Salah satu akar yang diduga menciptakan viralnya gejala gesekan keberagamaan kita yakni kecemasan “berlebihan” pada iman orang lain.
Sebuah gejala psiko-sosial yang penuh risiko akibat menguatnya hasrat identitas komunal—juga krisis identitas. Termasuk dalam agama.
Cemas ini, apabila disederhanakan, bisa jadi memiliki dua tanda panah.
Satu, ke dalam. Dua, ke luar. Cemas ke dalam, dapat diartikan kecemasannya sebenarnya pada dirinya sendiri. Cemas ke luar, sebaliknya, kecemasan ini atas nama kasih sayang pada orang di luar dirinya, juga kelompoknya.
Kita lihat yang pertama. Cemas ke dalam dirinya sendiri dapat diambil contoh dari khawatirnya dia bahwa jumlah orang yang seiman dengan dirinya akan menurun. Menurunnya jumlah mengakibatkan menurunnya kekuatan. Menurunnya kekuatan berarti menurunnya daya bangga dirinya akan golongan yang seiman dengannya, juga daya juang terhadap sesuatu yang sedang dituju.
Apabila diurai, secara sederhana, cemas ke dalam ini berpusat pada hasrat diri, pada “aku” dan “kelompokku”.
Mereka yang dilingkupi kecemasan demikian akan melakukan beberapa tindakan. Misalnya mereka gencar berusaha “meng-imankan” orang lain sesuai dengan imannya. Untuk memperkuat jumlah. Dan yang berbahaya adalah apabila sebenarnya usaha ini tidak lebih dari untuk memperoleh “surga”. Yakni, dengan jalan mengimankan orang lain melalui beragam cara. Artinya bahwa tindakan mencemaskan iman orang lain tidak lebih dari usaha untuk menguntungkan dirinya sendiri. Seperti dalam multi level marketing misalnya. Merekrut orang, agar diri untung.
Agama, yang mana iman ada di dalamnya, hadir bukan untuk diperjual-belikan.
Tindakan berikutnya adalah menjelek-jelekkan iman orang lain. Mereka seakan lupa bahwa saat si anak mengejek orang tua anak yang lain, maka dengan serta-merta anak itu akan balas mengejek orang tua si anak. Dengan demikian, saat mereka mengejek iman orang lain, mereka telah melempar bola ejekan untuk iman mereka sendiri. Kalaupun tidak berbalik langsung, paling tidak orang lain akan berkata bahwa betapa buruknya perangai mereka, betapa buruk ajaran agama mereka.
Harus diingat bahwa orang lain mengukur iman dari perbuatan para penganutnya. Berdialog harus, tetapi bukan saling mengejek.
Persoalan ke dalam ini juga mengakibatkan rasa curiga yang terus-menerus pada tindak-tanduk orang lain yang berbeda imannya. Mau menolong tanya iman, mau bisnis tanya iman, mau beri bantuan, mau ini-itu, dan seterusnya. Padahal dalam kehidupan ini sangat sulit, kalau tidak berkata mustahil, untuk tidak bekerjasama dengan orang lain. Gawai yang kita punya dan digunakan untuk membaca tulisan ini, mari diamati diproduksi oleh siapa dan komponenennya dari mana dan siapa yang membawanya sampai ke tangan kita? Itu baru satu di antara miliaran faktor dan komponen kehidupan.
Yang mengkhawatirkan, jangan-jangan kecurigaan ini bermula dari rasa tidak percaya diri terhadap iman yang diyakini, sehingga membutuhkan penguat lain—seakan tidak cukup apa yang sudah ada dalam agama itu sendiri.
Apabila yakin dengan sebenar-benarnya, maka iman akan membuat kita mula-mula merasa aman batinnya dan kemudian berlanjut dirasakan oleh orang lain. Bukankah disebut tidak beriman orang yang tetangganya tidak aman dari kata-kata dan perbuatannya? Jika tidak demikian adanya, bisa jadi ada yang keliru.
Ibaratnya, bisa jadi, seperti ini.
Ada dua orang yang akan pergi ke sebuah Kota Kebahagiaan. Ia harus menempuh sebuah jalan.
Di jalan itu, terdapat tanda atau petunjuk untuk menuju ke Kota Kebahagiaan. Kedua orang itu berdiri memperhatikan petunjuk. Orang pertama mengamati petunjuk itu terus-menerus sedetail-detailnya. Ia bahkan mengejek mereka yang melihat petunjuk itu dari samping atau dari sudut yang berbeda dengannya, meski satu tujuan. Ia terus memuja-muji petunjuk itu dan mengajak orang lain yang lewat untuk melakukan hal yang sama, sampai sama-sama lupa untuk menuju tujuan yang sebenarnya. Mereka bahkan rela bertengkar memperdebatkan detail-detail petunjuk dari wadahnya, jenis hurufnya, sampai terkait tiang dan cat petunjuk itu.
