Menjelang UN, sebuah judul berita di koran begitu menggelikan dan menggelisahkan saya: “Materi Bahasa Indonesia Paling Ditakuti”. Penulis rubrik bahasa di berbagai media, Holy Adib, membagikannya di media sosialnya sembari menuliskan kurang lebih begini: “sudah mulai naik kelas”. Holy Adib hendak mengetengahkan bahwa kini mata pelajaran bahasa Indonesia semakin bergengsi. Jika dulu diremehkan, sekarang digandrungi. Kurang lebih, begitulah pengertiannya. Bukankah semakin rumit, maka semakin gigih orang untuk mendapatkannya? Seharusnya begitu. Namun, sungguhkah demikian?
Berbekal pengalaman, saya menemukan sebuah fakta yang sepertinya justru bertolak belakang dan agak rumit untuk menjelaskannya. Di sekolah, materi berbau hitungan, seperti matematika dan fisika, cenderung selalu dijauhi siswa. Entah mengapa, guru pengampunya pun mendapatkan perlakuan yang sama: dijauhi. Sudah seakan menjadi kebenaran umum bahwa guru dengan label matematika dan fisika di belakangnya akan disebut sebagai guru killer. Karena itu, ketika kedua mata pelajaran ini tiba, ruang kelas menjadi ruang yang tepat untuk bermeditasi: hening sehening-heningnya.
Bertolak belakang dengan di sekolah, sependek pengalaman saya (mengajar di bimbel hampir 10 tahun), di bimbel, mata pelajaran matematika dan fisika justru menjadi favorit. Tutornya menjadi tutor kesayangan yang selalu dinanti-nantikan. Bahkan,selepas dari bimbel, tutor kedua mata pelajaran ini akan sangat laris dipanggil lagi untuk les privat. Jadi, sudah menjadi semacam kecemburuan umum bagi tutor bahwa tutor eksakta selalu dianakemaskan. Cermati fakta itu, unik bukan? Mengapa, misalnya, guru kedua mata pelajaran ini di sekolah selalu dihindari, tetapi di bimbel, selalu diburu, bahkan dibawa-bawa hingga ke rumah?
Beda dengan matematika dan fisika, guru bahasa Indonesia di sekolah cenderung menjadi guru favorit. Mata pelajaran ini selalu dirindukan. Jika harus diperingkatkan perihal mata pelajaran paling disukai, mata pelajaran penjaskes dan bahasa Indonesia beda-beda tipis. Bagi orang yang suka bergerak, mata pelajaran penjaskes jadi juara pertama. Bagi orang yang malas bergerak, bahasa Indonesia jadi kampiunnya. Jadi, bisa disimpulkan dengan sangat sederhana, mata pelajaran bahasa Indonesia merupakan favorit bagi siswa yang malas bergerak karena mata pelajaran ini minim pergerakan.
Lalu, mengapa mata pelajaran matematika yang juga minim pergerakan tak menjadi pilihan? Jawabannya sederhana. Betul-betul sederhana. Saya sudah pernah menuliskan jawaban atas pertanyaan tersebut di portal ini. Pada tulisan itu saya singgung pengalaman saya bahwa konon bahasa Indonesia sangat diminati lantaran mata pelajaran ini tak butuh otot dan otak. Maka, tentu saja mata pelajaran ini jadi kampiun dan buruan bagi orang yang malas berpikir dan malas bergerak. Hanya modal datang, diam, duduk, dengar, ketuntasan mata pelajaran bisa diperoleh. Tak perlu bergerak banyak, apalagi berpikir dalam. Santai saja, maka nilai sudah kemilau di rapor.
Sampai di titik ini, saya benar-benar kesusahan menjelaskan mengapa bahasa Indonesia difavoritkan, tetapi pada sisi lain malah dijauhi? Di bimbel, misalnya, mata pelajaran ini kurang diminati. Jika ada pengumuman tambahan les materi bahasa Indonesia, siswa tak antusias, bahkan terkesan paksaan. Itulah kisah di bimbel. Sebaliknya, jika ada tambahan les materi matematika atau fisika, siswa akan berdesakan. Mereka sangat antusias meski pada kenyataannya jika simulasi tiba, dari 15 soal, mereka hanya benar 3 atau 4 soal saja. Itu pun modal tebak-tebakan. Setiap bulan simulasi, maka setiap bulan pula nilai mereka hanya stagnan di situ-situ saja.
Ketika siswa ditanya mengapa nilai mereka tak menanjak, padahal selalu ikut les tambahan, bahkan privat pula? Mereka akan menjawab: fisika itu kan menantang dan sulit. Mereka juga akan melanjutkan setengah “menghina” materi bahasa Indonesia: tidak seperti bahasa Indonesia, dirumit-rumitkan sehingga tak jelas dan membosankan. Memang, menurut penilaian saya sendiri, ketika saya masuk, siswa akan antusias juga karena saya akan membawakan materi pembelajaran menjadi semacam stand up comedy. Dan, untuk itulah sepertinya mereka menunggu kehadiran saya, bukan untuk pembelajaran.
