
Musik rohani berbeda dengan musik pada umumnya. Musik kebanyakan menyentuh dan “mengusik” dimensi estetis pada pendengaran pemirsanya. Juga merambah pada getar-getar psikisnya. Itu sudah paling banter. Sedang musik rohani lebih menusuk pada keheningan hati dan keluasan serta keagungan padang roh.
Secara lahiriah, ekspresi musik rohani tidak jauh berbeda dengan musik kebanyakan. Yang membedakan dengan musik pada umumnya adalah adanya kekuatan makna dan nilai transendental yang bersemayam dengan kukuh di dalamnya.
Tidak setiap musik yang bernuansa Timur Tengah atau kearab-araban bisa disebut sebagai musik rohani. Sama sekali tidak. Malah sebaliknya: banyak di antara musik tersebut yang bernuansa profan. Menjadi bagian dari gemuruh segala yang fana.
Musik rohani juga disebut sebagai musik samawi. Musik langit. Musik transendental. Musik yang bisa eksis dengan hanya dihablurkan dari dua alat musik yang sangat sederhana: seruling dan rebab. Itulah musik rohani yang sumber estetisnya tak lain adalah gemuruh hati dan rohani yang sedang dicekam oleh gigil cinta dan kerinduan yang paling menyiksa dan menyakitkan.
Ketika Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273) sedang berada di tengah rimba musik samawi itu, beliau menjadi mabuk dengan anggur rohani, anggur keilahian yang kelezatannya tak akan pernah tertandingi oleh kelezatan anggur mana pun di dunia ini. Baik anggur yang merah, yang hitam maupun yang hijau.
Tetes-tetes air mata beliau yang merupakan bukti paling gamblang dan paling absah tentang bertahtanya cinta dan kerinduan di dalam hatinya terus-menerus berjatuhan satu demi satu, mengucur dari kesucian jiwanya dan melewati pelupuk kedua matanya.
Derita yang sangat menyayat hati lantaran perpisahan dengan Kekasih itu telah melahirkan dentingan musik samawi yang sungguh memilukan. Dan derita itu pula yang telah menggiring dan mendorong para pemabuk Ilahi untuk tercebur ke dalam telaga kemabukan yang begitu pedih sekaligus menggairahkan secara spiritual.
Ketika Maulana Jalaluddin Rumi itu sedang berada di bawah bimbingan guru rohaninya, Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi, beliau mendengar, menyimak, dan merasakan dentingan musik samawi itu sedemikian asyiknya, dari dimensi musikal rohani sang guru, dengan tanpa rebab, tanpa seruling dan tanpa alat musik apa pun yang lain. Itulah kemutlakan musik rohani. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-‘Abbas al-Amili #2 - 18 April 2025
- Syaikh Khalawi an-Nisaburi - 11 April 2025
- Syaikh Abu al-Fadhl as-Sarkhasi #2 - 28 March 2025