Merajut Iman Negasi

faithartists.com

(Sebuah Adaptasi Dekonstruksi Jacques Derrida dalam Teologi)

Energi agama yang paling dalam, terletak pada kualitas iman yang menancap tegak dalam masing-masing umatnya. Iman merupakan kesadaran puncak yang melampaui kepercayaan dan keyakinan dalam menerjemahkan doktrin setiap ajaran dalam agama, baik itu Islam, Kristen, Hindu, atau Buddha. Sehingga, dalam titik inilah, keimanan menduduki posisi strategis sebagai bidang kajian menarik untuk terus dirumuskan, diuji, dan dikoreksi menuju arah yang lebih stabil dan dinamis.

Hanya dengan iman-lah kita dapat menggapai apa yang disebut dalam istilah Aristoteles sebagai “penggerak yang tak digerakkan”; khazanah supranatural yang menyandang predikat “Maha”. Tentu, Dia-lah yang Absolut. Maka di sinilah, penting bahwa iman harus menjadi prioritas dalam keberlangsungan agama yang terus berlanjut dan bergerak pada “ruang” yang masih penuh dengan seribu misteri.

Abad modern kita saat ini, membuat iklim misteri tersebut semakin bergerak melingkar, hingga “keruh” dan sampai tak terlihat ujung dan pangkalnya. Dengan rasionalisme sebagai “Berhala Terselubung”, membuat iman dalam term agama menjadi sangat absurd. Ia terombang-ambingkan dalam permainan (rasionalisme) yang paradoks, ganjil dan aporia.

Rasionalitas memang sejak lama telah menjadi “label” penting dari babak baru dunia ini, bernama modernisme, namun sebagai proyek pengetahuan, ia tak berhasil dalam mencipta kemaslahatan, malah semakin membuat krisis keadaan. Di sini kita akan menemukan iman yang terbengkalai, yang dalam waktu yang sama, membentang sebuah kesenjangan yang amat dalam dari maknanya yang sejati. Dalam titik yang lebih lanjut, iman tersebut tereduksi dalam diskursus-konsepsional dalam meraih dan mengilustrasikan yang Esa.

Dalam pemikiran filsafat keadaan ini mendapat “gugatan keras”. Saat rasionalitas memaksakan untuk mengukur alfa-omega (awal dan akhir) keadaan menuju kebenaran, termasuk keimanan, di situlah “kesombongan” melanda. Yang dalam waktu yang sama menginginkan segalanya dapat dinalar dan di-metode-kan demi mencapai finalitas kebenaran. Teguran terhadap kenyataan ini, sempat dilakukan oleh Wittgenstein, “Were of one can’t speak, there of must one be silent.

Tepat pada titik inilah kita dapat bertemu dengan Derrida. Ia tidak hanya menegur tapi menghancurkan proyek modernisme itu, sampai menjadi serpihan yang sulit untuk dipungut dan diakui kembali. Ia merusak “kebenaran final” dalam istilahnya tentang “Logosentrisme”.

Model filsafat Derrida ini, menjadi koreksi tersendiri dalam khazanah teologi konservatif yang selalu bersifat totaliter. Ia memilih menjadikan filsafatnya sebuah penafsiran lewat pembacaan dekonstruktif. Kendati ia memulai dengan mempreteli teks-teks filosofis, namun ia sampai mempersoalkan pada setiap kebenaran, finalitas, dan absolutisme yang terdapat dalam asumsi metafisika filsafat barat.

***

Saat Rene Descartes memproklamasikan rasionalismenya di atas dasar gagasan yang terkenal “Cogito Ergo Sum” (Aku berpikir maka Aku Ada) segala bentuk kehidupan menjadi sempit dalam ruang kedap rasio. Saat rasio menjadi tolak ukur terhadap segala persoalan, termasuk bagaimana memaknai yang “Maha Sempurna”. Dunia menjadi taman permainan yang hanya dapat menampilkan ketidakmengertian, kejenuhan, dan rasa putus asa yang tak jarang berakhir dengan peristiwa histeris menderita.

