Mudiklah Biar Bisa Jadi Manusia (Lagi)

mudik6

“Kebosanan adalah kejahatan paling besar kedua di dunia. Menjadi membosankan adalah kejahatan terbesar pertamanya.”—Jean Baudrillard

 

Dalam bukunya yang sangat terkenal, Pengetahuan dan Kesucian, Seyyed Hossein Nasr memberikan pandangan yang memukau tentang “Perjanjian Primordial”. Ia adalah perjanjian antara makhluk dan Khaliq, manusia yang masih berupa janin di dalam rahim ibunya dengan Tuhan yang Maha Kuasa; perjanjian ketundukan diri di hadapan-Nya. Sebuah janji fithri yang maha azaly.

Jauh sebelumnya, Rasulullah Saw. telah menyabdakan, “Tidak ada bayi yang dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah (suci)”. Hadits ini menggambarkan buah nyata “Perjanjian Primordial” itu; perjanjian paling purba yang selalu menandai awal dimulainya denyut hidup seorang manusia. Dalam bahasa Nurcholis Madjid, perjanjian ini disebut “fitrah untuk bertuhan”, al-hanafiyah al-samhah.

Berkat perjanjian itu, semua manusia pada awalnya adalah suci. Tidak ada seorang pun yang terlahir dalam keadaan buruk, dari rahim sejenis apa pun ia. Semua manusia sama mulianya, sama fitrinya, sebab sama-sama meneken “Perjanjian Primordial” yang sama itu di dunia rahim yang sama sucinya itu.

Lantas, seiring laju sang waktu, yang dalam hadits disebut “fa abawahu…” (lalu orang tuanyalah; biologis hingga lingkungan dan sebagainya), manusia terbelah-belah sedemikian rupa menjadi dirinya masing-masing; baik atau buruk.

Rahim. Inilah rumah suci pertama yang menjadi hunian setiap kita kala janin yang juga dalam keadaan suci. Tak peduli rahim itu milik seorang pelacur paling murahan, tetap saja ia adalah rumah yang suci; tempat perjanjian suci antara janin dan Tuhan diakadkan. Bukankah tak pernah ada seorang ibu sedurja apa pun yang tengah mengandung anaknya yang tidak mendoakan anaknya jadi orang mulia?

Tersebab rahim adalah rumah kesucian setiap kita, dan di sisi lain pada jiwa kita selalu berdenyar “fitrah untuk bertuhan” (buah perjanjian suci itu), sebutlah dengan ilmiah sebagai “hasrat pada thin ethic”, alamiah saja bila jiwa kita memiliki kecenderungan terpanggil kuat untuk pulang ke jagat kesucian. Kita pun lalu merasakannya dalam rupa merindukan dunia rahim yang suci, dunia asal kita, azaly, sangkan paraning dumadi. Lain kali kita pun merasakannya sebagai dorongan jiwa untuk menyebut nama-Nya dan bertobat dengan mata basah.

Begitulah fitrah setiap kita untuk pulang ke rumah kesucian kita, sebab semua kita secara eksistensial pada hakikatnya adalah kesucian. Soal hasrat ini membuhul dengan sangat sering atau sesekali, intensif atau kambuhan, sejati atau palsu, Anda pasti tahu ajaran “Iman bisa bertambah dan berkurang”, dan demikianlah cermin kita.

Silakan Anda buktikan dengan cara pergilah sejauh-jauhnya ke suatu kota yang di dalamnya Anda tak kenal siapa-siapa lagi, lalu rasakan ketersesatan Anda, sampai tak tahu arah jalan pulang, niscaya takkan lama Anda akan sangat rindu rumah. Rindu kesejatian azaly. Benar sekali, exile will take you home. To go is to go home.

Pun silakan saja Anda hendak kufur sebedebah apa pun, sebagaimana dibolehkan oleh Allah dalam surat al-Kahfi (“Siapa yang berkehendak silakan beriman dan siapa yang berkehendak silakan kufur”), niscaya pada titik-titik tertentu Anda akan sangat merindukan rengkuhan “tangan” Tuhan; rahim yang suci, rumah azaly Anda.

Di meja kehidupan kita, dunia pun terus berputar; kita menjadi bagian mutlak yang terus diputar-putar olehnya, timbul-tenggelam dalam gelombang hempasan ambisi dan rutinitas; dan itulah yang pada gilirannya memisahkan jalan antarkita untuk melangkah menuju kebaikan atau keburukan.

Ada sebagian kita yang terus terbunuh oleh ambisi dan karenanya terinjak-injak tanpa sisa lagi oleh kaki-kaki bengis rutinitas. Siang dan malam. Tetapi percayalah bahwa bayangan dunia rahim yang suci akan sesekali tetap menyeruak ke relung jiwa Anda, meski sekadar “impian”. Sebagian lain lagi, ada yang berhasil membebaskan diri dari penjara obsesi dan rutinitas yang keji, sehingga lebih memiliki banyak waktu untuk menyelami sakralitas dunia rahim dan memupuknya dengan subur di kedalaman jiwa. Siang dan malam.

