi sebagai kepala negara di Madinah dan juga sebagai kepala keagamaan sering kali ditanyai persoalan-persoalan ekonomi dan perdagangan. Tentu saja, karena beliau juga memiliki pengalaman berdagang, maka beliau mampu menyikapi persoalan ekonomi dengan efektif, yang sudah pasti bersandar pada inti ajaran Islam yang penuh dengan moralitas.
Soal jual beli, misalnya, Nabi melarang jual beli barang yang belum dimiliki penjual sepenuhnya karena akan memunculkan spekulasi. Transaksi spekulatif merupakan transaksi berisiko tinggi yang berpotensi merugikan (zalim) dan memicu ketidakpastian (gharar) bagi para pihak.
Islam adalah ajaran yang menekankan pada keadilan dan penjagaan hak para pihak, maka transaksi spekulatif yang marak dan halal dalam ekonomi kapitalisme tidak diperbolehkan dalam Islam. Contoh lain, ketika membahas soal kenaikan harga, perlukah harga ditetapkan, Nabi menjawab tidak. Menurut beliau, harga harus lahir dari kondisi alamiah, bukan direkayasa yang bertujuan menguntungkan pihak tertentu. Secara prinsipil ini sama dengan kinerja kapitalisme di mana harga-harga barang diserahkan ke mekanisme pasar bebas dan ketika harga tidak terkontrol akan ada “the invisible hand” yang mengoreksi. Lihatlah bagaimana Islam di abad ke-7 sudah memiliki konsep ekonomi yang sangat maju.
Kemudian soal poin bahwa sistem ekonomi Islam ini ditawarkan dan digemakan Hizbut Tahrir misalnya, atau hanya kelompok tertentu. Di Indonesia, para pelaku ekonomi syariah rata-rata datang dari kalangan pesantren yang kental dengan kajian fiqh klasik. Ulama-ulama yang menjadi rujukan fatwa-fatwa juga sebagian besar dari kalangan yang sama. Maka, secara mudah anggapan sistem ekonomi Islam ini datang dari kelompok tertentu ini juga bisa dibantah. Pertanyaan yang muncul, mengapa HTI atau gerakan Islam politik juga menawarkan sistem ekonomi yang sama, jawabannya tentu karena mereka juga mengambil rujukan dari kitab-kitab fiqh para ulama yang sama, fiqh muamalah yang sama. Sebab mereka semua sama-sama muslim.
Intinya, menjadi masalah epistemologis yang tak perlu terjadi jika label “pengasong khilafah” atau Islam politik ini kita jadikan dinding yang membatasi umat Islam dari akses sistem ekonominya sendiri. Bukankah tanpa dikampanyekan Hizbut Tahrir atau Islam politik pun kita telah mempelajarinya dalam fiqh bab mu’amalah?
Lalu anggapan sinis bahwa ekonomi Islam merupakan mainan baru kapitalis, alias labelistik semata, ini juga bisa dibantah. Ekonomi Islam ini dilahirkan bukan kemarin sore, tetapi sudah sejak berabad-abad yang lalu. Pada abad ke-2 H atau 9 M banyak pengusaha muslim yang mempraktikkan model ekonomi Islam, contohnya konsep ta’awun yang menjadi cikal bakal asuransi syariah. Saat itu para pengusaha muslim mengumpulkan uang atau dana yang akan digunakan jika salah satu dari mereka mendapatkan musibah. Jika saat ini pelaku ekonomi Islam adalah pelaku kapitalisme, maka tidak bisa dikatakan ekonomi Islam sebagai alat mereka mengeruk kekayaan umat Islam. Sebab sistem yang telah berabad-abad ada ini kemudian pada level tertentu digunakan oleh para pengusaha untuk menjalankan bisnisnya jelas merupakan sesuatu yang alamiah belaka. Ibaratnya, di atas meja telah ada sejumlah menu, salah satunya adalah menu ekonomi Islam, maka sah-sah saja ia diambil pada suatu waktu. Apa masalahnya?
