Mengenal Faruq Juwaidah, Penyair Cinta dari Mesir

 

Faruq Juwaidah, lahir pada 10 Februari 1945 di Provinsi Kafr Ash Shaykh, Mesir. Namun masa kecilnya banyak dihabiskan di Provinsi Al-Buhairah. Menyelesaikan kuliah pada tahun 1968 di Fakultas Sastra, Jurusan Jurnalistik. Ia memulai karier akademiknya sebagai editor di salah satu surat kabar tertua di Mesir, yaitu Al-Ahram pada tahun 1968, kemudian dipercaya sebagai sekretaris pada tahun 1975 dan akhirnya menjadi ketua divisi kebudayaan pada tahun 1978. Kemudian pada tahun 2002, Faruq menjadi wakil pemimpin redaksi di surat kabar tersebut.

Dalam kesusastraan Arab modern, sosok Faruq Juwaidah merupakan salah satu penyair yang sangat diperhitungkan. Terutama karena puisi-puisi cintanya yang begitu khas dengan mengusung kedalaman nilai-nilai estetik dan autentik gagasan-gagasan universal. Faruq dikenal luas dalam masyarakat Arab modern tidak hanya sebatas penyair cinta dan romantisme, namun ia sering kali dinilai oleh para pembacanya sebagai refleksi dari sosok Nizar Qabbani, seniornya yang lebih dulu menjadikan cinta dan romantisme sebagai kecenderungan utama dalam proses kreatif sekaligus jalan terjal kepenyairannya.

Namun demikian, Faruq bukanlah Nizar yang selalu mencintai dan dicintai banyak para perempuan di masanya hingga masa-masa setelahnya. Romantisme yang dibangun oleh Faruq tidak seheroik pendahulu yang sekaligus temannya itu. Dalam perpuisian, ia hanya perlu mengibarkan romantisme yang penuh ketenangan, kedalaman, dan tentu kesederhanaan. Oleh karena itu, Faruq tidak bisa dikatakan sebagai sosok yang telah sampai atau bahkan melampaui Nizar, sebab keduanya memang berada dalam narasi-narasi yang berbeda namun saling mengukuhkan satu sama lain.

Kalaupun pada akhirnya kita melihat Nizar dalam ekspresi cinta sebagaimana dilukiskan dalam puisi-puisi Faruq, itu terjadi secara alamiah. Karena bagaimanapun, Faruq sangat menghormati Nizar Qabbani sebagai salah satu ikon di garis terdepan yang telah melawan arus lama perpuisian Arab menuju gaya baru yang lebih progresif dan reformatif. Pada peringatan tahun ke-11 pasca berpulangnya Nizar, Faruq menggubah puisi ratapan yang berjudul Kesatria Cinta Telah Pergi. Dengan penuh haru-biru ia mengungkapkan:

Bagaimana laut dan gunung berapi dapat menyatu dalam pena

Bagaimana benang rumput menjelma emas mulia

Setengah abad lamanya kau menjadi kejora

Di antara lereng-lereng, ia menghapus keletihan dengan canda

Setengah abad kau menghiasi negeri dengan cinta

Melemparkan pecahan-pecahan cahaya tanpa tanda

Sejak kau pergi dunia terasa hampa

 

Setiap tahun, tepatnya pada tanggal 30 April, Nizar Qabbani selalu dirayakan sebagai penyair besar yang telah menginspirasi Dunia Arab pada umumnya. Perayaan tersebut menjadi berbeda bagi orang-orang yang memiliki kedekatan khusus dengan Nizar, baik hubungan secara personal, ataupun hubungan yang terbentuk melalui pembacaan atas karya-karyanya. Dan Faruq Juwaidah adalah salah satu penyair yang banyak belajar dari Nizar perihal menggubah dan mengeskpresikan puisi cinta. Kendati ia menulis dengan cara yang berbeda, bagaimanapun Nizar selalu mengiringi dalam corak perpuisiannya. Dalam puisi yang berjudul Aku dan Kedua Matamu, Faruq berucap:

Jangan kau tanya perihal hidupku

Sebelum aku bertemu denganmu

Karena usiaku, bermula saat berjumpa denganmu

 

Bandingkan dengan puisi Nizar Qabbani yang termuat dalam Kitab Al-Hubb sebagai berikut:

Kau tiada henti bertanya hari lahirku

Catatlah apa yang belum kautahu ini:

hari saat aku mencintaimu adalah hari lahirku

Baik Nizar atau Faruq, keduanya sama-sama menjadikan cinta sebagai awal mula segalanya, simbol paling primordial dari fenomena kelahiran. Tentu kelahiran dalam arti yang lebih esensial, sebuah kesadaran yang mengantarkan seseorang pada pengenalan akan eksistensi dirinya yang sebenarnya. Bila Faruq seperti tak mengenal usia sebelum jatuh cinta, maka Nizar justru baru dilahirkan sejak jatuh cinta. Kedua peristiwa ini meskipun sekilas tampak berbeda, tetapi sesungguhnya bermuara pada satu titik yang sama, yaitu puncak tertinggi kesadaran yang digerakkan oleh cinta.

