Aku boleh saja membuka cerita ini dengan adegan seorang bujang tanggung yang tiba-tiba menggeragap bangun dari mimpi paling buruk dalam hidupnya. Tetapi aku tak berhasrat membuat awal cerita yang terkesan filmis. Selain itu, kau tahu, membagikan cerita dengan mencipta jarak antara kita dengan seorang tokoh jauh lebih membuat kita nyaman. Bukankah adegan langsung kadang membuatmu seolah hadir di dalamnya? Kau tahu, kadang itu bukanlah suatu hal yang asyik dan membuat kita kurang leluasa melihat suatu hal dengan sudut pandang dari luar kotak.
Dengan adanya jarak, paling tidak membuat kita—aku sebagai penyampai cerita, dan kau sebagai pembaca—lebih seperti kumpulan makhluk yang sedang menggunjing (meskipun seolah komunikasi terjadi satu arah di sini, tapi pasti ada celetukan dalam hatimu menanggapi celotehanku). Menggunjing, seperti yang diam-diam kita sepakati, adalah kegiatan paling digemari sebagian besar manusia setelah seks, meskipun diamsalkan seperti memamah bangkai saudara sendiri.
Baik, begini; ini kisah seorang bujang tanggung bernama Hadi.
Hendaknya kau buang segala prasangka yang akan menimbulkan gaung pikiran seperti, jangan-jangan Hadi temanku, atau saudaraku. Tidak. Tentu saja bukan Hadi kenalanmu, saudaramu, atau selingkuhanmu, atau selingkuhannya selingkuhanmu. Manusia memang gemar mengidentifikasi seseorang dengan perbendaharaan citraan dalam batok kepalanya. Percayalah, bukan Hadi yang itu. Jika memungkinkan, di akhir kisah akan kusampaikan siapa tokoh kita ini. Jadi, jika kadung terbangun citra Hadi yang lain dalam kepalamu, mohon segera hancurkan seolah kau meneladani Ibrahim yang menghancurkan berhala-berhala Namrud.
Suatu malam, delapan puluh hari setelah kepergian dari pulau asalnya di ujung timur Jawa, Hadi mendapati tidurnya dibikin gaduh oleh sebuah mimpi. Mimpi itu semakin menebalkan sebuah perasaan yang jauh hari menggedor bilik jiwanya.
“Aku tidak betah di sini,” begitu pengakuannya pada Fairuz (teman-temannya menggelincirkan namanyanya jadi Virus), satu-satunya orang yang bersedia menemani kesehariannya di pulau yang kasar itu. Kalimat itu meruap dari bibir tebalnya seusai buang hajatnya yang pertama kali di situ. Sebagai putra asli pulau tersebut, Fairuz sempat merasa tersinggung, sebab Hadi bahkan belum genap seminggu di situ. Tapi akhirnya Fairuz menganggap itu sebagai melankolia rasa rindu pada rumahnya belaka.
Karena mimpi sial itu, Hadi tidak betah berkali-kali lipat lagi.
Mimpi itu mencukupi syarat untuk disebut mengerikan dan mampu menyulut sumbu-sumbu kecemasannya. Hadi sudah pernah memimpikan hantu-hantu komunis yang diceritakan mendiang kakeknya, sepotong tangan yang mengejar-ngejar dan meremas telur puyuh di selangkangannya, atau mimpi tentang pacar yang mengkhianati. Semua itu hanya mimpi yang kemudian pupus seperti asap dupa yang rutin dibakar bapaknya. Seperti halnya bau dupa, ingatan tentang mimpi-mimpi itu hanya lekat sementara waktu.
Lain halnya dengan mimpi yang satu ini.
