Menjaga Yang Pernah Ada, Dan Kini Tak Ada

Judul: Anjing Gunung

Penulis: Irma Agryanti

Penerbit: Basabasi

Tahun: Desember, 2018

Tebal: 87 hal.

ISBN : 978-602-5783-61-6

Puisi kadang hadir seperti mimpi; muncul tiba-tiba, berakhir pula dengan tiba-tiba. Membaca baris pertama sebuah puisi seperti membuka mata dalam tidur. Suatu situasi, mendadak hadir dan kita meraba gejalanya seraya bertanya-tanya ke mana kita akan dibawa. Situasi yang sekilas itu bisa dengan cepat berganti, bergerak ke gambaran lain dan sering kali sampai di akhir kata kita belum juga tahu apa artinya semua itu. Lalu seperti ketika kita terjaga dari tidur dan teringat pada mimpi yang baru dialami, kita menyusuri kembali jejak mimpi itu untuk mengetahui peristiwa dan gambar-gambar di dalamnya.

Puisi memang merangsang panca indera untuk menangkap ilusi melalui citraan yang disusupkan di antara rangkaian hal-hal yang sudah kita kenal sebelumnya. Memanfaatkan ketakserentakan bahasa dan imaji yang muncul lewat arti-kata, puisi tersusun secara non-kronologis guna menghadirkan pendar-pendar ilusi tersebut. Panca indera yang biasa bekerja secara teratur; menangkap tanda, mengolahnya dan lantas menemukan artinya “dipaksa” untuk bekerja dengan cara lain. Lantas—kerap kali—hanya sanggup menangkap susunan tanda yang menghadirkan imaji yang terpisah-pisah, tanpa sanggup menghubungkan tanda-tanda tersebut dalam suatu jaringan yang pada akhirnya membawa kepada pemaknaan.

Situasi tersebut terutama berlangsung terhadap puisi-puisi yang tidak bertumpu pada kalimat, melainkan frasa-frasa, sehingga diperlukan upaya untuk menyusun kembali frasa-frasa itu dalam satu struktur sintaks agar menjadi kalimat yang memudahkan kerja pemaknaan. Tetapi cara seperti itu kadang-kadang membuat puisi kehilangan misterinya. Padahal, letak ekstase puisi terutama adalah pada misteri itu. Seperti juga mimpi, yang bisa terasa aneh, mengerikan, menggusarkan lantaran misteri kehadiran dan susunannya.

Kumpulan puisi Irma Agryanti, Anjing Gunung (Basabasi, 2018) banyak menghadirkan (dan bahkan bertumpu pada) ilusi itu. Sejumlah imaji yang muncul, bergerak antara upaya untuk menyusun peristiwa secara kronologis dan penolakan tertentu terhadap upaya itu serta niat tersembunyi untuk bersikeras menyusun imaji-imaji tersebut dalam bentuk kolase.

Berdasarkan topiknya, kumpulan ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian. Lima belas puisi awal adalah bagian pertama. Bagian ini banyak berpusar di sekitar gunung, hutan, dan savana. Fitur-fitur alam yang hadir di bagian ini ada dalam teritori itu. Kehadiran (sosok) manusia, baik aku-lirik maupun yang lain membangun ilusi yang menghindarkan sejumlah puisi untuk tampak terang sebagai kolase. Dengan pikiran antroposentris kehadiran manusia dapat langsung menjadi pusat meskipun posisinya tidak signifikan. Seperti dalam puisi pembuka “Jalan ke Gunung” (hal. 9). Puisi ini cuma sekali menyebut ‘aku’, dan apabila kita menghapus ‘aku’ dari puisi ini, maka yang hadir adalah tampakan kolase dengan tepi-tepi yang tegas; suatu pemandangan yang tak memiliki pusat yang jelas lantaran subjeknya tak lagi tunggal. Aku-lirik, dalam posisi ini, adalah ilusi yang ditancapkan untuk mengintervensi bentuk kolase dan menimbulkan ilusi-kronologis.

