Merdeka, Khilafah…!!! (Dirgahayu Indonesiaku, Jayalah Pancasilaku)

Bendera Indonesia lusuh
Sumber gambar baltyra.com

“Membela nasionalisme, nggak ada dalilnya, nggak ada panduannya. Membela Islam, jelas pahalanya, jelas contoh teladannya.” (Felix Siauw)

Seseorang mungkin saja berubah prinsip dalam perjalanan hidupnya. Itu normal belaka. Saya pun kerap mengalami perubahan seiring bertambahnya usia. Kecuali dalam satu hal: “Hukum menegakkan Khilafah Islamiyah (Negara Islam) secara legal-formal di Indonesia tidak wajib sama sekali.”

Prinsip saya yang tak berubah ini kian menguat sejak tahun 2000, saat saya menyelesaikan skripsi yang mengambil tema “politik Islam di Indonesia”, di bawah bimbingan Prof. Dr. Akh. Minhaji, M.A., yang kini jadi rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Skripsi saya tebalnya lebih dari 170 halaman, dengan daftar pustaka lebih dari 300 buku. Saya menyimpulkan begini:

Pertama, ada 3 ayat yang lazim dijadikan landasan naqli oleh kaum muslim dalam melegitimasi ajaran politik Islam, yakni surat an-Nisaa’ ayat 58 dan 59 serta surat al-Maa’idah ayat 45.

Sesungguhnya Allah menyuruhmu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruhmu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. an-Nisaa’ [4]: 58).

“Hai orang-orang yang beriman, taatila Allah dan taatilah RasulNya, dan Ulil Amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Alqur’an) dan RasulNya (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. an-Nisaa’ [4]: 59).

“Barang siapa yang tidak memutuskan perkara berdasar apa yang telah diturunkan oleh Allah, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. al-Maa’idah [5]: 45).

Bagaimana tafsir ayat-ayat itu?

Yang pasti, secara tekstual, kita bisa membaca sendiri, tidak ada satu pun dari ketiga ayat tersebut (apalagi lainnya) yang menunjukkan secara legal-formal format Negara Islam. Apakah monarki atau demokrasi, misal. Itulah sebabnya teramat banyak pemikir Islam yang lalu menyatakan bahwa ajaran politik Islam pada muasalnya adalah bersifat substansial (dzanniyyah dalalah), bukan formal-tekstual (qath’iyyah dalalah).

Tetapi, tentu saja, namanya penafsiran, takkan pernah bisa seragam. Abul A’la al-Maududi, misal, secara mantap menyatakan bahwa wajib hukumnya menegakkan Negara Islam. Setidaknya, ada 8 ayat yang diaku oleh al-Maududi sebagai landasan kewajiban itu. Termasuk 3 ayat yang saya kutip di atas. Lalu, al-Maududi sampai pada kesimpulan: “Negara Islam tidak boleh mencetuskan hukum maupun undang-undang; dia harus mematuhi undang-undang dari Rabnya yang dibawa Nabi, sekalipun situasi dan kondisi telah mengalami perubahan. Pemerintah sebagai pemimpin negara. Rakyat yang berhak mematuhi hukum-hukum negara yang sesuai dengan hukum Allah.”

Lain lagi dengan pandangan Ibnu Taimiyah (lahir 1263 M). Menurutnya, ayat 58 itu ditujukan kepada pembesar-pembesar negara yang bertanggung jawab atas pemerintahan supaya mereka “amanah” kepada rakyat dan menjalankan “keadilan” di dalam segala hukumnya. Ayat 59 ditujukan kepada rakyat supaya “bertaat” kepada Tuhan dan Rasul dan Ulil Amri yang sudah mereka pilih untuk memimpin negara di dalam kedudukan apa pun, asal tidak menyimpang dari hukum Tuhan dan Rasul.

Abdul Muta’al Shu’aidi mengatakan, “Sikap adil adalah dasar yang meliputi, yang dirasakan kebahagiaannya oleh orang-orang di dalam Islam dan juga oleh orang-orang di luarnya.”

Beberapa pandangan ulama ini jelas merupakan “hujjah aqliyyah” (pendapat nalar). Alias tafsir. Jika ditambahkan lebih luas, niscaya akan lebih panjang pula argumen masing-masing. Baik yang pro khilafah maupun kontra. Ali bin Abd al-Razik, misal, dalam karyanya al-Islam wa Ushul al-Hukm (1925), menegaskan bahwa Islam tidak memiliki komponen politik; Nabi Muhammad adalah murni seorang pemimpin agama dan spiritual, bukan pemimpin politik. Otoritas Nabi tidak dapat dilanutkan setelah beliau wafat. Oleh karena itu, berdirinya “khalifah” sejak Abu Bakar adalah bentuk kepemimpinan dan otoritas yang spesifik dan murni bersifat politik. Itulah sebabnya masyarakat Muslim sepenuhnya bebas mengorganisasi pemerintahan yang sesuai dan cocok dengan situasi mereka.