Dengan pengalaman bawah sadar yang begitu nyata; kelima indranya betul-betul merasakan bagaimana rumah dan seisinya yang ada di pulau asal dilumat api raksasa yang biru. Telinga yang menangkap gemeretak lumatan api dan disusul jeritan nyaring, bola mata yang saksikan tubuh-tubuh penghuni rumah berkelojotan dan berkerubung api, cuping hidung yang betul-betul mencium bau pahit panggang daging, lidah kering dan panas yang melebihi kemarau paling buruk, dan kulitnya yang seolah merasakan langsung bagaimana titik didih tertinggi menjalari.
Ia melihat ibu dan adiknya yang baru genap usia delapan itu mati terpanggang dengan bola mata meleleh. Namun tidak dengan dirinya. Dalam mimpinya, meskipun ia tersiksa, sayangnya tidak sampai mampus. Seolah-olah dirinya sengaja dibuat abadi dalam neraka itu untuk menyaksikan semuanya, hingga ia terbangun dengan mripat sembap oleh air mata yang juga panas.
Aku akan mengajakmu mundur tiga bulan sebelum Hadi memutuskan tinggal di tempat yang baru. Saat itu ia baru saja menamatkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiyah. Meskipun begitu, ia seperti mewarisi darah orang fasik; hampir tidak punya hasrat ambil wudu dan salat, apalagi melangkahkan kaki ke langgar untuk mengaji pada Wak Dzawawi. Ia gemar berkumpul dengan kawan-kawan berandalnya untuk sekadar minum-minum racikan hingga pagi. Tak jarang pula ia bertaruh dengan uang bulanan sekolahnya (beruntung ia selalu menang). Dengan kawan-kawan satu gengnya, ia sering kali memodifikasi knalpot motor untuk membuat pekak pendengaran semua orang sepanjang jalan.
Satu-satunya yang dapat meyakinkan setiap kenalan barunya jika ia pernah mengeruk ilmu di madrasah adalah, ia fasih membaca al-Fatihah. Kau tahu, kebanyakan orang di negeri ini mudah diakali oleh lidah yang lentur, dan selanjutnya dengan murah predikat alim disematkan pada si pemilik lidah.
Fakta lainnya adalah, saat ia naik ke kelas empat SD, bapaknya mengawini seorang perempuan lagi di desa tetangga. Ia baru menyadari bahwa perbuatan bapaknya itu menyalahi keadilan saat ia menamatkan SD. Sejak itu, setiap yang keluar dari jungur bapaknya adalah tahi semata bagi Hadi, dan ia memilih untuk tidak repot-repot mematuhi perintahnya. Sedangkan ibunya, adalah perempuan cantik yang semakin tahun bertambah renta oleh penerimaan yang terpaksa.
Ibunya ialah gambaran lain seorang wanita yang dimadu, tanpa daya dan keberanian untuk menolak ataupun melawan. Ia hanyalah figur yang akan jadi bulan-bulanan para feminis di tiap negeri.
Selama bertahun-tahun itulah Hadi menabung segala kepahitan dan perasaan cemburu. Jantungnya mungkin sepanas ubi jalar rebus saat menyaksikan bagaimana si bapak mengantar putri kecilnya yang manis ke sekolah kanak-kanak. Bapaknya selalu bermuka teduh di depan istri muda dan anak kecil itu, tetapi di depan dirinya sendiri, lelaki itu lebih memilih pasang mimik wajah seperti saat menghadapi gembel penyakitan.
Maka ia putuskan untuk lanjutkan sekolah di rumah seorang bibinya. Di sebelah timur Sumatra, sebuah pulau yang berjarak ribuan kilometer dari pintu rumahnya.
“Kau yakin, mau sekolah jauh dari orang tua?” tanya sang bibi saat Hadi menelepon.
“Sangat yakin. Aku tidak tahan lagi dengan neraka ini. Mual perutku melihat dia dan setan betina itu,” jawab Hadi penuh emosi. Ia selalu memakai kata ganti “dia” untuk menyebut bapaknya.
“Jangan begitu, bagaimanapun rusaknya, dia tetap bapakmu,” kata si bibi.
“Sepertinya jin Ifrit lebih layak jadi seorang bapak.”