Pasalnya, di bimbel, seperti kamu tahu, materi pembelajaran bahasa berbeda dengan di sekolah. Di bimbel, karena tujuannya adalah untuk membabat soal, materi dicukupkan pada PUEBI, kalimat efektif, hingga wacana. Materi ini, terutama PUEBI juga kalimat efektif, jika diajarkan, agaknya memang tak butuh nalar, kecuali hafalan. Wacana memang butuh nalar. Namun, siswa kita saat ini adalah orang yang malas membaca. Mereka hanya mau mencari jawaban dengan rumus singkat: tahu ide pokok tanpa membaca. Ajaib. Mustahil. Tetapi, untuk itulah mereka datang dan karena bimbel adalah bisnis, ini harus disanggupi.
Pertanyaannya tentu adalah: mengapa mereka malas membaca? Jawaban bisa beragam: karena orang tua tak memberi contoh, karena guru tak memberi teladan, karena sekolah hanya bermodalkan imbauan, karena politisi bisa sukses hanya bermodal sensasi, karena, karena, dan masih banyak karena lainnya. Intinya, malas membaca adalah fakta sahih di sekolah. Itulah sebabnya nilai kita di setiap survei PISA, khusus literasi, selalu rendah: kurang dari level 1 (skor paling rendah). Namun, dengan mengejutkan, survei PISA juga konon menempatkan siswa kita sebagai siswa paling bahagia di dunia, lho?
Melihat itu, Elisabeth Pisani kemudian menyebutkan bahwa orang Indonesia adalah orang bodoh yang bahagia. Kurang lebih seperti itu. Saya tak bisa menjelaskan itu lebih detail. Saya hanya bisa mengemukakan bahwa meski belakangan ini materi bahasa Indonesia menjadi momok, sayang sekali, itu bukan berarti karena bahasa Indonesia semakin bergengsi atau naik kelas, seperti kata Holy Adib. Ini justru menjadi momok itu sendiri bagi materi pelajaran bahasa Indonesia. Betapa tidak, mengapa semakin rumit, namun tidak seperti materi eksakta yang laris di bimbel, materi ini malah semakin dihindari, bahkan cenderung diabaikan?
Saya tak ingin menyalahkan siswa. Siswa ada benarnya karena memang materi bahasa Indonesia itu tidak menyenangkan. Wacana yang disajikan di soal, misalnya, sering tak dibaca karena selain malas membaca, materinya bacaannya pun cenderung untuk menjebak daripada untuk memahamkan. Padahal, waktu sangat minim. Maka, daripada terjebak, mereka main aman saja (tak membaca, kecuali main peruntungan). Itu satu soal. Soal lainnya jauh lebih dahsyat dan, maaf, menyedihkan. Betapa tidak, guru pengampu bahasa Indonesia saja konon malas membaca, apalagi berpikir dan menulis, bagaimana pula dengan siswa?
Saya tak sedang main-main dengan kalimat terakhir ini. Dalam esainya yang terangkum di Guru Gokil Murid Unyu, Johannes Sumardinata, misalnya, mengisahkan fakta yang sangat gawat: dari ribuan guru bahasa Indonesia, tak sampai 0,5 persen yang pernah membaca tetralogi Pramoedya Ananta Toer. Mereka bahkan tidak mengenali buah pemikiran Ki Hadjar Dewantara, apalagi Paulo Freire. Senada dengan itu, menurut penelitian Anita Lie (Kompas, 5/03/2019), hampir separuh sampel guru bahasa Indonesia tak bisa menulis 3 paragraf esai. Bahkan, masih ada guru yang tak mengerti apa itu “paragraf”.
Maka itulah pertanyaan berikut jadi aneh: bagaimana bisa kita memberangus hoaks, mengajarkan kedalaman berpikir, bahkan konon menulis jika gurunya saja tak memberi teladan? Bukankah sudah banyak penelitian yang menyebutkan bahwa ada keterkaitan langsung antara mutu guru dan prestasi anak didik (Darling-Hammond (2000), Harris (2011), juga, misalnya, Canales (2018)? Entah mengapa, sampai di titik ini, menjadi momoknya bahasa Indonesia pada setiap UN justru saya baca dan saya pahami sebagai sebuah kemunduran, bukan malah naik kelas, seperti tengara penggumul bahasa itu, Holy Adib. Entahlah saya yang sedang salah baca.
- Bangsa yang Konyol itu, ya, Kita! - 23 March 2022
- Surat: Dari Siapa, Bukan untuk Siapa! - 23 February 2022
- Bahasa Indonesia: Menuju Perjalanan Akhir? - 14 November 2019
Huft
Huft
Alawiyah
Pembahasan yang menarik
Anonymous
karena sekarang guru profesi yang menjanjikan. ngerti-ngerti gak ngerti apa yang diajarkan yang penting jadi guru. apalagi peluang untuk jadi ASN cukup besar. he…he…he… becanda Om.
Ibnu
Mantappp