Menjadi Kecil di Raja Ampat

Di malam yang dingin ini, tiba-tiba saya tergelitik untuk menulis lagi tentang Papua. Masih dalam ingatan dan kesadaran penuh, daerah ini masih menjadi tujuan favorit saya di Indonesia. Masyarakat, alam, budaya, dan semua tentang Papua selalu menarik. Laut maupun gunungnya. Saya teringat akan banyaknya pertanyaan dari beberapa teman, lebih memilih gunung atau pantai? Ah sama saja, yang penting masih di Papua.

Tahun 2018 menjadi tahun yang penuh tantangan bagi saya yang harus menyelesaikan tugas akhir kuliah. Saat ini saya mengambil studi mengenai perkembangan pariwisata dan pemberdayaan masyarakat lokal di daerah tujuan wisata. Sedari awal, saya berencana untuk kembali melakukan penelitian dan menulis mengenai Papua sebagai topik tugas akhir, khususnya di daerah Raja Ampat. Mengenai isi penelitian, biar saja pembimbing dan penguji pada sidang tugas akhir yang menilai. Pada tulisan ini, saya sebatas ingin menyampaikan refleksi pribadi.

Penelitian saya terpusat di Desa Saporkren dan Sawingrai, Kabupaten Raja, Ampat selama 1,5 bulan. Saya tinggal di penginapan yang dikelola oleh masyarakat lokal. Berhubung datang dengan maksud penelitian, pemilik penginapan memberikan kelonggaran dalam hal pembiayaan. Saat itu, saya hanya perlu membayar biaya makan. Sungguh beruntung, mengingat biaya penginapan tergolong sangat mahal.

Sebagai gantinya, saya diminta untuk membantu mereka berkomunikasi dengan tamu, memberikan masukan untuk perkembangan penginapan, hingga membantu belanja di pasar tradisional. Bagi seorang peneliti, ini adalah berkah untuk mendapatkan informasi lebih dalam seputar aktivitas masyarakat.

Berkomunikasi langsung dengan warga setempat membuat saya bisa mendapatkan penjelasan serta berdiskusi mengenai peranan alam bagi kehidupan mereka. Berdasarkan hasil obrolan dengan warga, akhirnya saya tahu bahwa pada zaman dahulu nenek moyang selalu menganggap alam sebagai “ibu” yang harus selalu dirawat agar memberikan segala yang dibutuhkan oleh manusia. Hubungan timbal balik ini berjalan begitu sempurna.

Sekitar akhir tahun 90-an dan awal 2000-an, terdorong oleh kebutuhan ekonomi, masyarakat mulai berkonsentrasi pada perdagangan pasar. Hal ini membawa keuntungan signifikan terhadap roda perekonomian masyarakat, namun di sisi lain menimbulkan dampak kerusakan alam. Masyarakat yang mayoritas bekerja sebagai nelayan terdorong untuk mengambil ikan sebanyak-banyaknya dari laut.

Untunglah, Raja Ampat menjadi kabupaten baru di tahun 2003. Pemerintah lokal pun mengubah status daerah menjadi kabupaten bahari yang terfokus pada pengembangan sektor pariwisata. Dengan begitu, masyarakat termotivasi untuk menjaga kualitas alam, termasuk di dalamnya mengurangi penangkapan ikan berlebihan, tidak merusak terumbu karang, tidak membuang sampah sembarangan, dan lain sebagainya. Hubungan baik antara manusia dan alam kembali terjalin seperti sebelumnya. Manusia dapat meningkatkan pendapatan tanpa harus merusak alam.

Hasilnya, kualitas alam kembali membaik, jumlah ikan semakin banyak, terumbu karang semakin baik dan lestari. Hal ini tidak hanya dinikmati oleh warga setempat, tapi juga para turis. Terakhir saya bertemu dengan 2 turis Jerman yang mengaku telah 7 kali datang ke Raja Ampat. Mereka mengatakan tidak pernah bosan kembali karena di sanalah spot diving terbaik versi mereka. Senang rasanya mendengar hal itu.

Berbagai penjelasan mengenai kondisi alam dan hubungan antara manusia dan alam pada akhirnya memancing refleksi saya sebagai seorang pendatang. Memandangi hamparan laut biru nan luas dan jernih, membuat saya tak henti-hentinya takjub. Saya teringat salah satu obrolan dengan seorang teman di tanah Sumba beberapa waktu lalu, “Melihat pemandangan alam seluas ini, kita merasa kecil, ya”.

“Merasa kecil” dapat diinterpretasikan ke berbagai aspek, baik religius, kemanusiaan, hubungan manusia dan alam, atau apa pun. Terserah Anda. Bagi saya pribadi, hal ini baik untuk menyadari bahwa kita hanya organisme kecil di bumi. Hidup hanya sementara. Apalah artinya kita. Saya teringat dengan beraneka ragam ikan yang indah berwarna-warni dan terumbu karangnya. Sangat indah semuanya.

Duduk di teras penginapan di atas laut setiap sore, memancing refleksi saya tentang kekuatan dan nilai alam. Saya tuliskan dalam buku catatan saya, “Ketika orang sibuk mencari jati dirinya, Raja Ampat mengajari saya banyak hal. Tidak hanya mencari identitas diri, namun menyadari bahwa kita hanya makhluk hidup yang hidup di tengah-tengah makhluk hidup lain, di tengah-tengah alam yang natural, bernilai, dan memiliki kekuatan”. Kerendahan hati. Itulah hal yang saya pelajari dari pengalaman saat berada di Raja Ampat.

Saya merasakan sesuatu yang sulit untuk digambarkan, yang jelas seolah ada ikatan yang terjalin kuat dengan Raja Ampat dari keindahan alamnya dan senyuman murni masyarakatnya. Ah sudahlah, saya simpulkan saja kalau saya jatuh cinta. Selamat malam.

Timoti Tirta

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!