Meski kalimat itu hanyalah perwakilan rasa jengkel Hadi, ucapannya adalah suatu kebenaran belaka. Sebenarnya, dalam tubuh si bapak (demikian riwayat yang kuterima), seekor jin Ifrit sudah bersarang dan jadi parasit bagi jiwanya. Segala dupa dan menyan dan sesaji yang disiapkan si bapak pada waktu tertentu tidak lain diperuntukkan si Ifrit yang menyamar sebagai seorang resi sakti. Dus, lelaki itu meyakini penjelmaan Ifrit sebagai entitas mahasakti yang menjaga dirinya.
Pada mulanya, si bapak sama sekali tidak menunjukkan antusias dengan niat Hadi. Hanya saja, setelah suami si bibi membujuknya melalui telepon, lelaki itu luluh juga hatinya. Si bibi dan suaminya merasa prihatin dan juga merasa memahami pangkal masalah keluarga itu. Kepada bapaknya Hadi, si paman berkata, “Siapa tahu dengan jauh dari kalian, Hadi bisa belajar mandiri dan disiplin. Pola didik kami cukup ketat.”
Si paman sebetulnya ingin sekali mengatakan, anakmu tak tahan dengan tingkah liarmu, tapi tentu saja ia tak punya kalimat pengantar yang baik untuk merudalkan tuduhan itu. Apalagi saat bertandang dulu, ia disambut baik oleh lelaki itu, dilayani selayaknya tamu kehormatan. Kurasa pada momen seperti demikianlah utang budi bekerja; ia bermain di wilayah rasa sungkan dan tak nyaman.
Celakanya, selama delapan puluh hari di rumah bibinya, Hadi tetaplah berandal yang telanjur nyaman dengan tabiat lama. Tabiat yang terbentuk karena pola didik orang tuanya.
Si bibi dan si paman yang punya semangat sederas arus kali, tinggal bungkam dan gusar, seolah semangat sebelumnya menjadi sungai yang penuh sampah, menggenang, dan mengundang banjir.
“Aku masih ingat bagaimana bapaknya bersumpah-sumpah padaku,” kata si paman.
“Sumpah terkait apa?” tanya istrinya.
“Tentu saja anak itu. Waktu itu ia sampai bilang, ‘Abang boleh potong saya punya telinga kalau anak itu bisa diatur dan dipegang perkataannya. Dia lebih buruk dari seorang anak yang tidak punya adab,’ begitu kira-kira. Kini, aku merasa bapaknya sedang mengejekku dari sana.” Istrinya tertawa dan membesarkan hati si suami agar tak perlu ambil pusing, bagaimanapun Hadi bukan sepenuhnya tanggung jawab mereka. Lagi pula mereka sudah banyak membantu anak itu. Setidaknya, mereka cukup berhasil menyekolahkan kedua anak kandung ke kampus-kampus ternama. Hadi bukan anak kandung, ia keponakan. Dan yang bukan anak kandung tidak perlu dapat bagian penuh.
Keadaannya memang demikian: bahkan terhadap hal-hal kecil sekalipun Hadi masih harus dituntun dan diberi tahu. Itu terjadi berulang kali; handuk bekas pakai yang menggeletak di kasur, tangan yang sembarangan mencomot lauk tanpa sendok, dan yang paling bikin jengkel adalah ia kerap merilis air seni ke dinding kamar mandi hingga meninggalkan pesing yang mungkin mampu membuat penderita radang paru-paru mati seketika.
Ia juga terkendala pelajaran-pelajaran di sekolah. Kemampuan inteligensinya seperti terpaut jauh di bawah kecerdasan pohon pisang. Selain terkendala pada bahasa para guru (begitulah, meski diwajibkan berbahasa nasional di kelas, guru-guru di daerah sering merasa nyaman mengajar dengan bahasa setempat), otaknya juga kekurangan suatu zat bernama protein, atau asam folat sehingga sangat lamban menyerap materi-materi tentang mesin. Paling mujur, nilai yang ia peroleh adalah tiga puluh dari angka seratus. Selebihnya di pelajaran-pelajaran lain, ia beroleh separuh dari nilai paling mujur.