Begitulah jalan persimpangan dunia ini membentang di depan kita, untuk kita pilih menuju ke kanan atau kiri.

Di negeri kita, tradisi mudik tampil sebagai simbol ritual yang sangat masif, yang menandai runyakan hasrat untuk kembali ke dunia rahim itu, setiap tahun jelang berakhirnya bulan Ramadhan. Siapa pun Anda, secara ekonomis, politis, sosial, hingga spiritual. Bagaimanapun cara Anda mudik, sebesar apa pun biayanya, semelelahkan apa pun terjalnya untuk ditempuhi.

Begitu tiba di kampung halaman, kita menziarahi jejak-jejak masa lalu kita, dengan keinginan besar memulangkan segenap sejarah tentang dunia rahim kita. Mencoba merangkai kembali wajah sangkan paraning dumadi kita. Nyekar ke kuburan leluhur, membayangkan wajah ibu yang sudah tiada, apalagi nenek yang sudah jadi tanah, para tetangga yang tak lagi utuh, sahabat-sahabat masa kecil yang telah beranak-pinak, sungai-sungai yang pernah kita renangi, bukit dan gunung yang rajin kita jelajahi, jalan-jalan setapak bertanah yang karib dengan telapak kaki telanjang kita, juga jajanan-jajanan desa yang tak pernah lagi kita mamah.

Semua pecahan sejarah diri ini kita rangkai sedemikian rupa, di dalam jiwa, semata untuk merekonstruksi potret diri yang telah berantakan dihajar obsesi dan rutinitas. Persis mozaik; kita menyusunnya patahan demi patahan, dengan terang atau lamat. Hari demi hari, malam demi malam.

Waktu pun berkelebat dengan sangat cepat. Tahu-tahu, kita sudah harus kembali ke kota, menjerembapkan diri lagi ke dalam genangan obsesi dan rutinitas yang tak bertepi. Dengan dada gemuruh, mata berkabut menahan linang, kita pun melangkahkan kaki pertama, dengan berat hati meninggalkan kampung halaman; dunia rahim kita yang suci. Tempat yang kepadanya kita selalu tekun berjanji untuk kembali lagi dan lagi, tahun depan dan tahun depan lagi. Sebagai buah azaly “Perjanjian Primordial” antara aku dan Tuhanku, di rahim ibu, dulu.

Seiring terbitnya lagi keriuhan kota di depan mata, mozaik diri yang telah kita susun setahap demi setahap di kampung itu, utuh atau pecah, pun segera berserak. Setiap kita pulang ke rahim ibu, mozaik itu terangkai; setiap kita meninggalkan rahim ibu, mozaik itu pun berantakan. Tak terhindarkan, oleh siapa pun!

Apakah karenanya ritual mudik hanyalah kesia-siaan, sebab ia terangkai hanya untuk pecah kembali?

Tidak. Hidup ini tak cukup untuk hanya ditakar dengan kacamata Marxisme, yang berkecenderungan menolak segala yang tidak memberikan keuntungan teknis. Materialisme-Logika tidaklah memadai untuk sepenuhnya menjangkau dimensi jiwa. Ada kalanya, segemar apa pun Anda pada Marx, tengoklah Madzhab Frankfurt, yang menjunjung rasionalitas epistemologis. Dan aktivitas mudik merupakan salah satu ritual yang hanya akan ternilai berharga bagi kita bila mendekatinya, misal, dengan kacamata epistemologis itu. Tepatnya, epistemologi ruhani.

Karenanya, lupakan sajalah kenyataan bahwa mudik sebagai ritual merangkai puzzle masa lalu akan memang segera berantakan seiring kembalinya kita ke kota. Itu, sekali lagi, tak terhindarkan, seiring hengkangnya kita dari rahim kesucian. Mempermasalahkan hal-hal yang tak terhindarkan hanya akan menjadi igauan lelah berkepanjangan tiada guna, bukan? Menyebabkan jasad kita membusuk sebelum ditinggalkan ruhnya.

Mari, mudiklah biar jadi manusia lagi. Rahim suci yang setia menunggu di kampung halaman tak pernah layak dinilai dengan kalkulasi harta dan energi; sebab kita hidup ini aslinya hanya semata untuk menjadi manusia.

Mudik akan menyegarkan ingatan kita bahwa kita adalah manusia yang pernah terlahir dalam keadaan suci berkat “Perjanjian Primordial” yang azaly itu.

Sumber gambar: suyatno.wordpress.com

Edi AH Iyubenu

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!