Di Indonesia, siapa pun bisa menggunakan model ekonomi Islam ini jika punya modal dan mampu memenuhi syarat legal formal dan ideologis dalam bentuk fatwa-fatwa ulama. Artinya, jika saat ini para pelakunya didominasi oleh konglomerasi maka hal ini tidak lepas dari kebebasan berusaha tadi dan tidak ada larangan bagi siapa pun untuk berbisnis tanpa memandang identitas atau agamanya. Jika kenyataannya marketnya kini tidak dikuasai orang Islam, mestinya ini menjadi alat introspeksi sekaligus tantangan agar umat Islam bisa bergerak, berkompetisi, dan kemudian menguasai market dengan sistem ekonomi ini, bukannya hanya menjadi penonton yang nyinyir.
Anggapan terakhir menurut saya yang paling menarik. Kesan bahwa ekonomi Islam sama sebangun dengan misal sistem ekonomi liberal memang sangat kuat. Jika kita pergi ke bank-bank syariah, atau menggunakan jaringan ATM yang masih numpang atau bekerja sama dengan bank konvensional secara teknis, kondisinya memang tidak jauh berbeda. Namun, seperti saya sebutkan sebelumnya, secara epistemologis perbedaan-perbedaannya terletak pada substansinya. Sebutlah akad-akad/jenis kontrak yang digunakan yang jelas berbeda satu sama lainnya. Jika kita masuk ke jenjang substansi itu, terlihat benderang sekali untuk membantah anggapan sama sebangun tadi.
Sejatinya anggapan tersebut tidak perlu mengemuka jika kita kembali merujuk pada fiqh. Memang pada sebagian hal ada gap atau jarak yang cukup mengganggu antara fiqh yang dipelajari umat Islam secara teoritis dengan penerapannya di lapangan. Tak heran misalnya jika ada yang setelah menpelajari fiqh muamalah masih tergagap-gagap untuk menyusun konsepnya di teknis bisnisnya.
Pandangan saya, konsep fiqh muamalat yang diajarkan di sekolah Islam, pondok pesantren, menjadi berjarak karena masih terbatas pada pengajaran tataran teori fiqh dan belum ke tataran bagaimana teori itu diformulasikan menjadi sebuah model bisnis. Para santri tentu akrab dengan akad seperti murabahah, mudarobah, mudarobah musytarokah dan berbagai akad tijaroh lainnya, namun belum familier ketika mendapati akad itu diterapkan di perbankan Islam. Tentu saja ini asumsi yang bisa dibantah, tapi itulah pandangan subjektif saya pribadi yang pernah kebingungan setelah keluar dari pondok pesantren dulu tatkala harus berhadapan langsung dengan realitas bisnis.
Tidak kalah menariknya di sini untuk menyinggung soal riba dan bagi hasil serta bagaimana ia diaplikasikan dalam dunia bisnis. Kendati kita melek semua bahwa secara dogmatis riba diyakini haram dan merupakan perbuatan dosa besar sehingga umat Islam harus menghindarkannya, namun secara implementatif praktik ini jarang sekali menemui kritik yang tepat. Yang ada terlihat cenderung bias.
Kita bisa ambil contoh ketika riba sering kali hanya ditujukan pada rentenir atau lintah darat, level individual. Namun saat ia dilakukan oleh korporasi atau perbankan, ia seolah menjadi “halal”. Padahal kita tahu, jantung praktik perbankan non-Islam adalah riba. Bisa jadi, kegagalan mengenali riba tersebut karena telah terlampau dominatifnya kapitalisme yang pada mulanya rajin berwajah manis.
Di akhir paparan ini, saya ingin menyimpulkan bahwa ekonomi Islam saat ini masih terkesan “diabaikan” oleh umatnya sendiri karena jubelan kendala yang berkerak. Dari kendala pemahaman, teknis, bias citra, dan juga kurangnya “keterlibatan” umat untuk masuk dan mengenalinya secara epistemologis dan tentu saja lalu aplikatif, sehingga menyebabkan sistem ekonomi ini terlihat jadul, ahistoris, dan tiada guna.
Namun di balik kondisi tidak ideal ini, tampak telah ada upaya serius dari pihak-pihak yang selama ini konsisten mendalami dan menjalankannya. Kabar lainnya lagi ialah bahwa dalam banyak kesempatan sistem ekonomi Islam ini juga makin banyak dipelajari dan diterapkan oleh komunitas atau pebisnis di negara dengan minoritas Islam, bahkan oleh mereka yang bukan muslim karena dianggap menarik dan menawarkan sistem ekonomi alternatif yang gagal diberikan kapitalisme.
- Mengapa Ideologi Ekonomi Islam Terabaikan? - 31 May 2018