Kini genap sudah penderitaan Hadi dengan teror mimpi itu. Pasalnya, mimpi itu muncul berulang-ulang tiap kali ia tidur lepas pertengahan malam. Dan mimpi itu selalu membuatnya terbangun kurang lebih pukul 03.00.
“Kalau kamu mau pulang, pulanglah,” suatu hari si bibi berkata pada Hadi.
“Terserah, toh kamu selalu bilang tidak betah. Di sini pun kamu sangat susah diajari,” lanjut si bibi.
Hadi hanya diam. Mungkin ia masih paham rasa malu untuk menjawab. Tapi kurcaci-kurcaci dalam kepalanya segera tanggap menyusun alasan dan akhirnya menghasilkan jawaban yang menurut si bibi masih terkesan serampangan.
“Sebenarnya aku rindu dan khawatir pada Ibu di kampung,” demikian jawabnya.
Karena merasa gatal dan jengkel, si bibi akhirnya melancarkan khotbahnya, bahwa perasaan Hadi itu adalah keliru dan dungu semata. Sebaiknya, kata si bibi, jika kamu khawatir dan ingin membantu ibumu, kamu sekolah dengan benar hingga tamat.
“Bibi tidak tahu, aku pernah memergoki pembicaraan ayahku dengan seseorang,” sergah Hadi.
“Pembicaraan apa maksudmu? Dengan siapa?”
“Kakak ipar dari istri mudanya itu. Ia bilang, ‘istrimu yang lama tidak usah diusir, kita bikin saja dia sakit perlahan-lahan.”
Sejak itulah Hadi kemudian mencermati segala yang dilakukan bapaknya terhadap si ibu. Bapaknya sering memberikan segelas air putih pada si ibu, dengan alasan air doa untuk kesehatan. Ia juga sering memberikan barang-barang aneh seperti sehelai bulu landak dan memerintahkan istri pertama untuk menyimpannya sebagai jimat yang mesti dirawat.
Istri pertamanya tidak diusir dan lelaki itu memang tidak mempunyai ide seburuk itu. Ia lebih memilih untuk membuat istri pertama bertahan di rumah dan merawat seorang nenek renta yang pikun. Nenek itu ialah ibu dari bapaknya Hadi. Nenek renta itu pikun luar biasa sehingga ketujuh anaknya tak ada yang sudi merawat. Maka, dalam sehari, ibunya Hadi mesti rutin membersihkan tahi-tahi si pikun itu setidaknya lima atau tujuh kali.
Si pikun sering berak di tempat-tempat tak seharusnya; di sofa ruang tamu, halaman rumah, bahkan teras tetangga. Si pikun juga tak mau menerima makanan yang disiapkan selain oleh tangan menantunya. Sebab, suatu hari, bapaknya Hadi pernah menyuruh sang istri untuk membasuh kedua kaki di sebuah baskom, dan kemudian mencekoki ibunya dengan air cucian itu. Sejak minum air kaki, si pikun selalu patuh pada perkataan ibunya Hadi dan menangis seperti bocah perempuan jika ditinggal jauh oleh pawangnya itu.
Si bibi baru mendengar cerita semacam itu, dan sebagai seorang kakak, tentu ia tidak tega mendengar adiknya diracun makar hingga mati pelan-pelan.
“Kalau begitu, kamu pulanglah, tiketmu biar aku yang urus,” kata si bibi.
Hadi pulang dua hari kemudian dengan membawa surat pindah sekolah. Sesampainya di rumah, yang pertama kali ia datangi tentu saja ibunya. Saat itu si bapak tidak ada di rumah. Mungkin sedang mengisap madu di guci istri mudanya.
“Aku minta barang-barang yang dikasihkan laki-laki itu, Ibu.”