Dalam puisi “Rumah Kayu” (hal.14), aku-lirik muncul dan melakukan tindakan yang tidak mudah dicerna; aku tidurkan mata dari udara,/aku lelapkan serangga dari hutan. Susah membayangkan tindakan aku-lirik ini. Kata ‘dari’ dalam dua baris tersebut membuat tindakan itu menjadi ganjil dan nyaris tak bisa dimengerti. Sepuluh kata yang membentuk dua baris itu tampak seolah tersusun dengan gramatika yang jelas, tetapi setelah terbentuk, sepuluh kata itu justru tersusun seperti kolase yang tidak begitu jelas artinya. Hal ini diulang lagi dengan lebih tegas di bait lain; aku tutupkan pintu dari suara-suara,/angin purba/aku kancingkan jendela dari daun-daun,/ waktu gugur. Bentuk kolase lebih tegas tampak di bagian ini. Dengan menggunakan tanda koma, ‘suara-suara’ dipisahkan dari ‘angin purba’ dan ‘daun-daun’ dipisahkan dari ‘waktu gugur’. Gramatika menjadi ilusi yang menyamarkan bentuk kolase dari baris-baris tersebut.

Tiga belas puisi selanjutnya adalah bagian kedua. Bagian ini mengolah pelbagai mitologi, cerita rakyat, dan artefak dari Lombok. Pola pengolahannya selain dengan cara mengisahkan ulang cerita atau sejarah di belakang hal-hal tersebut, juga dengan menyelundupkan subjek baru ke dalamnya. Di dalam khazanah mitologi, cerita rakyat dan keberadaan artefak lokal itu, aku-lirik hadir untuk memunculkan ilusi ruang dan waktu, seperti tampak dalam dua baris terakhir yang menutup puisi “Anjani” (hal.27); aku dan kau/berdiri sedekap. Dewi Anjani adalah sosok mitologis dalam masyarakat Sasak-Lombok. Dalam dua baris di atas, aku-lirik berada sejajar dengan sosok itu, seakan-akan jarak waktu, ruang, bahkan nalar kehadiran kedua sosok itu telah hilang.

Dalam puisi “Pertunjukan Ini” (hal.35-36), aku-lirik sebagai subjek bahkan mengilusikan dirinya menjadi objek. Mitologi hanya ada di atas panggung, aku-lirik yang telah menyatakan kesejajarannya dengan sosok (-sosok) mitologis tersebut (pemain yang mengenakan topeng itu/mengisahkan padaku) pada akhirnya tinggal sendiri (di pentas ini/gurantang hendak pula dilenyapkan/juga nasib/juga penantian/tinggallah aku). Lantas aku-lirik pun berubah menjadi sesuatu yang tak terduga (maka namaku air mata/muncul dari mata paling jahat/mata para penonton yang awas). Puisi ini membangun jaringan ilusi yang kompleks, lingkaran yang nyaris paradoksal. Mitologi (yang tak tertangkap panca-indera itu) di-nyata-kan (tertangkap panca indera) tetapi hanya dalam pertunjukan (sesuatu yang ‘pura-pura’, tak nyata) dan keseluruhannya terlingkup dalam batas-batas teks puisi (sesuatu yang tidak keduanya). Dalam situasi itu aku-lirik pun tidak stabil alias terpecah-pecah; sebagai subjek (penonton) sekaligus sebagai objek (bagian dari tontonan). Lalu ketika tontonan berakhir, aku-lirik menjadi satu-satunya yang tertinggal sebagai bekas-subjek sekaligus bekas-objek dan menjelma jadi tanda kausalitas peristiwa: air mata. ‘Air mata’ jadi pusat ilusi yang berupaya memisahkan antara subjek dan objek, antara yang nyata (penonton) dengan yang tak nyata (tontonan).

