Menyambut Idul Fitri ala Sutardji Calzoum Bachri

sutardji

Presiden penyair Indonesia sekaliber Sutardji Calzoum Bachri sekalipun tidak hanya mabuk di tengah menenggak berbotol-botol bir. Tetapi di hadapan bulan Ramadhan yang agung, Tardji mengalami ekstase kemabukan atas kenisbian dirinya.

Itulah sebabnya, penyair kelahiran Indragiri Hulu ini mengekspresikan kemabukannya atas bulan Ramadhan dalam puisi puncak yang berjudul “Idul Fitri”. Dalam puisi tersebut, Tardji menggali eksistensi dirinya sampai di titik nol. Ia menegasikan diri menuju afirmasi ke-Tuhan-an. Ia memandang dirinya sebagai sesuatu yang kecil dan kosong serta mengakui ke-Maha Agung-an Tuhan Yang Maha Pemurah.

Raungan sang presiden penyair ini bagai merobek langit:

Lihat

Pedang tobat ini menebas-nebas hati

dari masa lampau yang lalai dan sia

Telah kulaksanakan puasa ramadhanku,

telah kutegakkan shalat malam

telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang

Telah kuhamparkan sajadah

Yang tak hanya nuju Ka’bah

tapi ikhlas mencapai hati dan darah

Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu

Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya

Maka aku girang-girangkan hatiku

Letupan puitik di atas merupakan aksentuasi sesal yang meluber atas perbuatan-perbuatan sebelumnya yang dijalaninya dengan cara yang lalai dan sia-sia.

Tobat yang diibaratkan sebagai sebuah pedang yang menebas atas dosa-dosa, puasa di bulan Ramadhan sebagai upaya untuk membersihkan diri, shalat malam dan untaian dzikir yang tidak sekadar menuju Ka’bah, tetapi bertujuan untuk lebih dekat kepada-Nya.

Terus, Tardji menunggu malaikat-malaikat di malam agung dan mulia yang bernama Lailatul Qadar yang tak kunjung datang. Maka di saat-saat paling krusial dan membosankan karena segala harapan tak kunjung datang, Tardji tetap menggirang-girangkan hatinya, mengkhusyuk-khusyukkan diri (meski sebenarnya tidak khusyuk).

Karena kebandelan-kebandelan terus menggedor-gedor di dalam dadanya, lalu Tardji berteriak selantang-lantangnya:

Aku bilang:

Tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam

Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang

Namun si bandel Tardji ini sekali merindu

Takkan pernah melupa

Takkan kulupa janji-Nya

Bagi yang merindu insya Allah kan ada mustajab Cinta

Maka walau tak jumpa dengannya

Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini

Semakin mendekatkan aku padanya

Dan semakin dekat

semakin terasa kesia-siaan pada usia lama yang lalai berlupa

***

Dalam diri setiap umat manusia, terdapat dua energi yang saling tarik-ulur. Dua energi itu berupa energi malaikat yang cenderung tunduk dan menunduk, selebihnya energi iblis yang cenderung memberontak dan mengarahkan umat manusia dalam kubangan kesia-siaan.

Di saat-saat energi iblis yang bandel itu mencakar-cakar jiwa Tardji, ia berusaha sekuat tenaga untuk meredam iblis-iblis itu, lalu ia mengatakan pada kebandelan dirinya, bahwa Tardji sekali merindu tak kan pernah melupa. Ia merasa jiwanya telah disucikan, diwudhukan, ditundukkan, agar segala energi iblis pelan-pelan sirna.

Dan Tardji segera mengunci keyakinan bagi yang merindu insya Allah ada mustajab cinta. Itulah sebabnya, Tardji tidak akan pernah ragu melakukan ritual-ritual untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Ia tidak menyesal meski Allah Swt. tidak memberikan karunia perjumpaan secara langsung dengannya. Sebab bagi Tardji, shalat, puasa, dzikir telah mensucikan jiwanya.

Proses pendakian diri menuju singgasana ke-Tuhan-an, membuat Tardji memasuki rasa sesal atas umurnya yang dijalani dengan penuh kesia-siaan di masa lampau. Rasa sesal yang tak terhingga itulah membuat ia terus ngebut merayakan cinta kepada-Nya:

O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini

ngebut

di jalan lurus

Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoar

tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia

Kini biarkan aku menenggak marak CahayaMu

di ujung sisa usia

O usia lalai yang berkepanjangan

Yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus

Tuhan jangan Kau depakkan aku lagi ke trotoar

tempat aku dulu menenggak arak di warung dunia

Tersebab penyesalan-penyesalan yang menggoda jiwa Tardji atas masa lalu yang dinilainya berjalan sia-sia, ia memohon dan mengiba kepada-Nya, agar ia tidak dikembalikan lagi pada situasi yang sama. Tardji menginginkan sungguh atas kelahiran baru dirinya yang lebih suci dan hakiki.

Melalui puasa Ramadhan, Tardji memanfaatkan benar kesempatan di sisa usia. Ia terus ngebut di jalan yang lurus agar percikan-percikan nilai keberkahan melingkupi hidupnya.

***

Totalitas sang presiden penyair dalam mereguk puisi puasa adalah  thariqah estetik untuk mencapai substansi kelahiran baru dirinya. Puasa merupakan media yang sangat personal dalam komunikasi antara aku (lirik) dengan Tuhannya. Perjumpaan-perjumpaan entitas kecil menuju Entitas Besar berlangsung sangat sublim.

Puisi sejatinya hanya mengungkap sebagian dari deguman jiwa yang sedang mengalami ekstase dengan-Nya. Kata-kata yang dilahirkan dalam puisi Tardji ini tentu belum mewakili keseluruhan samudera jiwa sang penyair. Jauh dari itu, dalam proses taqarrub-nya, Tardji meleburkan diri dalam kenikmatan cinta ilahiah yang tidak siapa pun dapat mengerti.

Maka di suatu pagi, ketika Ramadhan hendak pergi, dengan meraung-raung penuh tangisan Tardji bilang begini:

Maka pagi ini

Kukenakan zirah la ilaha illAllah

aku pakai sepatu sirathal mustaqim

aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat Id

Aku bawa masjid dalam diriku

Kuhamparkan di lapangan

Kutegakkan shalat

Dan kurayakan kelahiran kembali

di sana

Sumber gambar: sarbikita.blogspot.com

Ahmad Muchlish Amrin
Latest posts by Ahmad Muchlish Amrin (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!