Mulihasih

Aku sudah tidak punya harapan lagi untuk mencari tahu tentang perempuan misterius itu. Aku menduga rumah ini—rumah yang ada di depanku—kosong. Halamannya banyak ditumbuhi rumput setinggi pinggang orang dewasa. Kotor dan lembab. Lalu pintu gerbang jeruji besi yang sudah berkarat yang, jika dibuka menimbulkan derit yang tertahan.

Tentu saja kedatanganku ke rumah ini bukan tanpa alasan. Salah satu alasan yang sebenarnya aku sendiri masih tak percaya. Benar-benar di luar akal sehatku. Aku sendiri tak habis pikir kenapa aku masih melanjutkan pencarian konyol ini. Seperti ada dorongan ghaib. Sudah lebih dari tujuh kali aku mengalami kejadian aneh sejak kandunganku menginjak sembilan bulan. Sudah tujuh kali lebih aku bermimpi didatangi sesosok perempuan dengan seorang bocah yang terus memanggil-manggil namaku.

Menikmati sore di teras rumah adalah hal yang tak bisa kutinggalkan sejak kepergian lelakiku. Tepatnya menunggu lelakiku pulang. Tapi seperti semua orang yang tak mendapatkan kabar, aku seperti patung yang dikutuk senja.

Setengah sadar, aku seperti melihat seorang bocah perempuan menangis di tengah jalan. Sesekali ia memandang ke arahku. Matanya menghipnotisku untuk terus menatap matanya yang seperti menyimpan aliran magis. Ada dua garis luka di pipinya. Matanya seperti memberi isyarat, seperti ada yang ingin ia sampaikan. Sambil kupegang perutku, aku lari ke arahnya. Tapi tiba-tiba seorang ibu-ibu tetanggaku berteriak.

“Awas! Ada motor!”

Motor itu berdecit.

“Kalau mau nyebrang, hati-hati, Bu!” kata si pengendara motor, jengkel.

“Maaf, Pak, tadi ada anak kecil,”

Terdengar kumandang azan. Kami terdiam sebentar.

“Tak ada siapa-siapa, Bu!” 

“Itu di depan ….” bicaraku terhenti ketika sadar bahwa bocah kecil itu sudah raib dari pandanganku.

Itu kali pertama aku mengalami kejadian aneh. Kupikir kejadian itu hanya kebetulan saja. Atau mungkin halusinasiku saja. Tapi setelah berulang-ulang aku mengalaminya, mungkin ini ada hubungannya dengan apa yang kulakukan dulu atau sekarang. Mungkin aku pernah menyakiti seseorang.

***

Lama kupandangi wajah perempuan itu di muka koran. Mulihasih namanya. Koran yang sudah lama. Bahkan sangat lama. Koran yang tak sengaja kudapat dari sopir taksi online waktu aku pulang dari rumah Ki Waskita—dukun dari Desa Bubut, pantai utara Jawa Barat. Kedatanganku ke rumah Ki Waskita tentu untuk mempertanyakan tentang kejadian-kejadian aneh yang menimpaku. Aku ceritakan semua padanya. Dahinya berkernyit, lalu mengangguk-angguk, tak lama kemudian terbatuk-batuk lalu ia mengambil cawan dan meludah. Ia mendeham, lalu berkata bahwa bayi dalam kandunganku tidak normal. Padahal baru minggu kemarin aku periksa ke dokter. Kata dokter, bayi dalam kandunganku sehat-sehat saja.

