Modifikasi Pengajaran Bahasa Indonesia

pixabay.com

Seorang siswa saya bertanya demikian, “Mengapa pelajaran bahasa Indonesia kita tidak membahas sastrawan dan karangan-karangannya, Pak?” Menjawab pertanyaan itu, saya balik bertanya, “Emangnya apa pentingnya kita harus mempelajari itu?” Dengan singkat dia menjawab, “Kan lebih fun belajarnya,” jawabnya. Konon, siswa tersebut pernah mengikuti pertukaran pelajar selama satu tahun di Italia. Di sana, ketika belajar bahasa, menurut pengakuannya, mereka sangat sedikit membahas kebahasaan. Mereka lebih sering membahas dan mendiskusikan hasil karya sastra dan sastrawan-sastrawan besar.

Memang, harus saya akui, sejauh pengalaman saya, pengajaran bahasa (Indonesia) memang sangat membosankan. Seperti pengakuan siswa itu, selama ini, belajar bahasa Indonesia tidak fun (maaf, saya menggunakan bahasa Inggris). Guru lebih sibuk mengajarkan bahasa Indonesia melalui pendekatan soal-soal. Ini terjadi karena pada akhirnya, tujuan pembelajaran bahasa Indonesia sangat sederhana: lulus UN (juga PTN) melalui seperangkat soal-soal. Padahal, kemampuan yang diharapkan melalui belajar bahasa adalah mahir menyimak, membaca, berbicara, hingga menulis, bukan semata mahir menjawab soal.

Nah, karena sibuk membahas soal-soal itulah mengapa kemudian kita lupa pada hal yang paling mendasar: menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Sebagai dampaknya, seperti sudah dikutip banyak media, kemampuan literasi kita selalu rendah. Menurut Unesco, indeks membaca kita sangat memprihatinkan: hanya 0,001. Konon lagi, dalam peringkat The World’s Most Literate Nations (WMLN) 2016, kita hanya menempati urutan ke-60 dari 61 negara yang dikaji. Kita hanya berada satu tingkat di atas Botswana, negara kecil di Benua Afrika.

 

Sangat Sederhana

Dikaji lebih dalam, menurut PISA (2015), di ranah literasi, poin kita juga sangat miris. Sebagian besar, kita berada pada level <1 (level paling buruk), level yang menurut OECD hanya mampu membaca teks singkat tentang topik yang sudah akrab. Buruknya peringkat dan kemampuan literasi ini bukan hanya terlihat dari hasil survei (yang konon bisa bohong) saja, melainkan juga terlihat jelas dari produksi buku-buku kita. Menurur Ikatan Penerbitan Indonesia (2015), penerbit Indonesia rata-rata hanya menerbitkan 30 ribu judul. Ini sangat tak sehat.

Sebab, International Publishers Association menyebut, sehat tidaknya keterbacaan (industri penerbitan) dapat dilihat dengan membandingkan jumlah buku per sejuta penduduk. Menurut BPS (2015), penduduk kita ada 255.461.700. Itu berarti bahwa masih hanya 8 judul buku kita per sejuta penduduk (Billya Arianto). Angka ini kalah jauh dari Thailand (168), bahkan dari Kenya sekalipun (11). Uniknya, meski kalah dari segi buku, kita justru unggul dari segi infrastruktur. Dalam survei Central Connecticut State University, kita berada pada peringkat 36, unggul dari Singapura (59), Malaysia (44), Korea Selatan (42), Jerman (47).

Pertanyaannya, mengapa tingkat literasi kita sangat jelek? Jawaban atas pertanyaan ini sebetulnya sangat sederhana. Mengapa? Karena seperti disebutkan di atas, pelajaran bahasa (Indonesia) kita tak menggalakkannya sejak dini. Penyebabnya beragam. Salah satunya adalah karena muara pengajaran bahasa Indonesia sangat dangkal: sekadar mampu lulus UN dan SBMPTN. Pengajaran bahasa Indonesia akhirnya fokus pada tanda-tanda baca atau penulisan kata sehingga lupa bahwa ada yang paling penting di dalam bacaan itu, yaitu alur cerita dan segenap persoalan yang ada di dalamnya.