Gampangnya seperti ini: menurut Descartes Ada manusia tergantung pada “Cogito” (pikiran), seakan masa bodoh untuk menggali lebih jauh pada sisi “Sum” (Ada). Sehingga konsekuensinya, “Cogito” (pikiran) menjadi pusat eksistensi. Pada saat itulah pikiran menjadi sangat totaliter dan membelenggu bentuk “produksi kebenaran” yang lainnya. Derrida menganggap semua ini sebagai “kekerasan metafisika” (metaphysical violence) terhadap “yang lain”.

Dalam tradisi filsafat post-modern, pemahaman ini sangat dikecam. Oleh karena itu, Derrida menggunakan “Dekonstruksi” sebagai strategi membaca, menafsir, dan menggugat berbagai konstruksi dari modernisme itu sendiri. Ia terlihat hendak dan ingin melanjutkan perjuangan Haidegger yang melakukan “kritik ontologis” terhadap metafisika realitas yang tolak ukurnya berpusat pada kuasa logos.

Kritik Haidegger tersebut tentu bukan karena alasan penyempitan ruang untuk meretas kebenaran yang sejati. Akan tetapi, lebih jauh keber-pusatan-an logos justru benar-benar menyempitkan dan mengantarkan dunia pada keterbatasan-keterbatasan yang rumit. Yang akan membuat wajah dunia ini menjadi suram dan kering dari nilai-nilai spiritual. Di sinilah kita memerlukan perombakan ulang, tata ulang, dan formulasi baru menuju zona yang dapat melampaui keterbatasan-keterbatasan tersebut. Di sini kita dapat melihat bahwa rasionalitas tampak problematis. Ia mengalami kebangkrutan secara internal sehingga ia terlihat kering tanpa energi.

***

Oleh karenanya, Derrida merespons keadaan ini dengan memulai kritiknya terhadap totalitas kebenaran rasio. Bahwa, upaya tersebut, menurut Derrida tidak akan mengantarkan manusia pada dimensi makna yang sejati. Yang menarik adalah, Derrida justru mewaspadai keutuhan makna dan bahkan mempersoalkan pemahaman makna itu sendiri. Apakah Derrida akan lari dari makna (kebenaran sejati)? Ihwal kebenaran sejati di sini, tentu sangat kompleks; entah dalam aspek budaya, ekonomi, politik, atau bahkan teologi.

Penulis berusaha akan menarik Dekonstruksi Derrida dalam aspek teologi dalam agama. Menarik untuk kita simak, saat dekonstruksi sebagai “mesin” penghancur atas segala logosentrisme dalam berbagai bentuknya, yang kemudian diadaptasikan dalam khazanah teologi. Yang saat ini, di tangan para ulama, filsuf dan intelektual terus dikampanyekan sebagai khazanah diskursus dan konseptual. Ini adalah potret di mana rasionalisme masih mempengaruhi.

Kalau kita paksa untuk berontak, dapat kita bertanya: mungkinkah teologi yang dominan dalam kajian ketuhanan dapat diselesaikan dengan diskursus logos? Apakah itu cukup untuk menjamin atas lahirnya kualitas iman yang kokoh? Dalam kebingungan inilah, Dekonstruksi dapat diproyeksikan atas adanya logos atau kebenaran tertentu yang transenden itu. Teologi dalam dekonstruksi, lebih merujuk pada ketidakmungkinan itu sendiri. Sebagaimana filsafat Derrida nyaris semuanya bertolak dari yang-tak-mungkin ini.