Sebenarnya bukan jawaban itu yang kuinginkan dari Ki Waskita. Melainkan mengapa aku kerap mengalami kejadian aneh setelah kandunganku menginjak sembilan bulan. Mengenai perempuan misterius dan seorang bocah yang memanggil-manggil namaku di dalam mimpiku. Mungkin aku terkena teluh atau santet dari seseorang yang punya dendam atau sirik denganku. Tapi jawaban Ki Waskita sama sekali tak mengurangi kegelisahanku. Tak sinkron dengan apa yang kuharapkan. Akhirnya aku mendatangi psikiater, lalu katanya aku hanya butuh refreshing. Aku terlalu cemas terhadap diriku sendiri. Karena itulah aku sering bermimpi aneh. Dan barangkali saja aku mengidap penyakit jiwa. Mungkin butuh terapi. Jawaban dari psikiater itu justru membuatku makin gelisah dan aku kerap kali susah tidur.

Kadang aku berpikir, kenapa segalanya kumengerti setelah semuanya terjadi? Pada saat-saat seperti ini aku cemburu dengan masa laluku. Tapi sekarang semua jadi omong kosong. Janji-janjinya telah membuatku merasa yakin bahwa dia adalah laki-laki yang paling baik yang pernah kukenal. Ah, kau lelakiku, sialan! Konsentrasi membacaku mengabur. Kupandangi langit-langit rumahku sambil kuelus-elus perutku—mungkin tinggal menunggu hari anak dalam kandunganku akan lahir. Dan aku tak tahu harus mengatakan apa ketika ia dewasa ayahnya tak ada. Uang yang kuterima darinya setiap bulan tak mengubah kesepianku.

Kesendirianku adalah awal dari sebuah kematian kecil dalam hidupku. Dan aku terus membayangkan ketika kelak aku melahirkan dalam keadaan tak seorang pun menolongku. Kemudian kematian merenggut dua nyawa sekaligus di rumah yang hampir genap dua tahun menyimpan kenangan yang sudah menjadi sampah di dalam otakku.

Itu kali kedua aku mengalami kejadian aneh. Karena ternyata perempuan yang ada di koran itu tak lain adalah perempuan yang kerap datang ke dalam mimpiku. Ia mati dengan cara menggantung diri. Berkali-kali aku meyakinkan diriku kalau ini nyata. Perempuan itu. Dan rasa penasaran itulah, hal-hal yang aneh itulah yang kadang membuatku berdosa dan membawaku ke rumah ini. Rumah yang sudah di depan mataku.

***

Sejak kepergian lelakiku tiga bulan lalu. Sejak aku merasa berdua dengan tubuhku. Kupinang kesepian ini bersama anak dalam kandunganku dan akan kupelihara sebagaimana aku memelihara kesendirianku.

Barangkali kepergian adalah kepulangan lain yang rahasia dan mengingat adalah jalan lain untuk melupakan.

Tapi kali ini bukan kepergianmu yang kuingat, melainkan luka yang kau tinggalkan di rahimku. Itu kau lelakiku. Masihkah kau ingat atas buah cinta di dalam tubuhku? Kau pergi, entah untuk siapa dan apa. Kalau kepergianmu untuk menggenapkan luka dan kesepianku, akan kuterima itu sebagai hadiah nasib. Tapi aku tidak akan menerima nasibmu atas kepergianmu.

Dengan mata terpejam, aku berharap air mataku akan menghapus wajah lelakiku dan luka yang pernah dihunjamkannya ke lubang nasibku.

Untung aku mendapatkan alamat rumah ini. Rasa penasaranku sedikit kikis. Meski kutahu ada hal lain yang singgah di hatiku. Tak lain adalah lelakiku. Lelakiku yang harus kukubur dalam-dalam di makam masa laluku. Alamat rumah ini aku dapat dari Rumah Sakit Citra Asih. Tentang Rumah Sakit Citra Asih sendiri aku tahu dari koran yang memuat berita tentang perempuan misterius itu. Ini benar-benar aneh. Seperti sesuatu yang sangat kebetulan.

Pintu gerbang depan tak dikunci. Aku mulai memasuki halaman rumah. Pandanganku menjurus ke seluruh arah di sekitar rumah. Seperti ada mata-mata yang mengintaiku dari balik semak-semak, atau mungkin saja dari kaca jendela yang terbuka. Aku seperti melihat bayangan orang melintas di balik jendela yang terbuka itu. Kupandangi jendela itu, kemudian kuedarkan pandanganku ke sekeliling rumah. Tak ada siapa-siapa.