Dampak yang lebih hebat pun terjadi: imajinasi, ketahanan, apalagi minat membaca siswa sama sekali tidak terbangun. Alih-alih terbangun, ketika menghadapi soal wacana, para siswa lebih sering meminta trik tentang bagaimana menjawab soal-soal tanpa membaca wacana kepada gurunya. Triknya tentu sederhana: lihat tanda baca jika yang ditanya tanda baca, fokus pada penulisan kata-kata jika yang ditanya penulisan kata, beri perhatian khusus pada kalimat pertama dan kedua atau kalimat terakhir jika yang ditanya adalah ide pokok paragraf. Jangan habiskan waktumu untuk membaca wacana! Itu saja!

Untuk menjawab soal-soal demikian, metode di atas, selain hemat waktu, juga ternyata sangat jitu. Sayangnya, dengan metode di atas, apalagi kalau siswa sudah diajarkan berkali-kali tentang PUEBI (pedoman umum ejaan berbahasa Indonesia), dengan sendirinya sebenarnya kita justru menyingkirkan satu tujuan penting dari pengajaran bahasa: membaca. Jadi, adalah tidak mengherankan jika saat ini minat membaca siswa kita sangat rendah. Hal ini diperparah lagi karena lingkungan siswa pun tak memberi teladan tentang pentingnya budaya membaca.

Jangankan lingkungannya, guru bahasa Indonesianya saja malas membaca (apalagi menulis). Saya tak sedang main-main dengan kalimat terakhir ini. Dalam esainya yang terangkum di Guru Gokil Murid Unyu, Johannes Sumardinata, misalnya, mengisahkan fakta yang sangat gawat: dari ribuan guru bahasa Indonesia, tak sampai 0,5 persen yang pernah membaca tetralogi Pramoedya Ananta Toer. Mereka bahkan tidak mengenali buah pemikiran Ki Hadjar Dewantara, apalagi Paulo Freire.

Dengan sangat sederhana, fakta di atas dapat ditafsirkan bahwa jangankan menulis, membaca saja guru bahasa Indonesia sangat jarang. Di sinilah saya pikir pertanyaan dari salah seorang siswa yang saya sebutkan di atas harus menemukan jawabannya. Yaitu, pengajaran bahasa Indonesia harus segera dimodifikasi agar kegiatan berbahasa berjalan dengan benar. Modifikasi ini penting karena fakta sudah berbicara bahwa ketika soal tipe HOTS diterapkan tahun lalu, siswa kita langsung meraung-raung di media sosial.

 

Terasuki Virus Butuh Prestasi

Raungan itu sebenarnya masuk akal. Sebab, bagaimana mungkin siswa bisa mengerjakan soal HOTS jika selama ini mereka sibuk pada penulisan tanda baca atau penulisan kata tanpa ikut mendalami kasus dalam alur cerita wacana itu? Karena itu, sudah saatnya kita masuk mendalami bacaan. Tentu, semua guru tahu bahwa yang lebih berarti dari kata-kata adalah teladan. Kata-kata tanpa teladan tidak akan bertaji. Maksudnya, guru (bahasa Indonesia) sudah harus meneladani menjadi pembaca yang baik sebelum menjadi penulis yang baik.

Teladan ini, meski sederhana, jangan diremehkan. Eropa bangkit dari zaman kegelapan adalah karena membaca, Jepang maju, salah satunya, terilhami oleh buku Komik Manga Captain Tsubasa, dan masih banyak lagi. Ada cerita menarik tentang hebatnya dampak membaca. Cerita menarik ini saya dapatkan dari David Mc Clelland. Kebetulan dia merupakan psikolog sosial asal Amerika yang tertarik pada masalah pembangunan. Suatu ketika, dia meneliti Inggris dan Spanyol yang kita tahu bahwa pada abad ke-16, kedua negara tersebut merupakan negara hebat.