Bagian ketiga dari Anjing Gunung berbicara tentang perjalanan dan hikayat-hikayat yang berhubungan dengannya. Dalam puisi “Penyeberangan Selat Alas” (hal.54), aku-lirik mengakui dirinya tertidur, dan karena itu seluruh peristiwa selanjutnya terjadi dalam tidur tersebut. Seperti mimpi, tetapi mimpi perihal sesuatu yang sedang terjadi di dunia nyata pada saat yang sama dengan mimpi tersebut. Aku-lirik jadi ilusif dan bisa melintas pelbagai ruang: aku temukan diriku/terapung,dalam diam abadi//ikan, binatang bersayap, mengarakku/membuatkan rumah madu/di sebuah hutan kopi//aku belajar terombang-ambing/menyeberang, mengheningkan diri. Situasi macam begini tampaknya tak benar-benar diharapkan aku-lirik, ia ingin kembali ke dalam kenyataan di mana dirinya hadir dalam bentuk yang konkrit  (lihat, waktu jua menua/maka bangunkan aku/sebelum fajar mencapai, mata air), meskipun kenyataan hanya punya satu tanda: air mata (air mata ini/sepanjang selat alas.)

Di antara banyak puisi Irma dalam kumpulan ini yang mengolah hal-hal di luar puisi, ada dua puisi yang berbicara tentang puisi itu sendiri. Keduanya yakni “Aku Melihat Hutan Dalam Puisi” (hal.69) dan “Kabut Hutan” (hal.72). Dalam “Aku Melihat Hutan Dalam Puisi” dengan jelas kita lihat betapa puisi bagi aku-lirik adalah bentangan ilusi yang bisa meluas. Kecuali dalam judul, tak ada kata ‘hutan’ dalam puisi ini. Bahkan fitur-fiturnya tidak dekat dengan teritori hutan. Fitur-fitur seperti ‘kebun anggur’, ‘taman kaktus’, ‘bangku tua’ dan ‘sumur’ berada di luar teritori hutan. Dalam kalimat lain, saya tidak melihat hutan dalam puisi ini. Saya tidak melihat hutan yang dilihat aku-lirik, seperti yang terucap dalam judul.

Sementara dalam puisi “Kabut Hutan” diperlihatkan bagaimana dari kata ‘putih’ bisa tercipta rentetan imaji yang membangun suatu pemandangan lengkap dengan citra-visual dan citra-auditifnya; baris pertama puisi ini (seseorang menulis, kata putih ) adalah kembaran bagi baris terakhir (seseorang menulis, bahasa puisi ). Kata putih dalam bahasa puisi adalah abstraksi atas sesuatu yang konkrit, ilusi atas sesuatu yang nyata.

Bahasa puisi Irma adalah bahasa ilusif; memiuhkan peristiwa ke dalam yang bukan-peristiwa, melesapkan deskripsi ke dalam bayangan, menyamarkan kronologi di dalam kolase, subjek yang melihat objek sebagai subjek. Situasi dan tujuan dari semua itu terangkum lewat baris-baris terakhir puisi “Anjing Gunung” (hal.10-11) yang juga menjadi judul buku; jangan mengeluh/duduklah di dekatku/di bukit ini/menjaga yang pernah ada/dan kini tak ada. Bagaimana menjaga sesuatu yang pernah ada, (dan karena pernah, maka) kini tak ada? Tentu saja dengan meng-ilusikan bahwa sesuatu itu (masih) ada meski tahu bahwa sesuatu itu sudah tidak ada.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip apa yang ditulis Irma dalam pengantar. Irma menyebut ‘keterpesonaan’ sebagai basis penciptaannya, baik ketika melihat dan mengalami keberadaan dirinya di tengah alam nyata, maupun ketika berhadapan dengan alam dalam puisi yang dibacanya. Irma menyebut secara khusus puisi-puisi Sindu Putra sebagai yang mempengaruhinya. Memang saya bisa melihat garis-turunan puisi Sindu dalam puisi Irma, terutama dalam kecenderungan kolasenya. Juga dalam bentangan tematiknya yang berbicara tentang kerusakan alam (dalam hal ini, alam Irma tak se-apokaliptik alam Sindu) dan perhatian atas mitologi serta hikayat (dalam hal ini Sindu lebih sering memakainya sebagai alusi). Tetapi Irma tak seradikal Sindu. Puisi-puisi Sindu menjadikan tipografi sebagai tanda signifikan, suatu integrasi visual atas kolase tekstualnya. Sementara puisi-puisi Irma masih berjibaku antara mempertahankan bentuk tekstual yang utuh dengan bentuk kolase yang terpecah-pecah.***

Kiki Sulistyo
Latest posts by Kiki Sulistyo (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!