Setelah benda-benda tak lazim itu terkumpul, Hadi membawanya ke pekarangan belakang. Ia buka kancing celana, dan dengan segera meloloskan kepala perkututnya. Beberapa detik kemudian, benda-benda itu sudah kuyup oleh hangatnya air limbah.
Ia juga mewanti-wanti ibunya agar tidak begitu saja menerima minuman atau makanan dari bajingan itu.
“Masalahnya, ia menungguku saat itu juga,” kata si ibu.
“Ibu jangan kurang akal, pura-pura pecahkan gelasnya, pura-pura tumpahkan makanannya!”
Beberapa hari kemudian, Hadi terbangun dari tidur, dan berjalan ke pekarangan belakang untuk memeriksa jimat-jimat yang tempo hari ia pendam di bawah pohon trembesi. Aman. Tak ada yang membongkar. Namun, saat kembali ke rumah, ia menjumpai keanehan. Semua sanak saudara berkumpul di rumahnya dengan ragam tangis masing-masing. Dan ia semakin muntab saat tak seorang pun menjawab pertanyaannya.
Ia kembali ke kamarnya yang menjadi sesak oleh orang-orang, dan menjumpai ibunya sesenggukan di depan jasadnya sendiri. Sejak itu, Hadi menyadari eksistensinya sebagai hantu penasaran.
Menurutmu, apa yang membuat Hadi tiba-tiba mati?
Aku tak tahu pasti. Tapi dari kesaksian Hadi sendiri, akhirnya ia tahu bahwa kematiannya disebabkan perbuatannya sendiri yang mengencingi barang-barang terkutuk itu. Tapi bisa jadi itu hanya asumsinya saja. Ah, aku tidak mengada-ada. Arwah Hadi mengetuk-ngetuk jendela kamarku suatu malam. Dan saat itu aku sedang mengalami kebuntuan ide untuk menulis cerita. Jendela kubuka dan setelah perkenalan singkat, kuizinkan hantu menyedihkan itu masuk kamar (ia masuk melalui jendela seperti gumpalan asap yang ditiup) dan berkenan menceritakan kisah yang kau baca di atas. Ia bercerita dengan semangat pendendam yang dingin (dan kita tahu, hanya dalam film saja hantu dapat membalas dendam), terlebih saat menceritakan bagian yang tidak diketahui siapa pun selain hantu Hadi dan aku tentu saja:
Bapaknya Hadi menjadi cemas dengan kepergian Hadi ke tempat si bibi. Sebab, ia benar-benar takut Hadi akan belajar sungguh-sungguh dan pulang dengan kesuksesan yang nyata. Karena bertambah pintar dan kritis, demikian kecemasan lelaki itu, bukan tidak mungkin jika ia akan membawa kabur ibunya suatu saat nanti. Maka tiap malam bulan mati, ia bakar sejumput kemenyan, dan memerintahkan angin untuk mengantarkan teror berupa mimpi buruk dan rasa tak betah.
“Kau tahu dari mana jika itu perbuatan bapakmu? Jangan-jangan kau hanya mengira-ngira?” tanyaku padanya malam itu.
“Bodoh! Aku mendapati kesaksiannya lagi dengan si kakak ipar, empat puluh hari setelah kematianku!”
Begitulah ceritanya kutulis ulang dalam kisah ini, dengan tambahan bumbu-bumbu racikanku, tentu saja ….
Yogyakarta, November 2019
- Mimpi Itu Dikirim dari Pulau yang Jauh - 14 February 2020
Dev
Cerita yang menarik, plot twist, Keren!!
Dev
Jadi Hadi delapan puluh hari atau baru seminggu ya meninggalkan pulau asalnya? sedikit membingungkan
Siti Jenar
“Sebagai putra asli pulau tersebut, Fairuz sempat merasa tersinggung, sebab Hadi bahkan belum genap seminggu di situ.” Bagian ini bagian flashback, Gan.