Sementara, orang kedua sebaliknya, setelah paham petunjuk itu, dia bergegas menuju; bertindak untuk sampai.
Analogi ringkas di atas dapat digunakan untuk memahami bahwa agama pada dasarnya adalah petunjuk. Tujuannya kebahagiaan dunia dan akhirat. Di dunia, yakni mencapai kebagusan akhlak, baik terhadap sesama, maupun Tuhan, di akhirat meraih kasih sayang-Nya.
Ini yang kedua. Mereka yang “mencemaskan” iman orang lain, karena kasih sayang.
Ada banyak varian. Salah satunya, di dalam satu iman, seperti misalnya cemasnya seorang guru silat terhadap murid barunya.
Orang yang baru belajar silat, kebanyakan, akan mengajak kelahi semua orang. Terlebih, yang dianggapnya bodoh. Begitu juga orang yang baru belajar teori, semua teori dikeluarkan untuk menyerang orang lain, semacam arogansi. Berbeda dengan pesilat yang sudah matang. Mereka mengerti tempat dan waktu dan lebih dari itu menggunakannya untuk melindungi orang lain dengan kerendahan hati dan kesadaran bahwa semua bukanlah miliknya. Demikian juga mestinya agama dengan iman di dalamnya.
Yang berikutnya adalah kecemasan bahwa orang lain salah menuju Kota Kebahagiaan, sebagaimana analogi di atas.
Caranya bukan dengan mengolok-olok dan merendahkan manusia lain. Namun, tunjukkan bahwa dirimu dan kelompokkmu sudah, sedikit banyak, mencapai tujuan itu dengan akhlak yang baik, berseri-serinya wajah, lembutnya tutur kata, sederhananya sikap, jauh dari prasangka buruk, bukankah demikian yang diajarkan?
Orang tidak mau diajak berlibur, misalnya, dengan caci-maki. Mereka mau tahu apa yang sudah dan akan didapatkan dalam liburan itu.
Apabila semua agama yang ada di Indonesia berlomba-lomba berbuat dan bersikap baik, tentu gesekan-gesekan, kecil kemungkinan terjadi. Terlebih, menjelang tahun politik yang sering kali menggunakan segala macam cara demi kekuasaan.
Termasuk memanfaatkan kondisi krisis identitas keberagamaan, di terus tercipta (atau sedang diciptakan) bimbang antara bentuk—juga formalisme tanda—dan isi ajaran. Bentuk yang berasal dari luar Indonesia dan isi yang untuk semesta alam.
Padahal, dari dahulu sudah dirembuk apa yang disebut “tri kerukunan umat beragama”, yakni kerukunan inter-umat beragama, antar-umat bergama, dan umat beragama dengan pemerintah.
Bahkan, yang terbaru, dalam Musyarawarah Besar Pemuka Agama untuk Kerukunan Bangsa, di Bogor, 2018, disebutkan enam hal pokok.
Yakni: (1) setiap pemeluk agama memandang pemeluk agama lain sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan dan saudara sebangsa, (2) memperlakukan pemeluk agama lain dengan niat dan sikap baik, empati, penuh kasih sayang, dan sikap saling menghormati, (3) bersama pemeluk agama lain mengembangkan dialog dan kerja sama kemanusiaan untuk kemajuan bangsa, (4) tidak memandang agama orang lain dari sudut pandangnya sendiri dan tidak mencampuri urusan internal agama lain, (5) menerima dan menghormati persamaan dan perbedaan masing-masing agama dan tidak mencampuri wilayah doktrin/akidah/keyakinan dan praktik peribadatan agama lain, dan (6) berkomitmen bahwa kerukunan antar-umat beragama tidak menghalangi penyiaran agama, dan penyiaran agama tidak menggangu kerukunan antar-umat beragama.
Itulah kiranya saat ditanya mengapa menulis cerita “Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-pohon?”, 2016, saya duga karena ada hal menarik: pohon-pohon yang berbeda dapat tumbuh berdampingan dengan damai.
Mereka, pohon-pohon itu, masing-masing fokus berbuah sebaik-baiknya. Ajaibnya, buahnya bukan untuk diri mereka sendiri. Tidak ada pohon yang menahan buahnya saat diambil kelelawar atau dipetik anak manis. Tidak ada pohon rambutan ribut menghakimi dan mengejek bentuk buah pohon mangga yang lonjong misalnya. Mengapa manusia yang lebih berakal tidak bisa sedemikian.
Atau karena akalnya telah menjadi potret diri dan ditancapkan ke pohon-pohon di tepi jalan dengan paku yang ngilu?
- Sastra di Antara Fiksi dan Fakta Virus Corona - 15 April 2020
- Pemburu - 21 February 2020
- Bisikan Menulis Novel dari Peraih Nobel - 20 April 2019