Adalah sebuah keniscayaan apabila setiap tahun kita akan selalu disuguhi aneka pilihan film-film besar jenis sekuel ketika hendak mencari hiburan di layar lebar atau via layar kecil. Para adiwira (superhero) dari semesta DC atau Marvel masih akan menggoda kita untuk sekadar penasaran mau dibawa sejauh mana sebenarnya kisah-kisah yang makin ramai tokoh-tokohnya itu. Ada yang bikin penontonnya senang, ada juga yang bikin penontonnya tertegun, “Ini film kok gini banget?”
Pada 2017, seri Star Wars terbaru—terlepas dari bagus atau tidaknya—sampai-sampai bikin banyak penonton meringis karena hal sederhana, misalnya karena tidak mengikuti atau bahkan lupa dengan alur kisah film-film sebelumnya. Mau menghabiskan waktu dua jam-an kok ndadak harus menghabiskan lebih banyak waktu buat nonton seri sebelumnya yang jadul-jadul itu, hingga melahirkan lelucon di medsos yang diawali dari kepongahan seorang the-so-called kritikus Indonesia merendahkan pengetahuan penonton The Last Jedi hanya karena dia sudah menonton sejak seri pertama, lebih tepatnya ketiga, (Di bioskop! Ketahuan banget kan berapa umurnya sekarang?).
Ada juga sekuel-sekuel semenjana yang bikin kita bertanya, “Haruskah film-film kayak gini dipaksakan untuk dipanjang-panjangkan?” Seri Underworld, Resident Evil, XXX, dan Fast & Furious, contohnya. Ada juga percobaan pertama yang langsung gatot: The Dark Tower. Meski amburadul baik dalam pendapatan box office atau kualitasnya, kalau kita menginsafi sifat hakiki Hollywood, toh film yang diangkat dari novel Stephen King itu bisa dipastikan akan terus dilanjutkan.
Sejak kelahirannya, film memang menjadi magnet imajinasi populer karena daya pukau visualnya. Efek CGI yang makin canggih makin menaikkan standar persaingan para pembuat film dalam hal memukau para penonton. Namun, mungkin kita lupa, bahwa film pertama yang membikin para penonton terlonjak dari tempat duduknya sebenarnya sederhana saja. Ia merekam suasana di sebuah stasiun kereta api, dengan kereta api yang makin mendekati dan “menabrak” layar.
Oleh karenanya, saya adalah jenis penonton yang ingin memelihara ketakjuban akan sinema daripada menikmati gaya keterampilan sineas yang mengeskplorasi kesederhanaan. Kisah-kisah tunggal yang “tidak neko-neko”. Yang model begitu sekarang kerap hanya bisa ditemukan dari film-film yang dicap sebagai indie. Ini bisa dimaklumi dengan alasan sesederhana, mereka tidak terlalu terbebani untuk “untung besar-besaran”, meski kalau dirupiahkan ya milyaran juga bujetnya. Dalam akuntansi Hollywood, itu receh belaka dan mereka paham betul bagaimana kalkulasi balik modalnya.
Ada banyak film tunggal yang dirilis pada 2017 kemarin, tetapi saya pilihkan tiga saja yang edarnya ada di rentang paruh terakhir 2017 dan awal 2018. Kenapa nggak begini-begitu sih, Mas? Kalau jawabannya kayak “gini mashook tidak: gampanglah, film-film lain akan saya ulas di kesempatan lain. Toh banyak tulisan, bukan satu tulisan panjang, berarti nambah banyak honor. Hehehehe. Culas, ya? yaiyalah, saya kan SJW modal kuota dan warnet.
- Lady Bird
Film ini banyak dipuji kritikus, ratingnya di atas 90% gitu, deh. Film debut penyutradaraan Greta Gerwig ini mengingatkan pada Juno (2007) dan film-film bergenre ritus pendewasaan lainnya. Akan tetapi, Lady Bird memperoleh simpati lebih besar karena—dugaan saya—ini film yang sangat manis. Berbeda dengan ulasan di beberapa media yang menggambarkan karakter Lady Bird adalah seorang rebel. Saya sendiri melihatnya tidak demikian. Dia hanyalah seorang remaja cerdas yang tentu saja mencari jati diri. Nilai-nilai yang hendak ditanamkan ke benak penonton (Amerika) lebih halus ketimbang Juno atau, kalau mau ekstremnya, American Pie (1999).
Ambillah contoh paling kentara: idealisasi tentang ikatan keluarga. Seheboh-hebohnya American Pie mengusung kebebasan seksual, coba amati deh kehangatan si remaja dengan keluarganya. Pesan tersiratnya: bolehlah kamu bengal, bahkan sampai hamil saat remaja, tapi jangan sampai broken home. Kenakalan Lady Bird yang bersekolah di sebuah sekolah Katolik ya sebatas ngemil roti hosti, menyanggah guru, geng-gengan, pacaran (haram!). Dia pengin cepat-cepat keluar dari kota kecil Sacramento yang membosankan, tetapi mellow ketika sudah pindah kuliah ke kota besar.
Film ini sangat bagus dalam merangkai dialog yang real, ringan, dan tangkas. Kalau Anda terbiasa menonton film-filmnya Noah Baumbach atau Wes Anderson, Anda akan langsung tahu dari mana Greta mendapat pengaruh terbesarnya. Yaiyalah, Greta ini aktris yang jadi muse-nya Baumbach dalam beberapa film. Gara-gara ini, menurut saya, para juri berbagai ajang kusala tidak akan langsung mendaulatnya sebagai sutradara terbaik. Nggak apa-apa, Mbak. Waktumu masih amat panjang buat mengasah kemampuan hingga bisa dianggap ketulenan bakatmu. Menarik pula untuk mengikuti proses karier akting Saoirse Ronan. Akankah ia jadi Scarlett Johansson berikutnya? Dulu Johansson juga adalah ratu film indie.
