Mereka Berburu Lalat

Mereka Berburu Lalat - Cerpen BASABASI.CO oleh Yetti A.KA
Sumber gambar: fineartamerica

Seekor lalat terbang menembus kaca jendela pada pukul dua belas siang dan menyebabkan kegemparan kecil di kepala Satire. Almiza, istrinya, satu jam lalu pamit untuk menjemput sampah kertas di kantor teman lamanya. Satire tidak tahu harus melakukan apa atas lalat yang kini menempel di bingkai foto pernikahan yang terpajang di atas bufet. Andai saja Almiza ada di rumah, sesalnya. Perempuan yang makin hari pipinya tambah bulat itu selalu tahu cara menyelesaikan sebuah masalah atau, paling tidak, Almiza memiliki kalimat-kalimat yang bisa membuat Satire percaya kalau tak ada hal buruk di dunia ini yang tak bisa ia hadapi.

Hanya seekor lalat, apa yang gawat? komentar Almiza sewot lewat sambungan ponsel dan tidak memberi kesempatan kepada Satire untuk menjelaskan bahwa ini-bukan-sekadar-tentang-seekor-lalat. Mungkin saja Almiza tengah sangat sibuk mengurus sampah kertas bersama pekerja yang dibawanya atau mungkin ia sedang berbicara dengan temannya yang kemarin malam menelepon sambil menangis cukup lama dan membuat Almiza terlihat sangat tegang dan menyebut-nyebut tentang pernikahan yang buruk, perasaan yang berubah, dan bertanya, apa kita bahagia, Satire, seolah ia baru tersadar dengan kehidupannya sendiri.

Berapa lama mereka tidak saling bertanya tentang perasaan bahagia?

Apa kau bahagia hidup bersamaku, Al?

Seharusnya, ya.

Kenapa seharusnya?

Karena dulu aku yang mengejar-ngejarmu.

Satire mendesah. Sekali lagi ia pandangi seekor lalat yang kini bergerak mengelilingi bingkai foto pernikahan seakan-akan binatang itu tengah memerangi rasa bosan. Sekali lagi ia pandangi kaca jendela yang bersih dan bersahaja. Tak ada lubang di sana. Jika Almiza pulang nanti, bisa jadi perempuan itu menuduhnya mengada-ada dan berpikir kalau seekor lalat itu pasti saja masuk lewat kertas penutup ventilasi yang robek atau menyelinap ketika pintu dibuka dan menganggap itu bisa terjadi akibat kecerobohan belaka, lalu tak lama mereka akan berdebat tanpa ujung dan tidak tahu cara berhenti karena mereka tak lagi memiliki hati yang lembut merah muda.

***

Begitu pulang, Almiza mengempaskan pantatnya di sofa tua yang mereka beli di loakan bersama bufet dan tempat tidur dari besi yang tidak jebol meski mereka melompat-lompat di atasnya dan sama sekali tidak ingat kepada seekor lalat. Pantatnya melesak hingga ke dalam dan membuatnya tak bisa bergerak dan ia memejamkan matanya rapat dalam ekspresi pasrah. Ia memaksa pikirannya berhenti beriak; berhenti memikirkan berkarung-karung kertas yang ia pungut dari berbagai tempat—kebanyakan ia ambil dari tempat kerja teman-temannya—dan harus segera dihancurkan di dalam mesin dan dijual untuk membayar beberapa orang tenaga buruh lepas yang bertingkah tidak sabaran dan tadi menemuinya di gudang. Ia tidak takut pada gertakan apa pun, tapi ia tahu selama ini orang-orang itu telah membantunya bertahan di tengah persaingan sengit dunia usaha pengumpul sampah kertas yang ia warisi dari orang tuanya.

Satire berdiri di depan Almiza bagai anak kecil yang salah tingkah, “Lalat itu terbang menembus kaca, Al,” katanya mencoba menarik ingatan Almiza kepada seekor lalat yang ia ceritakan siang tadi.

“Lalat?” tanya Almiza—dan sebelum Satire menjawab ia segera ingat tentang si lalat. Makhluk itu bisa ditemukan di mana-mana. Dunia ini rasanya dipenuhi oleh lalat, lalu apa masalahnya? pikirnya kesal.

