Mengonline-kan Puisi, Mempuisikan yang Online

Judul: Diet Stalking, Sepilihan Puisi

Penyusun: Anis Sayidah

Penyunting: Tia Setiadi

Sampul: Amalina

Cetakan: Pertama, Januari 2017

Tebal:119 hlm

Penerbit: DIVA Press

ISBN: 978-602-391-377-0

Wellen dan Wareck dalam Teori Kesusastraan menyebut bahasa sebagai bahan mentah bagi sastrawan. Bahasa ibarat bongkah marmer padat yang di tangan para penyair bisa berubah menjadi seindah patung ukir nan indah. Puisi dengan demikian bisa diibaratkan sebagai sebuah karya seni yang diukir dari bahasa. Apa yang semula bahasa keseharian biasa bisa menjadi penuh makna di tangan para penyair yang menggubahnya dalam untaian sajak memikat. Pun demikian, diksi-diksi kekinian yang sangat digital dan terasa jauh dari ruang sastra tiba-tiba bisa saja berubah menjadi elemen-elemen estetik dalam sebuah karya sastra oleh seorang penyair berbakat. Seperti yang dilakukan penyair Anis Sayidah dalam buku kumpulan puisi terbarunya, Diet Stalking.

Mengapa puisi-puisi Anis di buku ini unik? Salah satunya, Anis berhasil membuktikan bahwa puisi pun dapat relevan dengan perkembangan zaman. Sastra tidak melulu memisah dari hal-hal kekinian. Ada kalanya, sastra sebaiknya tampil juga dalam baju kekinian untuk menyapa para penggemar baru dan belia. Sebagaimana bahasa yang lentur, maka begitu juga sebaiknya sastra. Ia bisa muncul dari mana saja, pun bisa dibaca siapa saja, meskipun akan menghasilkan wujud apresiasi yang berbeda. Di era digital seperti saat ini, sudah saatnya dan memang tidak ada salahnya puisi-puisi yang bernapaskan dunia on line turut tampil ke pentas.

SEJAK KAPAN, YANG DIKETIK

SELURUHNYA DENGAN HURUF-HURUF BESAR

DISANGKA SEDANG MARAH?

 

CAPSLOCK JADI SENDIRIAN

MENEPI DI SISI KEYBOARD PALING KIRI

DAN RAJIN MEMARAHI DIRINYA SENDIRI

                                                       (Capslock, hlm. 80)

Meski beraroma digital dan cenderung kekinian, tidak kemudian Anis melupakan sisipan moral dalam puisi-puisinya. Salah satunya, ia menggunakan puisi kekinian untuk menyampaikan kritik tentang banyak hal kekinian. Kadang pelan dan lembut seperti dalam puisi “Resi” (hlm. 33) yang menyindir budaya pamer di media sosial. “… jangan begitu, tidak setiap kasih sayang | harus dipantau, pula harus dilaporkan!.” Kali lain, puisinya membentak kebiasaan ber-media sosial kita yang semakin mengherankan, seperti berdoa di Facebook: “beranda dipenuhi ‘amin| tapi siapa yang akan mengabulkan | seluruh rasa ingin?” (hlm. 49). Dan ketika apa saja bisa dijual di toko on line, Anis dengan jenaka dan sangat “pesen, Gan” menggambarkan tentang perkara hati yang telah begitu seringnya menjadi trending topic di Twitter.

Kini tersedia kembali, sepotong hati

yang pernah kesepian!

 

masih asli belum disembuhkan

dari trauma berkepanjangan.

 

ditinggal tanpa alasan

dicampakan memang sudah jadi biasa.

 

sudah dipastikan; bebas

dari pengawet karena cukup dirawat baik oleh

kesedihan.

 

jangan sampai kehabisan!

 

minat? Silakan bayar di tempat

dan siap diantarkan. (Ready Stock, hlm. 68)

 

Apa yang khas dari puisi-puisi di buku ini adalah aspek kekiniannya yang kental terasa. Terkhusus lagi, kumpulan puisi ini merayakan riuh rendah dunia digital sedemikian rupa lewat bait-bait dan diksi-diksi pendek tapi sangat bersuara. Akan kita temukan di buku ini kata-kata seperti whatsapp, beranda Facebook, linimasa Twitter, hingga instagram yang tidak hanya sekadar disisipkan dalam larik-larik puisinya, tetapi turut menjadi jiwa yang pembangun puisinya.  Lewat puisi-puisi di buku ini, Anis menyampaikan banyak hal yang aku, dia, kamu, dan kita rasakan terkait internet dan media sosial. Salah satunya, tentang betapa berbahayanya berinternet secara berlebihan. Kadang bahkan bisa sampai ke taraf yang sedemikian menyebalkan:

Aku dimasukkan ke dalam sebuah grup

Yang di dalamnya dihuni oleh sesuatu

Yang tak kukenali satupun dari mereka.

                                                                 (Whatsapp, hlm. 116)

Demikianlah, internet dan media sosial yang telah dan masih membetot perhatian sebagian terbesar kita sejak peralihan abad telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup. Ibarat pisau yang bermata ganda, internet bisa sangat bermanfaat walau mudharatnya juga tidak kalah hebat. Namun, tidak kemudian kita kemudian berlepas darinya. Belajar bijak dalam menggunakan internet dan bermedia sosial tentu lebih utama. Apalagi, jika kita bisa mengambil banyak manfaatnya. Sebagaimana Anis, yang berhasil menjadikan dunia digital dan internet sebagai sumber inspirasi bagi puisi-puisi kekiniannya.

Dion Yulianto

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!