Munculnya Para Manusia Suci

Judul               : Islam yang Menyenangkan.

Penulis             : Edi AH Iyubenu.

Penerbit           : IRCiSoD, Maret 2017.

Tebal               : 224 halaman.

ISBN               : 978-602-391-277-3

Jauh hari sebelum berbagai organisasi, sekte, dan aliran-aliran baru yang mengklaim dirinya lebih benar dan lebih suci bermunculan dan tampil lebih berani, saya sudah menyatirnya dalam novel Burung Terbang di Kelam Malam, bahwa tanpa ada berbagai aliran sesat pun, sebetulnya orang-orang telah sesat dengan sendirinya—apalagi dengan maraknya berbagai paham baru yang membingungkan seperti sekarang. Pelaku koruptor, pejabat-pejabat yang suka main perempuan, para spekulan pasar, mafia, dan penjahat-penjahat terpelajar yang beragama, bisa disebut apakah mereka itu bila bukan sesat?

Sebagai ilustrasi; saya mengenal seorang pemuda yang gemar berjubah layaknya orang Arab, dia bergabung dalam sebuah perkumpulan yang mengatakan dirinya pengikut sunnah Nabi Muhammad paling benar, lantas memanjangkan janggut dan cambangnya. Untuk menambah wawasan, dia membaca beberapa buku agama, dan sejumlah tulisan di internet, dan mulailah mulutnya kerap mengucapkan, “Allah, Allah.” Tentu saja itu sangat bagus dan berkah. Tak lama kemudian dia menyatakan dirinya (atau memunculkan kesan kepada orang-orang) bahwa kedudukannya kini sebanding dengan ulama-ulama karismatik Aceh—kalau di Jawa, katakanlah semisal Gus Mus atau alm. Gus Dur.

Karena sosoknya sebagai “ulama karbitan” tidak mendapatkan tanggapan dan pengakuan, secara implisit dia sering mengatakan pada orang-orang yang mulai dekat dengannya bahwa ulama-ulama karismatik di Aceh yang sudah uzur sejajar kedudukan dengannya. Dari lagak dan gaya bicaranya, ulama karamah setingkat Abu Paloh Gadeng dan Abu Kuta Krueng dengan mudah bisa ditepuk-tepuk pundaknya kapan dia mau. Atau kalau di Jawa, bisa mengelus-ngelus bahu Gus Mus kapan saja.

Lantaran tidak ada masjid yang memberikan kesempatan padanya untuk naik ke mimbar, dia berkhotbah di sosial media tentang Allah tinggal di langit, haram berteman dengan nonmuslim, tidak boleh ucapkan selamat tahun baru, tidak boleh berdoa untuk orang yang sudah meninggal, tidak boleh baca Qur’an di kuburan, menentang ritual peusijuk (tepung tawar), tidak boleh merayakan Maulid Nabi Muhammad, dan semua perbuatan bid’ah lainnya diharamkan, kufur, kafir, masuk neraka. Entah kenapa dengan begitu mudah dia mengafirkan saudara-saudaranya sendiri yang tidak sepandangan dengannya.

Sosok-sosok orang bermental sakit semacam inilah yang kini banyak mewabah di Indonesia, yang pikirannya dangkal, hatinya sempit, tetapi merasa dirinya paling pintar, paling suci, dan paling dekat dengan Tuhan—perihal ini juga ada disinggung dalam novel Tanah Surga Merah. Realitas itulah yang ditegaskan Edi AH Iyubenu dalam bukunya, Islam yang Menyenangkan, sebagai manusia-manusia yang kehilangan watak muru’ah, tawadhu, dan tarahum dalam menyikapi berbedaan akibat terlalu lahap mengasup risalah-risalah pada link-link dunia maya yang tidak sanad ilmunya.

Perihal bid’ah, Edi AH Iyubenu menjelaskan secara komplet dan lugas bahwa saat Rasulullah masih hidup saja sudah muncul bid’ah, sebagaimana shalat masbuq yang dilakukan Mu’adz, lalu dibenarkan Nabi Muhammad yang menjadi kesempurnaan tata cara shalat masbuq yang kita kenal sekarang. Sebelumnya tidak begitu. Tidak semua bid’ah itu buruk, sesat, dan diganjar neraka. Bila semua bid’ah terlarang, maka Abu Bakar juga mengerjakan bid’ah dengan menggagas penulisan al-Qur’an, yang kemudian dilanjutkan Umar, yang tidak dilakukan oleh Rasulullah sebelumnya. Demikian pula penambahan azan shalat Jum’at sebanyak dua kali yang dilakukan Utsman bin Affan, agar ketika khatib duduk di mimbar semua jamaah sudah berada dalam masjid.

Selain tudingan lalim dan kafir kepada orang yang tidak sesekte, ada hal lain pula yang mengganggu pikiran kita mengenai pernyataan Allah Ta’ala tinggal di langit. Tuhan itu seumpama sesosok dewa yang mengamati makhluk-Nya dari atas sana. Bagaimana pemahaman semacam itu bisa timbul? Apakah keyakinan ini merujuk pada salah satu dasar ilmu filsafat Yunani, bahwa Tuhan tidak tahu perihal yang paling kecil? Dalam ilmu tauhid yang saya ketahui, Allah itu serba tahu segalanya dengan ruang gerak tidak terbatas. Dia serba maha yang tidak bisa dibatasi oleh manusia, bahkan oleh imajinasi sekalipun. Allah itu ada di mana-mana, ke mana pun wajah kita palingkan.