“Aku sudah memeriksa kacanya, Al. Sama sekali tidak berlubang, padahal tadi aku yakin ia menembus kaca itu.”

“Kalau kau terus begini, kita berdua akan gila,” timpal Almiza tanpa membuka matanya. Ia sedang merasa lelah sekali. Berada di mana pun, bagi Almiza, membuatnya tidak benar-benar merasa lega. Seluruh hidupnya seperti gumpalan masalah. Bukan. Ia bukan tengah menyesali Satire yang nyaris sebulan ini hanya berada di rumah dan meninggalkan pekerjaannya sebagai pembuat sepatu di sebuah pabrik di pinggiran kota. Ia memang tidak suka Satire berada di sana; Satire yang mengguntingi kulit sintetis maupun kulit kayu atau kulit binatang sungguhan, lalu menjahit sesuai pola kaki yang telah digambar di atas kertas; Satire yang terkantuk-kantuk di ruang kerjanya yang sempit dan bau apak bersama puluhan pekerja lain di waktu sore. Ia bagai makhluk yang berada di tempat salah—dan memang itulah yang terjadi. “Ini soal panggilan hati, Al,” Satire beralasan. “Perjuangan tidak akan tuntas hanya dari atas panggung.” Hari-hari selanjutnya, Almiza sering cemas dengan kegiatan Satire memantik bunga api dalam dada tipis para pekerja. Jangan ganggu mereka, kata Almiza satu kali. Apa kau pernah tahu berapa mulut yang sedang menunggu mereka di pintu rumah? Satire malah bersikeras kalau yang ia lakukan justru demi mulut-mulut dengan bau sisa makanan berhari-hari lalu dan lidah yang kering, itu. Untunglah, tak lama setelah itu, Satire dipecat karena pemilik pabrik memergokinya membagi-bagikan pamflet ajakan mogok kerja.

“Kamu memang tak harus di sana,” kata Almiza sambil melipat baju kerja Satire yang berdaki, memasukkannya ke dalam kantong, dan menunggu waktu tepat untuk membuangnya—paling tidak setelah perasaan Satire tenang. “Kalau kau mau, kau bisa bekerja di gudang kertas atau kembali ke panggung.”

“Aku tidak bisa bekerja denganmu, Al. Kita pasti bertengkar setiap waktu. Di tempat kerja dan di rumah.”

“Kalau begitu hidupmu memang di atas panggung. Kembalilah ke duniamu.”

“Aku tidak ingin kembali ke sana. Aku tidak ingin menyanyi lagi.”

Bibir Almiza cemberut. Ia ingat waktu mengejar-ngejar Satire dari panggung ke panggung sampai lelaki itu mengenalinya, lantas bertanya, “Apa yang kau inginkan?” “Kamu,” kata Almiza waktu itu. Lalu ke mana pun Satire pergi, Almiza ada bersamanya.

“Sekarang bagaimana? Apa yang ingin kau lakukan?” tanya Almiza.

Satire tidak pernah menjawab pertanyaan itu. Ia lebih memilih seharian berdiri memandangi lubang sumur tua di samping rumah mereka dan Almiza tidak mau mengambil risiko meninggalkannya sendirian dan ikut-ikutan berdiri bersama Satire bagai dua orang yang kehilangan akal sehat.

“Aku tidak kecewa karena dipecat, Al.”

“Aku tahu.”

“Aku cuma ingin mereka melakukan satu hal kecil: berjuang, Al, berjuang untuk diri mereka sendiri.”

“Bagi mereka itu terlalu besar.”

Mata Satire berkabut, bukan putih, melainkan abu-abu pekat. Ia pun berhenti membicarakan tentang para pekerja itu dan mulai mengurung diri di rumah. Sepanjang pagi, ia berada di meja makan, memandangi piring-piring, gelas, sendok. Siang, ia pergi ke ruang tamu, memandangi gang kecil dan udara warna debu dalam diam yang membuat orang tidak tahan berlama-lama di dekatnya. Lalu datanglah seekor lalat yang, menurut Satire, terbang menembus kaca, dan membuatnya segera memberi tahu Almiza. Namun, saat itu terjadi, Almiza justru berpikir Satire semakin gila dan membuat kepalanya terus berdenyut karena memikirkan persoalan-persoalan yang tentunya lebih besar dari seekor lalat.