Oh ya, mari kita lihat sejarah mekanisme pengangkatan Khulafa’ur Rasyidin yang melanjutkan kepemimpinan Nabi Muhammad sebagai pemimpin masyarakat waktu di Madinah. Abu Bakar diangkat melalui perwakilan (lazim disebut ahlul halli wal aqdi) lima tokoh dari unsur utama masyarakat; Umar bin Khattab diangkat melalui penunjukan oleh pendahulunya; Ustman bin Affan diangkat melalui pemilihan dalam suatu pertemuan terbuka oleh “dewan formatur” yang terdiri dari enam orang yang ditunjuk oleh pendahulunya; dan Ali bin Abi Thalib diangkat melalui pemilihan dan pertemuan terbuka, namun dalam suasana kacau, sehingga pengangkatan Ali ditolak oleh sebagian masyarakat, termasuk Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Suria, yang kemudian mendirikan Dinasti Umayah.

Sepeninggal Ali bin Abi Thalib, setelah sejenak diselingi kepemimpinan Hasan bin Ali, berdirilah Dinasti Umayah, yang tak sepi intrik politik, termasuk sejarah kelam terbunuhnya Husain bin Ali di Karballa. Sejak masa inilah, muncul sebutan khalifatullah (membuat seolah para raja monarki merupakan wakil Allah di muka bumi), dan seluruh pemimpin dalam Umayyah diwariskan secara turun-temurun. Tradisi ini terus berlanjut di tangan Dinasti Abbasiyah di Baghdad hingga Ustmaniyah di Turki.

Sampai di sini, mari stabilo dulu fakta-fakta berikut dengan warna menyala, bahwa:

Pertama, secara dogmatis (naqli), tidak ada satu pun ayat dan hadits yang menunjukkan bentuk legal-formal sistem khilafah. Yang ada hanyalah ruhnya, spiritnya, legal-ethic-nya, yakni “adil”. Al-Qur’an dan hadits hanya meletakkan wajah politik Islam secara substantif, seperti keadilan (‘adalah), persamaan (musawah), syuraa (musyawarah), tolong-menolong (ta’awun), dan persaudaraan (ukhuwah). Ketiadaan pengaturan secara baku bentuk legal-formal khilafah itu dengan sendirinya mengisyaratkan bahwa ia bebas diformulasikan dalam sistem apa pun sepanjang memenuhi prinsip-prinsip dasarnya itu. Posisi hukum khilafah dengan sendirinya tidak termasuk ke dalam kategori ibadah-ibadah mahdhah yang ditetapkan secara baku, jelas, dan permanen.

Kedua, sejarah panjang kepemimpinan Islam juga tidak mengenal formulasi yang baku. “Pembakuan” mekanisme berdasar keturunan yang dimulai oleh Mu’awiyah bin Abu Sufyan di era monarki Dinasti Umayah jelas tak ada landasan dogmatisnya dalam al-Qur’an dan hadits. Ia, monarki, karenanya menjadi boleh saja diambil, sepanjang mampu mengejawantahkan prinsip-prinsip dasar politik Islam. Kita kenal sosok Umar bin Abdul Azis sebagai salah satu pemimpin Dinasti Umayah yang sangat adil, sampai-sampai sering disebut sebagai “khalifah kelima” pasca Khulafa’ur Rasyidin. Sebaliknya, mekanisme tidak berdasar keturunan juga boleh ditempuh, misal pemilu ala demokrasi, sepanjang sukses menjalankan prinsip-prinsip pokok itu.

Lalu, peta politik dunia pun berubah seiring dengan jatuhnya Dinasti Ustmani, dan terbentuklah negara-bangsa (nation-state) di berbagai belahan dunia; negara-bangsa yang merdeka, berdaulat, dan memutuskan sendiri-sendiri bentuk pemerintahannya. Ada yang memilih sistem monarki macam Arab Saudi dan beberapa negara teluk; ada yang memilih sistem demokrasi seperti Indonesia.

Apa pun pilihannya, minumannya tetaplah sama: mampu menjalankan prinsip-prinsip utama politik Islam yang disuratkan al-Qur’an dan hadits Nabi. Ini dalam sudut pandang kaum muslim.