Je ne sais pas, il faut croire,” (saya tidak tahu apa-apa, saya hanya bisa beriman) inilah yang selalu Derrida dengungkan di tengah ingar-bingar kompetisi intelektual dalam menggapai kebenaran yang abadi (baca: logosentrisme). Sehingga tak jarang, konstruksi keimanan, diasosiasikan pada keyakinan, lalu selesai dan tak boleh diotak-atik kembali. Padahal apa yang kita sebut sebagai keyakinan itu adalah hasil rekayasa rasio. Berimanan dengan fondasi rasio, berarti selama ini kita bukan benar-benar mendekati Tuhan sebagaimana adanya (God as God as Such), akan tetapi hanya pada formula konsep tentang Tuhan. Dekonstruksi Derrida menjadi kritik metafisika keimanan itu sendiri. Karena dalam titik yang lebih lanjut, dengan sendirinya mengantarkan kita pada iman yang negasi.

Khazanah iman negasi ini banyak ditemukan dalam prinsip tasawufnya Ibn Arabi dan aliran Taoisme. Tuhan sebagai Sang Mutlak saat berada dalam kemutlakan aslinya secara konseptual merupakan negasi-terhadap-negasi-suatu-negasi (negation-of-negation-of-negation), yakni negasi Sang Mutlak sebagai Tiada yang, lagi-lagi, merupakan negasi Ada (the negation of the Absolute’s being Nothing which, again, is the negation of Being). Dan itulah batas terjauh yang dapat dijangkau pemikiran logis kita dalam upaya pamungkas memahami Sang Mutlak. Dafid Tracy menyebut iman negasi ini sebagai “Radical Incomprehensibility of God” (Gagasan tentang ketidakmungkinan Tuhan untuk dipahami oleh pikiran manusia).

Ihwal semacam ini memosisikan Tuhan sebagai entitas yang paradoks dan problematis. Disebut paradoks karena Dia memunculkan seribu pertanyaan yang mutlak keberadaannya dalam khazanah ketidak-tahu-an—dalam wilayah rasio. Dalam waktu yang sama pula disebut problematis karena kondisi ini berada dalam hamparan Ada dan Tiada, disebut oleh Dionisius sebagai The Brilliant Darkness of a Hidden Silent (cemerlang gelapnya kesunyian yang tersembunyi). Di mana, seseorang yang hendak menjumpai Sang Maha Esa akan mengalami perjumpaan yang tak dapat lihat dan dipahami. Olehnya kemudian, tak ada jalan lain kecuali harus menegasikan seluruh apa pun perihal Tuhan dalam dirinya.

Dalam iman negasi tak tersisa sedikit pun mengenai pemahaman ke-Tuhan-an. Adanya tuhan ibarat dalam dan luasnya samudra sebagai sebuah kajian yang autentik. Sehingga, mengarungi samudra itu, ada ombak dan badai yang sekali tiup membuat kita terombang-ambing pada arah yang bisu untuk mengatakan selatan, utara, barat, dan timur. Inilah mengapa Tuhan perlu dinegasikan usai upaya menggapainya.

Iman negasi ini memang cukup kontroversi. Mengingat model iman seperti ini dalam masalah ke-Tuhan-an, sangat berseberangan terhadap pengalaman teologi tradisional, yang menyelesaikan bangunan keimanan dalam kerangka konsepsi keyakinan. Akan tetapi, dalam konteks ini, iman negasi—sebagai sebuah kajian dan “pencarian”—tentu lebih bersifat kritis dari pada normatif. Pasalnya, pendekatan ini tidak sekadar bersandar pada ritme historis saja, melainkan lebih pada epistemologi dan ontologi.

Pada konteks inilah, iman dalam bentuk negasi akan berhasil melampaui tradisi masa lalu. Ia hendak ingin membebaskan pengalaman religius kita dari lingkaran keterbatasan tradisi agama secara institutif. Pengalaman religius ini, akan menuntut umat pemeluk agama agar beriman dengan penghayatan tinggi.