Bedanya, sejak abad ke-16, Inggris makin jaya, tetapi Spanyol malah cenderung melempem. Mengapa? Ternyata faktor penentunya ada pada buku, tepatnya muatan cerita buku. Kelihatannya, dongeng dan cerita anak-anak di Inggris pada awal abad ke-16 mengandung semacam virus yang menyebabkan pembacanya terjangkiti penyakit “butuh berprestasi” (need for achievement). Sementara muatan cerita Spanyol cenderung didominasi oleh cerita romantis, lagu-lagu melodramatis, dan tarian yang justru membuat penikmatnya lunak hati, meninabobokan.

Jika simpulan David Mc Clelland itu betul, rasanya sudah benar kekhawatiran sekaligus pertanyaan siswa saya tadi. Yaitu, kita harus mengubah pola pikir bahwa mengajarkan bahasa itu tidak cukup semata pada menghafalkan mana kata-kata baku, mana tanda baca yang benar, dan sebagainya. Kita harus bisa mengantar siswa menjadi pendengar yang baik, pembaca yang tekun, pembicara yang tidak asal bunyi, serta penulis yang gigih. Percayalah, dengan modifikasi seperti itu, imajinasi siswa kita juga akan terasuki virus-virus butuh prestasi. Semoga!

Riduan Situmorang
Latest posts by Riduan Situmorang (see all)

Comments

  1. Oda Reply

    Izin berbagi mimin

  2. Faluthi Faturahman Reply

    Selama saya sekolah selama 12 tahun, pelajaran bahasa Indonesia hanya berkutat pada peletakan titik (.), koma (,) dan atan baca lainnya. Siswa tidak di latih dengan sering membaca. Kalo kita sering melihat film-film luar macam Hollywood, siswa bahkan disuruh membaca suatu karya lalu membuat essai tentang buku itu.

    Di sisi lain juga, dengan membaca saya rasa siswa akan belajar secara langsung dimana peletakan tanda baca itu.

  3. Freddy Nababan Reply

    Luarrr biasa. Sederhana tapi langsung mengena tulisannya.

  4. Naufal Reply

    Alhamdulillah sekarang banyak anak muda yang mulai suka membaca dan menulis, meskipun masih sering berkutak di lingkaran “senja, rindu & kopi”. Di Indonesia, ada juga karya yang yang bergizi dan sarat akan virus butuh prestasi. tapi sayang, daya jualnya masih kalah dengan daya jual lingkaran yang saya sebut tadi.

    Apa memang bahasa Indonesia bukan inang yang tepat untuk virus tersebut? Atau kita, sebagai penutur asli bahasa Indonesia, belom berusaha cukup keras?
    Wallahu’alam

  5. cellia amanda Reply

    Di smp ku dulu udh ada wajib literasi. Jadi sblm pelajaran dimulai baris depan kelas, menyalami guru, nyanyi lagu nasional setelah itu kita hrs membaca buku boleh novel, majalah, bahkan koran, asal tidak komik selama 20 mnt (kl gak salah, udah lupa). Stlh itu bbrp teman saya mulai suka baca buku. Saling pinjam buku. Perpus juga gak sesepi dulu. Bahkan sering antara guru saya dan teman” saya saling share buku yg menurut mrk bagus (guru jg ikut literasi sembari mengawasi murid) dan cerita sedikit ttg karya”nya. Saya gak tahu apakah hal ini akan berhasil jg ditempat lain. Tapi ini boleh dicoba yg penting siswa tdk tertekan.

  6. Velly Reply

    Sukaaa tulisannya 🤗

    • Admin Reply

      terima kasih.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!