Formulasi nation-state dalam perpolitikan dunia bisa dinyatakan bagai kuburan bagi idealisme khilafah. Indonesia sebagai sebuah nation-state, misal, saat memilih sistem politik demokrasi Pancasila, itu tidaklah mungkin diubah lagi dengan alasan apa pun, termasuk khilafah. Demikian pula seluruh nation-state lainnya. Kecuali dengan kudeta, tentu.

Pertanyaannya, apa iya mau mengkudeta pemerintahan yang sah, yang layak disebut Ulil Amri (dalam bahasa qath’i al-Qur’an), demi menegakkan Khilafah Islamiyah yang di al-Qur’an bersifat dzanni? Bukankah kudeta adalah aksi bughat, yang dilarang oleh Rasul?

Ini kan ya jelas sikap politik yang aeng-aeng. Kudeta, dengan alasan apa pun, jelas menumbalkan nyawa manusia. Meminta darah, Bung, bukan cokelat. Akan bejibun kesengsaraan dan kerusakan yang ditimbulkan oleh kudeta. Sejak melintas di alam pikiran, demi melihat mudaratnya yang warbiyasa, kudeta sangat pantas difatwa haram!

Apa ente pengin Indonesia jadi Irak dan Suriah berikutnya, atas nama penafsiran Khilafah Islamiyah yang tentu akan selalu debatable?

Sesuatu yang debatable ranahnya adalah ikhtilaf. Secara epistemologis, ia normal belaka berbeda lantaran watak dalilnya yang dzanni, bukan qath’i. Sampai kiamat. Jika hal-hal yang ikhtilaf saja “dibenarkan” oleh Gusti Allah, dengan adanya ayat-ayat dzanniyah itu, lalu mengapa kita hendak melakukan kudeta pada Ulil Amri yang sah; atas hal yang dzanny lagi!

Inilah panorama normatif, historis, dan analitik saya untuk tidak berubah pendirian dalam hal tidak perlunya menegakkan Negara Islam di Indonesia. Bahkan sekalipun Khilafah Islamiyah itu dianggap sistem politik terbaik sekalipun, tetap saja situasi nation-state yang ada tidak memungkinkan untuk diubah menjadi Negara Islam tanpa jalan kudeta. “Menghindarkan keburukan jauh lebih utama dibanding memperjuangkan kebaikan,” begitu salah satu kaidah Ushul Fiqh yang amat berharga untuk selalu kita genggam. “Memelihara keharmonisan Indonesia jauh lebih utama dibanding melakukan kudeta demi menegakkan Khilafah Islamiyah,” begitu analoginya.

Kalau begitu, dipilihnya sistem demokrasi, bukan sistem khilafah, di Indonesia merupakan dosa para founding father?

Eits, tunggu, Bung. Jangan pernah berprasangka bahwa para muslim founding father adalah orang-orang yang tidak cinta Islam lahir batin lho, ya. Anda harus ingat sosok M. Natsir yang terlibat debat panjang lebar dengan Soekarno terkait Indonesia berdasar syariat Islam atau tidak. Lalu ingat pula sejarah penghapusan 7 kata dari Piagam Jakarta (“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”) di detik-detik akhir Proklamasi oleh lima anggota PPKI (Moh. Hatta, K.H. Wachid Hasyim, Ki Bagus Hadikusuma, Kasman Singodimejo, dan Teuku M. Hasan), demi mengakomodir aspirasi elemen-elemen Indonesia Timur demi tegaknya NKRI.

Wes, jelas, to?

Sebagai tombo ati, Anda perlu sekali untuk melongok sejarah dihapuskannya 7 kata dari Perjanjian Hidaibiyah. Iya, sama 7 katanya dengan Piagam Jakarta!

Anda pasti tahu, Perjanjian Hudaibiyah terjadi antara Nabi Muhammad dan kaum Quraisy Mekkah. Tepatnya, bulan Maret 628 M. Dalam negosisasi itu, Suhail bin Amr (wakil Quraisy) meminta dihapuskan 7 kata. Nabi memenuhi keinginan Suhail dan menghapuskan 7 kata dari perjanjian itu, yakni “bi, ismi, Allah, ar-rahman, ar-rahim, rasul, dan Allah”, kendati Umar bin Khattab tidak menyetujuinya.