Menurut Muhammad Al-Fayyadl, penghayatan dalam titik ini adalah, menghayati dengan mempertanyakan, menggugat dan menjadikan keimanan kita sebagai eksperimentasi yang terus berlanjut untuk menguji pengalaman kita dengan “Yang Ilahi”. Di sini tidak ada iman yang final dan tak ada ukuran sempurna, keberadaannya terus berproses dan berusaha lebih sempurna tanpa kategori atau ukuran yang pasti.

Dengan Dekonstruksi, hingga sampai pada realitas iman yang negasi, nanti kita memang akan banyak menemukan pengalaman-pengalaman religius yang tidak stabil atau risiko yang pada waktu tertentu akan membuat kualitas keimanan menjadi goyah. Tentu ini wajar, karena gagasan keimanan ini memang benar-benar bertolak dari ketidakpastian yang radikal. Maka pengalaman religius dalam bentuk ini di samping menyimpan risiko, juga menyimpan kejutan-kejutan yang tak terduga seperti apa bentuknya dan kapan datangnya.

Dengan hal itu, kualitas iman ini akan senantiasa terbuka pada horizon waktu yang terus melangkah pada batas yang tak bisa terduga. Hamparan waktu ini menjadi narasi yang akan mencatat akan datangnya “Sang Ilahi”. Pada titik inilah, tak ada waktu libur bagi iman untuk berhenti beroperasi. Pengalaman religius ini terus dalam penghayatannya di tengah hamparan waktu yang absolut.

Maka dalam ihwal ini, tak akan ada jaminan kepuasan, sebagaimana biasanya dalam kerangka berpikir metafisika logosentrisme yang menurut al-Fayyadl diyakini syarat dengan “fiksi kehadiran”; sebuah khazanah finalitas tentang ke-Tuhan-an yang seakan-akan masa depan telah selesai terdikte, termasuk dalam diskursus eskatologis. Sejatinya inilah alfa-omega (awal-akhir) proyek “pencarian” tertimbun oleh debu-debu logosentrisme. Sehingga agama terasa kering dari spirit keilmuan, yang sejatinya adalah fondasi bagaimana iman itu dibangun dan dikokohkan.

Iman negasi ini adalah pengungkapan ke-Tuhan-an dalam doktrin yang penulis sebut “Agama Post-Modern”. Di mana keberadaannya, menjadi anomali terhadap agama modern di bawah hegemoni “wabah” logosentrisme. Upaya ini menjadi perlawanan tersendiri guna meletakkan prinsip keimanan tampil mengarungi hidup secara berkelanjutan, melampaui batas akhir (ajal) kehidupan yang sudah ada, ada di sana, jauh, tapi kadang terasa dekat, namun tak dapat diseberangi sesuai kehendak kita. Kita sekadar sadar, bahwa waktunya nanti akan datang tanpa jadwal diumumkan.

Iman negasi memberikan model penghayatan ajal lebih segar dan penuh dengan energi spiritual. Karena di sinilah puncak gairah perjumpaan dengan Yang Esa terus menyala, dengan memosisikan ajal bukan sebagai akhir yang akan memutus sebuah narasi kehidupan. Melainkan sebagai momen yang ditunggu-tunggu tentang kemungkinan menyingkap misteri kehadiran Sang Esa.

Kehidupan dalam konteks ini menjadi narasi panjang yang tak akan pernah usai sebagai satu “kehadiran” mutlak. Kendati jalan yang ia arungi ibarat gurun pasir tak bertepi yang menelantarkan kafilah dalam tujuannya. Di gurun pasir tandus itu, seorang pengembara hanya bisa berjalan, jatuh-bangun, berbekal sabar ia yakini ada secercah cahaya menuntunnya. Wallahu ‘alam….

Moh Roychan Fajar
Latest posts by Moh Roychan Fajar (see all)

Comments

  1. Rubisha Wulan Reply

    penulis dengan rangkaian kalimat yang mempesona, berilmu, juga mudah dimengerti. The Best.

  2. Anonymous Reply

    Comment
    keren kak

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!