Sampai di muka pintu, kutekan engsel pintu dengan pelan. Terdengar derit yang tertahan. Ketika kubuka, pandanganku kuedarkan ke sekitar jalan. Mataku terus meraba seputar taman, memastikan tidak ada orang yang melihat. Takut-takut ada orang yang mengintaiku diam-diam dari luar. Pelan-pelan kututup pintu. Kuputar tubuhku cepat setelah kupastikan bahwa pintu itu benar-benar tertutup.

Sesosok tubuh lelaki telah berada tepat di depanku. Dan mata itu, seperti ingin menelanku. Lelakiku. Lelakiku yang lama hilang.

“Sedang apa kau di sini?”

“Kau sendiri sedang apa?” suaranya yang berat masih sama seperti awal aku mengenalnya.

“Ini rumahku.”

“Kau belum jawab pertanyaanku!”

“Kau pasti kenal Mulihasih?” Aku menyela.

“Jangan sebut nama itu!”

Matanya membelalak. Tiba-tiba seluruh tubuhnya menegang disertai dengan suara-suara aneh dan umpatan yang keluar dari mulutnya. Ia menangis. Sesaat kemudian tubuhnya lemas lungkrah. Pelan-pelan ia memandangiku kembali.

“Dia adikku.”

Aku masih belum mengerti apa yang diucapkannya. Adiknya? Lalu kenapa dengan adiknya dan apa hubungannya denganku?

“Aku menyayanginya. Aku melakukan ini kupikir bisa membantunya untuk mendapat anak, setelah kutahu suaminya mandul,” lanjutnya kemudian. Ia diam sejenak. Matanya memandangiku. Aku masih belum mengerti arah pembicaraannya.

“Gugurkan kandungan itu!”

“Kau sudah gila, ini anakmu!”

“Gugurkan kandungan itu!”

Tangannya cepat mengait tubuhku dan ditekannya perutku. Kupukul-pukul wajahnya berulang-ulang. Tapi dia bergeming. Lalu ia menyorongku. Aku jatuh. Kupegang tangannya, tapi tangannya terlalu kuat. Makin kuat ia menekan-nekan perutku. Aku terus meronta-ronta dan berusaha menjerit sekeras-kerasnya, tapi dengan cepat kaki kirinya menekan leherku sehingga aku tidak bisa leluasa berteriak. Ditekannya terus menerus perutku. Aku berusaha menjerit sekeras-kerasnya. Setelah itu aku sudah tak ingat apa-apa lagi.

***

Bayiku lahir dengan selamat. Ada tanda hitam bulat di kiri lehernya. Tanda hitam itu mengingatkanku pada Mulihasih. Samar kudengar derap kaki menuju pintu. Terdengar suara pintu dibuka. Aku melihat ke arah pintu, ternyata kakakku yang sudah dua tahun menghilang. Terakhir kudengar dia menikah siri dengan seorang perempuan. Kini dia muncul di hadapanku.

Dia duduk persis di samping kananku.

Dia masih diam dan cukup lama memandangku dengan tatapan yang ganjil.

“Penjara saja belum cukup untuk orang yang menghamili adiknya sendiri.”

“Kakak tahu dari siapa?”

“Dia istriku.”

Kedung Darma Romansha
Latest posts by Kedung Darma Romansha (see all)

Comments

  1. Katkeda Reply

    Ngeuri :’)

  2. nnna Reply

    wah saking kerennya sampai kehabisan kata-kata….

  3. Dyah Kurniawati Reply

    Endingnya mengejutkan, mrinding bacanya.

  4. Okta AR Reply

    Kisah yang begitu rumit. Cerita yang membuat saya mengernyitkan dahi.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!