Usai gentleman agreement yang ditulis Ali bin Abi Thalib itu, Rasulullah menjelaskan kepada para sahabat bahwa sikap komprominya dengan wakil Quraisy itu dimaksudkan untuk meraih hal yang lebih besar: (1) Diakuinya keberadaan kaum muslimin Madinah oleh kaum Quraisy Mekkah, dan (2) Menjaga umat Islam yang hendak berhaji dari gangguan kaum Quraisy.

Umar bin Khattab lalu menerima dengan lega tujuan besar Rasul dengan kompromi politik itu. Begitu pun yang dipilih sebagai sikap politik oleh para founding father kita dari kaum muslimin masa itu; demi tegaknya NKRI.

Oh ya, baik. Jika Anda masih hendak melibatkan literatur fiqh siyasah berupa kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah karangan Abu Hasan Ali al-Mawardi yang sangat getol dikutip oleh para pejuang khilafah kekinian, yang menuliskan bahwa khilafah adalah kepemimpinan politik yang berperan menggantikan Nabi; sistem politik yang dirancang oleh Allah demi menjaga pondasi agama (qawa’id al-millah) dan kemaslahatan umat (mashalih al-ummah); pahamilah dengan segera bahwa kitab tersebut adalah “kitab pesanan” kekuasaan. Al-Mawardi hidup di era Abbasiyah, berposisi sebagai ulama penasihat Khalifah Al-Qadir Billah, raja yang berkuasa saat itu. Logis bila kitab ini mencetak legitimasi dogmatis kepada kekhalifahan Dinasti Abbasiyah untuk mengail ketaatan rakyat. Logis bila sebuah buku pesanan akan disesuaikan dengan keinginan politik bosnya.

Tak lama kemudian, muncul kritik dari Imam al-Juwayni, guru Imam Ghazali, yang bergelar Imam Haramain. Al-Juwayni mengkritik Al-Mawardi sembari menekankan prinsip kifayah (kapasitas) sebagai ukuran kualitas seorang pemimpin, sehingga siapa pun pemimpinnya asalkan mampu “memelihara agama dan mengatur dunia” (hiratsah al-din wa siyasah al-dunya), maka ia sudah Islami. Itulah pesan moral dari ayat-ayat politik itu; bukan tentang sistem politik teokrasi.

Sebuah riwayat dari Gus Stakof menuturkan, Syaikh Maimoen bin Zubair yang sudah sangat sepuh sehingga ke mana-mana hanya bisa duduk di atas kursi rodanya, setiap lagu Indonesia Raya dinyanyikan sontak selalu memaksa diri untuk berdiri, demi menghormati lagu nasionalisme itu. Mbah Abdul Malik bin Ilyas, guru Habib Luthfi bin Yahya Balawy, setiap pukul 10 pagi pada tanggal 17 Agustus selalu berjuang untuk berdiri khidmat, dalam keadaan apa pun, bahkan di pinggir jalan jika sedang di perjalanan, demi menghormati detik-detik pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 silam.

Mereka-mereka adalah alim ulama yang telah teruji keluasan ilmu dan kecintaannya pada Islam. Mereka-mereka menerima dengan gentle (tawadhu’) sistem politik demokrasi Pancasila yang disepakati oleh para founding father, beserta seluruh atribut kebangsaannya, dari lagu, bendera, hingga sejarahnya.

Lha masak iya “kita-kita” yang baru lahir tiga Jum’at maren, kenal Islam baru Jum’at maren, kok sanggup hati benar menebar-nebar “al-fatawa al-twiteriyah” yang riskan menjadi “racun nasionalisme” di kepala anak-anak muda medsos yang mayoritas mu’tabar fi awamihim dengan ideologisasi khilafah padahal “kita-kita” ini tahu betul itu secara fiqh sangat ikhtilafiyah dan secara politis dekat pada virus-virus subversif dan secara sosial-historis tidak relevan dengan khazanah bangsa ini.

Merdeka!

Edi AH Iyubenu

Comments

  1. Mohammad Faizi Reply

    Khas Akhiles, ngece-ngece tipis, nendang-nendang banyak :p

  2. Nunu Nugraha Reply

    mencerahkan, Pak! 🙂

  3. uamirdejavu Reply

    sebagai jomblo….saya tercerahkan om

  4. Lian W Reply

    Ngena sekali, Pak. Coba dishare aja d medsos jgn lupa tag yg bersangkutan biar kayk yg kekinian, surat terbuka utk ust felix dan komplotannya. Kampus sy pun sudah banyk komplotannya, Pak. Jadi miris liat temen2 skrg hobi ngeritik, demo, sama provokatorin org. Hufff

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!