Kendati Faruq tidak secara eksplisit menyebutkan cinta sebagaimana Nizar, tentu saja ekspresinya tidak kalah kuat dari diksi Nizar yang secara tegas menggunakan “cinta”. Hal ini bisa dipahami bahwa makna pertemuan yang dialami oleh Faruq menyiratkan betapa sebuah pertemuan tidak sesederhana sebagaimana biasa dipahami. Pengalaman Faruq dalam pertemuan ini seolah hendak menegaskan bahwa ia tidak lagi membutuhkan proses peralihan menuju pola interaksi lebih lanjut untuk mencapai level cinta, melainkan pertemuan itu sendiri sejatinya adalah cinta, yang artinya: jatuh cinta tepat pada pandangan pertama!

Dalam sebuah esainya di koran Al-Ahram, Faruq menceritakan pernah berselisih perihal konsepsi cinta dengan Nizar Qabbani. Faruq melontarkan sebuah pertanyaan santai kepada Nizar, “Mana lebih indah saat penyair jatuh cinta atau saat penyair melahirkan sebuah puisi?” Tanpa ragu Nizar menjawab, “Segala yang tersisa dari cinta hanyalah puisi”. Sementara jawaban Faruq cenderung diplomatis “Peristiwa cinta jauh lebih indah, meskipun puisi jelas lebih abadi.” Namun akhirnya, Faruq sadar dan lalu mengakui bahwa apa yang dikatakan Nizar adalah benar adanya “puisi melampaui segala sesuatu sementara cinta, ia hanyalah peloncong yang bisa saja kau mendapatinya hari ini dan esok kau mendapatkanya telah pergi”.

Percakapan di atas menggambarkan betapa setiap penyair memiliki cara tersendiri dalam membentuk realitas kepenyairannya, sebagai subjek sekaligus objek. Sebagai subjek karena realitas kepenyairan tidak pernah terbentuk tanpa melalui usaha yang melibatkan kepekaan dan intuisi sang penyair secara aktif dan interaktif. Sementara sebagai objek tentu karena realitas kepenyairan merupakan momentum di mana sang penyair membiarkan dirinya terlempar ke ruang-ruang puitik dan dramatik yang pada gilirannya turut membentuk suatu konsepsi tentang dunia dalam maknanya yang lebih luas, termasuk di dalamnya cinta dikonsepsikan secara kritis dan romantis.

Tema cinta dalam puisi Arab modern memang masih cukup dominan ketimbang tema-tema yang lain. Meskipun tidak seperti gaya puisi klasik-konvensional yang sangat ketat dengan unsur musikal, puisi cinta modern masih memiliki keintiman yang sama dalam menyajikan sebuah gagasan dan pengalaman batin personal sang penyair. Bahkan, dalam konteks tertentu, banyak pembaca sastra Arab menilai bahwa kebaruan yang diusung oleh puisi modern cukup mampu memberikan alternatif untuk mendekatkan sastra dengan kalangan pembacanya, terutama pembaca non-Arab.

Puisi-puisi Faruq Juwaidah memang lebih banyak berbicara tentang cinta dan romantisme. Dan secara umum, ia tetap konsisten menggunakan kata-kata sederhana namun menggugah, liris dan mendalam. Ia juga tidak segan-segan untuk melepaskan dirinya dari konvensi lama yang kaku, untuk menghadirkan kedekatan dialektis kepada para pembacanya. Tapi di balik romantisme tersebut, sesekali ia juga menyelipkan bait-bait kritis untuk merespons fenomena tertentu yang hadir di tengah-tengah masyarakat, semisal kritik terhadap cara pandang masyarakat dalam memosisikan cinta secara bijak, terutama ketika cinta mulai beranjak dari hanya sebatas hubungan sepasang kekasih ke jenjang ikatan yang lebih kokoh: pernikahan. Hal ini bisa dilihat dari puisinya yang berjudul Hari-Hari Berguguran di Antara Kita:

