Allah Ta’ala menyediakan diri untuk dibaca oleh yang “lain” sejak pertama kali memunculkan cahaya Nabi Muhammad Saw. yang juga dikenal dengan sebutan al-haqiqah al-muhammadiyyah. Cahaya primordial semesta itulah yang pertama kali menyaksikan dan membaca hadiratNya. Dengan batas kemampuannya, tentu. Bukan apa-apa atau siapa pun yang lain. Karena apa yang disebut sebagai yang lain hanyalah merupakan jibunan partikularitas yang semu baginya.
Akan tetapi ketika cahaya primordial itu mengalami derivasi dengan memunculkan keanekaragaman yang hingga kini senantiasa memproduksi diri dan tidak bisa dijangkau secara detail dengan kecanggihan statistik yang paling mumpuni sekalipun, ternyata kemampuan membaca dan merasakan Allah Ta’ala itu mengalami penurunan ontologis secara drastis. Dari semua keanekaragaman itu, tak ada satu pun kemampuan yang bisa mengimbangi potensi cahaya primordial itu dalam memandang dan merasakan hadiratNya. Tidak juga para nabi yang lain, tidak juga para wali.
Sangat rasional bahwa partikularitas itu tidak mungkin bisa sepenuhnya sanggup merengkuh universalitas, tidak mungkin suatu bagian sanggup meliputi keseluruhan. Yang meringkuk di bawah hanyalah bisa mengenal sedikit yang di atasnya, sesuai dengan kapasitas dan keterbatasannya. Karena itu, dengan cara apa pun tidak boleh dan tidak mungkin bisa dipaksakan untuk betul-betul mengalami dan memahami segala sesuatu yang telah diselami oleh tingkatan yang di atasnya. Dalam hal apa pun.
Dituturkan dalam kitab Nafahat al-Uns min Hadharat al-Quds karya Mulla ‘Abdurrahman al-Jami bahwa ada seorang waliyullah terbang di angkasa. Seseorang yang ada di bawah mendongakkan kepalanya sambil berteriak, “Aku kenal engkau.” Yang sedang terbang itu lantas menimpali, “Tidak, engkau tidak mengenal aku.” Yang dimaksud oleh orang yang di bawah itu adalah bahwa dia memang mengenal tetangganya yang sedang terbang itu. Sementara yang dimaksud oleh orang yang sedang terbang itu adalah bahwa tetangganya yang ada di bawah itu tidak mengenal kedudukan rohani yang diarunginya.
Semua tingkatan wujud yang merupakan derivasi dari cahaya primordial itu secara substansial tetaplah merupakan satu kesatuan yang utuh. Aneka perbedaan itu muncul dari suatu paradigma yang “keliru” bahwa berbagai tahapan itu dipandang sebagai beragam partikularitas yang mandiri dan memiliki otonomi masing-masing. Tidak disadari secara hakiki bahwa semua itu sesungguhnya tunggal adanya. Berbagai rupa, warna, dan bentuk hanyalah merupakan spektrum kefanaan yang sangat picisan. Dan karena itu, jangan sampai dimasukkan ke dalam hati sebagai suatu keyakinan.
Berbagai tingkatan itu berasal-usul dari tingkatan tertinggi yang tidak akan sepenuhnya terjangkau oleh seluruh tingkatan yang ada di bawahnya. Itulah tingkatan kemutlakan Tuhan. Tidak ada asal-usul yang lain bagi seluruh partikel di semesta raya ini selain hadiratNya. Pemahaman seperti ini bisa melahirkan implikasi spiritual yang tangguh dan sedemikian cemerlang bagi siapa pun yang sanggup menjangkaunya. Yaitu kesanggupan membaca dan merasakan nuansa hadiratNya pada segala sesuatu.
Sampai pada tahapan ini, siapa pun harus hati-hati. Jangan sampai membaca nuansa Allah Ta’ala pada segala sesuatu dengan hanya mengandalkan perspektif hawa nafsunya sendiri. Yaitu dengan menarik kemahaanNya yang absolut pada “ruang lingkup” keterbatasan yang sungguh sangat tidak pantas dan sama sekali tidak korelatif dengan hadiratNya. Membaca nuansa yang teramat sakral itu mesti dengan perspektif kemahasucian yang senantiasa disandang Allah Ta’ala. Dalam adagium Abu Bakar Ash-Shiddiq, “رأيت ربي بعين ربي/ Aku melihat Tuhanku dengan mata Tuhanku.”
Karena itu, dalam membaca nuansa keilahian dan menemukan relasi spiritual dengan hadiratNya lewat segala sesuatu, kita tidak boleh tidak mesti berada pada posisi tetap yakin terhadap kemahasucianNya yang sama sekali tidak tersentuh oleh keterbatasan tahapan-tahapan ontologis berbagai partikel itu. Dengan demikian, selain menemukan dan merasakan nuansa hadiratNya pada segala sesuatu, kita juga akan menyaksikan dan merasakan secara hakiki adanya wujud yang tunggal. Betul-betul tunggal. Yaitu wujud Allah Ta’ala semata. Tidak ada wujud yang lain.
Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Qasim al-Muqri - 11 October 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah Al-Muqri - 4 October 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah al-Maula - 27 September 2024