“Apa yang harus kita lakukan terhadap lalat itu, Al?”

“Tidak bisakah kau berhenti bicara?” Almiza belum membuka matanya. Satire termangu mendengar kalimat perempuan yang, ternyata, ini baru disadarinya, bukan lagi seseorang yang menunggu suaranya dengan tangan ditempelkan di dagu setiap kali ia berada di panggung dan melantunkan puisi-puisi gelap. Perempuan yang bilang: Aku akan mencintai suaramu sampai mati, Satire! Jika semua orang meninggalkanmu, aku satu-satunya yang akan bertahan!

“Kau membenciku, Al?”

“Aku lelah.”

“Lelah hidup bersamaku?”

“Lelah melihat kamu makin gila.”

Satire meninggalkan Almiza. Ia ingat seekor lalat yang barangkali masih berputar-putar mengelilingi bingkai foto pernikahan. Benar saja, lalat itu masih di sana. Kecil dan hitam. Satire akhirnya tahu kalau hanya ia sendiri yang akan mengurus binatang itu—tanpa Almiza—bahkan untuk sekadar membincangkannya. Ia harus segera menyingkirkannya dari dalam rumah maupun dalam pikirannya. Mereka tidak bisa hidup bersama seekor lalat. Maka tangan Satire bergerak pelan, hendak menepuk lalat itu. Namun, seketika, lalat itu terbang dan menempel di kaca jendela. Satire terpukau. Lalat itu tidak lagi sendirian. Di luar, ada ratusan lalat yang menempel di kaca jendela rumahnya dan dalam sekedipan mata lalat-lalat itu terbang kemudian masuk menembus kaca tanpa meninggalkan bekas apa-apa. Satire mundur, menahan tubuhnya yang gemetar. Ia segera lari ke belakang dan melintasi ruang tengah di mana Almiza baru saja membuka mata. Satire kembali ke ruang depan membawa sebatang sapu. “Serombongan lalat menyerbu rumah kita, Al” katanya tanpa melihat kepada Almiza. Susah payah Almiza melepaskan pantatnya dalam perangkap sofa tua. Begitu lepas, ia ikut lari ke depan. Lantai, dinding, kursi dan meja tamu, bufet, foto pernikahan, dihinggapi lalat yang mirip serakan biji semangka.

“Ambil sapu lidi, Al!” teriak Satire.

“Lalat ini datang dari mana?” tanya Almiza baru tersadar kalau sesuatu yang besar telah terjadi dalam rumahnya, lalu buru-buru lari ke belakang dan kembali membawa seikat besar sapu lidi.

Satire menghalau lalat-lalat itu. Almiza memukuli lantai dan dinding. Banyak lalat yang mati, banyak pula yang berhasil keluar, terbang kembali menembus kaca, hingga menyisakan puluhan lalat saja di dalam rumah.

Satire dan Almiza memburu lalat-lalat yang masih tersisa. Sesekali terdengar mereka memukulkan sapu ke lantai atau ke meja. Sesekali mulai terdengar mereka tertawa—sudah lama sekali mereka tak melakukannya. Satire memandang Almiza. Almiza memandang Satire. Mereka lagi-lagi tertawa—lebih panjang dan lepas. Lalu mereka saling diam dan menunggu lalat hinggap dan mereka siap memukulnya untuk kemudian tertawa lagi.

“Pukul, Al! Itu untukmu,” teriak Satire ketika seekor lalat hinggap di bingkai foto pernikahan, tepat di depan mata Almiza.

“Jadi lalat itu benar-benar terbang menembus kaca?”

“Seperti yang kubilang, Al. Tanpa meninggalkan bekas.”

“Sungguh aneh.”

“Ya, Al.”

“Apa kita akan gila?”

“Tidak, Al. Kita bahagia.”

Plak! Sapu lidi Almiza telah membuat bingkai foto pernikahan bergetar—dan jatuh bersama seekor lalat yang tetap menempel di sana. Satire dan Almiza serempak tertawa. (*)

GP, 2016

Yetti A.KA
Latest posts by Yetti A.KA (see all)

Comments

  1. Seir Haidah Hasibuan Reply

    Kisah yang menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!