- Three Billboards Outside Ebbing, Missouri
Seperti Lady Bird, film ini juga mengangkat tema kota kecil. Dalam segi keterpengaruhan, film ini lebih dekat ke Fargo (1996)-nya Coen Bersaudara, apalagi aktris utamanya adalah Frances McDormand, istri salah satu Coen yang juga aktris utama Fargo. Film yang gaya bertuturnya mirip sebuah novel ini merupakan kisah ugahari tentang kejahatan tak terpecahkan yang mengoyak sebuah komunitas yang warganya satu sama lain cukup erat hubungannya. Kita langsung bisa mengidentifikasi diri dalam karakter-karakternya. Jika kita berada dalam situasi majalnya penyelidikan polisi (dalam kasus ini pembunuhan), di mana pun, sadar atau tidak, langsung atau tidak, masing-masing kita pasti akan mengambil posisi orang tua korban (dalam film ini kesatuan ini terbelah, bapak-ibunya yang bercerai pun berbeda pendapat soal desakan ke aparat untuk pengusutan kasusnya), polisi (yang mentok karena kurangnya bukti, bukannya abai), atau orang awam (yang bersimpati sih, tapi jika caranya harus ngotot dengan pasang iklan besar-besaran nan mencolok di jalan yang biasa dilalui orang-orang, terganggu juga kenyamanan hidupnya). Adegan terbaiknya pada momen “kemarahan akan melahirkan kemarahan yang lebih besar”.
Dilema moral di akhir cerita pun mengingatkan pada film Coen yang lain, True Grit (2010). Si ibu dan si polisi bersama-sama hendak mencari kebenaran bahkan hingga membalas dendam dengan menguber dan membunuh seorang tersangka yang dicoret dari daftar karena ketidakcocokan DNA. Dalam dialog, apakah mereka yakin betul dengan keluhuran motif balas dendam keduanya mirip dengan motif gadis remaja yang menyewa Jeff Bridges untuk membalaskan dendam kematian ayahnya dalam True Grit. Dia tahu itu takkan mengubah apa pun, dan takkan ada kepuasan setelahnya, tapi biarlah di akhirat saja penilaian mutlak atas tindak balas dendam itu. Catatan kecil saya untuk hal ini, seperti inilah ideologi para hawkish (fundamentalisme kanan yang suka perang) Amerika saat ini. Ia tak perlu tahu kebenaran sejati kampanye balas dendam “perang melawan terorisme”, mau perang sampai kiamat beneran terjadi pun tak apa, malah bagus, karena mereka yakin bahwa merekalah kaum yang paling benar dan keadilan sejati (Tuhan) akan berpihak kepada mereka.
- I, Tonya
Menonton film ini saya langsung merasakan campuran kesan ketika menonton Joy (2015), Black Swan (2010), The Royal Tenenbaums (2001), film-film bertema olahraga, seperti seri Rocky dan Downhill Racer (1969). Ini tentang Impian Amerika. Film yang diangkat dari kisah nyata ini mengangkat tema persaingan yang sampai menghalalkan segala cara sampai menjegal pesaing sesama wakil AS dalam beberapa kejuaraan figure skating tingkat Olimpiade. Jika dalam The Royal Tenenbaums sosok brengsek adalah bapak, maka dalam I, Tonya sosok ibu yang superkeras mendidik Tonya menjadi pribadi tangguh adalah karakter yang bikin gemez. Gaya a la mafia keroco untuk menyingkirkan pesaing berujung pada kekacauan. Semua jungkir balik manuver mereka dipicu oleh kenyataan pahit bahwa para juri lebih memilih duta olahraga yang bercitra keluarga damai ketimbang yang terbaik, tapi berlatar belakang berantakan.
Saya membayangkan aktris Margot Robbie seperti mendapat durian runtuh ketika berkesempatan terlibat dengan proyek film ini. Tak tanggung-tanggung, ia menjadi salah satu produser. Di sini kemampuan aktingnya sangat bersinar, ia bisa lepas dari kutukan Suicide Squad (2016).
Penutup, jika ditarik benang merah dari ketiga film di atas, maka masa depan film Hollywood terletak pada sisi feminin sumber dayanya, baik tema cerita maupun awak sineasnya. Belum lagi, jika kita cermati bahwa hal itu berkelindan dengan sisi ke-indie-an industrinya yang mampu mengangkat ketulenan yang mencolok dibandingkan dengan film-film besarnya yang bertendensi macho (sebutlah film-film adiwira yang sempat disebutkan tadi, kecuali Wonder Woman). Bagi kita sendiri di sini, tetap saja, ayo-ayo saja menikmati gelegar bioskop, tetapi jika hendak merasakan keasyikan mencari-cari “telur paskah” perfilman (yaudah, ya, saya Hollywood-minded ketika menulis ini, hehehe) maka kita harus kuat-kuat paket data atau wifi atau rajin ke warnet untuk menaikkan level terhibur kita ke tingkat lanjutan.
Selamat menjalani 2018!
- Kenanganmu Itu, lho, Alfonso…; Ulasan Film Roma (2018) - 13 February 2019
- Salam Terakhir sang Legenda; Ulasan Film the Old Man & the Gun (2018) - 16 January 2019
- Gagalnya Utopia di Dunia Baru dan Kepulangan “(Anti)Hero” - 26 December 2018