Mari bersama kita saksikan dunia

Bahwa cinta di kota kita telah haram

Mari bersama kita saksikan dunia

Bahwa cinta bagi manusia adalah dosa

Ada suatu kondisi di mana seseorang yang sedang jatuh cinta menjadi tercela, bahkan dosa. Hal ini lumrah terjadi dalam tradisi Arab yang masih rigid. Persoalan yang sering kali terjadi dalam hubungan sepasang kekasih tidak lepas dari cara pandang masyarakat Arab dalam mendefinisikan cinta sebatas pada pemenuhan kebutuhan seksual dan materiel. Seolah suatu hubungan yang diperjuangkan oleh sepasang kekasih menuju ke jenjang pelaminan tidak absah jika tidak memberi insentif nyata terhadap ekonomi keluarga. Terutama bagi keluarga pihak wanita. Maka tidak heran jika fenomena perjodohan bagi banyak orang Arab merupakan persoalan yang memberatkan secara finasial. Sebab aspek materi sangat diperhitungkan dan pada titik tertentu cenderung mengabaikan aspek lain yang justru jauh lebih penting.

Konstruksi inilah yang menjadikan Faruq Juwaidah terpanggil untuk ambil bagian dalam menyuarakan kegelisahannya. Sebagai penyair, tentu ia tidak memandang cinta senaif dan senihil itu. Setiap penyair tentu memiliki cara pandang berbeda tentang cinta yang sudah seharusnya melampaui cara pandang orang awam pada umumnya. Bila hal semacam ini terus dibekukan, alih-alih menciptakan harmoni, justru cinta akan banyak melahirkan ratapan-ratapan kepiluan penuh nestapa. Persepsi sementara kalangan yang pada aspek tertentu meyakini bahwa cinta bagi manusia adalah dosa, berarti ibadah apa yang masih bisa dibenarkan untuk diamalkan jika cinta yang seagung itu dianggap dosa?

Tapi sayangnya—dan mungkin juga menjadi kelebihan tersendiri—ekspresi puisi-puisi kritis Faruq tak mengesankan anarki dan frontal di publik Arab, setidaknya Mesir. Mungkin hal itu pula yang membuat dia lebih dikenal sebagai penyair cinta sekaligus membuat puisi-puisi kritisnya tidak memiliki daya pukau sebagaimana puisi-puisi cintanya. Puncaknya, puisi-puisi kritisnya nyaris tidak didengar dan menjadi perbincangan hangat dalam dunia Arab, seolah berbanding terbalik dengan popularitas dirinya dan kehangatan puisi cintanya.

Melihat produktivitas dalam berkarya, maka tidaklah heran jika penyair ini telah banyak melahirkan buku, baik berupa puisi, drama, prosa, dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya. Setidaknya, Faruq Juwaidah telah menyumbangkan 20 karya dalam berbagai genre, mulai puisi, prosa lirik dan drama. Di antara karya-karyanya: Awrâq Min Hadîqah Uktûbar (1974), Habînatî La Tarhâlî (1975), Wa Yabqâ Al-Hubb (1977), Wa Li Al-Asywâq ‘Audah (1978), Fî ‘Ainaiki ‘Unwânî (1979), Dâiman Anti Biqalbî (1981), Liannî Uhibbuki (1982), Qâlat (1990) dll. Selain banyak menulis dalam sastra, Faruq juga kerap kali menulis kritik tentang wacana kontemporer, baik dalam bidang ekonomi, budaya dan politik.

Puisi-puisinya banyak dinyanyikan oleh para musisi Arab ternama. Mulai Soumaya Kaisar (Maroko), Kathem Al-Saher (Irak), grup musik Al-Khulud (Yaman) dan grup musik ‘Aqd Jalad (Sudan). Banyak penghargaan yang telah disematkan pada dirinya. Seperti Penghargaan Negara dalam bidang sastra dari Dewan Kebudayaan Tertinggi, Mesir, pada tahun 2001 dan Penghargaan Internasional Constantin Cavafy kategori puisi dan dianugerahkan pada sebuah festival yang diadakan di kota Kavala, Yunani, pada 2 September 2007. Sebagian karya Faruq Juwaidah, baik itu antologi puisi maupun dramanya telah diterjemahkan ke pelbagai bahasa seperti Inggris, Prancis, Cina, dan Yugoslavia. Wallahua’lam.

Musyfiqur Rahman

Comments

  1. firmansyah Reply

    cinta hanya seuntai kata yang menampung banyak rasa di dalamnya.

  2. Ubay Reply

    Ternyata, gagasannya sampai ke tokoh timut tengah kamu kawan.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!