Memang ada bermacam jenis manusia yang menjadi teman kita dari berbagai latar budaya, agama, organisasi, sekte, ragam pendidikan, dan juga tingkatan usia, dengan ragam macam pikirannya pula. Terlebih di zaman internet seperti sekarang, hampir semua orang memiliki akun sosial media. Karenanya kesenjangan yang meresahkan kerap terjadi oleh adanya saling klaim dirinya paling suci, paling islami, paling benar, paling mengikuti al-Qur’an, dan paling sesuai sunnah nabi. Lantas menuding yang tidak sependapat sebagai bid’ah, kafir, dan ahlun nar. Selain mereka, seolah surga itu tidak ada kapling lagi bagi orang lain.

Ulama-ulama karbitan dunia maya pun lahir, seumpama tokoh ilustrasi di awal tulisan ini, yang rajin berkhotbah dan mengeluarkan fatwa-fatwa baru untuk memopulerkan dirinya atau juga mengandung maksud lain, yang disambut penuh takzim dan sukacita oleh para jamaah yang pikiran dan pengetahuannya dangkal. Karena terlalu awam, menurut Edi AH Iyubenu, mereka begitu mudah menerima fatwa-fatwa yang tanpa landasan, tidak memiliki sanad, yang berasal dari segelintir orang dengan alasan-alasan logika sekadarnya yang kemudian menjadi viral. Jadilah provokasi-provokasi yang sangat merugikan, tidak hanya bagi pemeluk agama lain, tetapi juga menciptakan kesenjangan antar-sesama pemeluk Islam sendiri.

Ragam macam masalah terkini, menyangkut khilafah yang menimbulkan masalah dan bencana, seharusnya tidak terjadi, sebagaimana istilah Islam radikal yang problematik, intoleran yang berubah radikalisasi, keresahan fatwa-fatwa Islam yang bertebaran bagai sampah, pemahaman bid’ah yang salah kaprah, mempertengkarkan suatu masalah yang tidak jelas, sifat ekstrem yang menghambat nalar, perilaku abal-abal bertolak belakang dengan ucapan, serta berbagai persoalan lainnya dengan konteks kekinian dalam masyarakat Indonesia.

Dalam Islam yang Menyenangkan, Edi AH Iyubenu mengungkapkan persoalan yang penuh pertentangan, baik sikap, perilaku, dan tindakan umat yang tidak lagi ideal, harmoni, dan menyenangkan. Munculnya sejumlah kelompok yang sengaja membuat perselisihan, mempermasalahkan persoalan-persoalan tidak penting, mendebatkan, membesar-besarkannya, seolah sengaja diciptakan, diorganisir, dan didukung suatu organisasi yang memiliki misi dan kepentingan politik atau sekte untuk menyebarkan suatu paham, menciptakan benturan-benturan, dan menimbulkan kerusuhan antar umat beragama, antar rakyat Indonesia yang mudah terpicu amarahnya.

Kiranya kehadiran Sultan Sulaiman dari Arab Saudi yang berkunjung ke Indonesia juga tidak sekadar kepentingan berinvestasi. Jikapun sekarang cuma bermaksud menanamkan modal, bisa jadi memiliki misi-misi berkelanjutan secara politik, ekonomi, budaya, dan tentu saja agama. Lagi pula paham “benar dan paling suci dakulah” itu sudah cukup merajalela, merambah berbagai lini, menguasai sejumlah media, dan mereka yang awam akan mudah ikut serta merusak sendi-sendi agama dan sendi-sendi negara yang memang tidak terlalu kukuh sejak awal mula terbentuk, karena memiliki rakyat yang majemuk dan terlalu rendah pengetahuan.

Terlepas dari itu semua, buku Islam yang Menyenangkan sangat cocok dibaca semua kalangan agar paham sejumlah persoalan umat yang sedang berlangsung sekarang, agar tahu bagaimana seharusnya bertindak dan bersikap. Jika Anda mampu memahami persoalan dunia setingkat isi buku ini saja, niscaya perbedaan apa pun, menyangkut pandangan politik, agama, ras, filsafat, mazhab, dan sebagainya, tidak bakal memicu perbuatan makar dan radikal. Terlepas dari Anda setuju atau tidak setuju dengan sejumlah pandangan dan pendapat buku ini.

Tentu saja, sebagaimana yang ditegaskan Edi AH Iyubenu di bukunya, tidak ada satu ajaran pun dalam Islam yang tidak memerintahkan umatnya untuk tidak menebar kebaikan bukan hanya kepada sesama iman, tetapi juga seluruh manusia lintas iman, bahkan lintas makhluk, alam, dan lingkungan.*

Arafat Nur
Latest posts by Arafat Nur (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!