Nabi Syits

 

Dalam bahasa Ibrani, Syits bermakna karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia adalah orang pertama yang dianugerahkan oleh Allah kepada Nabi Adam setelah dicekam duka karena kehilangan Habil yang dibunuh oleh saudara kandungnya sendiri yang bernama Qabil karena dianggap menghalangi keinginannya untuk menikahi Iqlima yang tak lain adalah saudara kembar Qabil itu sendiri.

Saksi tentang kenabiannya adalah salah satu sabda Nabi Muhammad Saw. “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan 104 mushaf. 50 di antaranya diberikan kepada Syits ‘Alaihissalam.”

Ketika kematian hampir saja menyongsong Nabi Adam, beliau mengajarkan kepada Nabi Syits ilmu-ilmu tentang spiritualitas malam dan siang, juga ibadah-ibadah di siang dan malam hari. Beliau juga mengabarkan kepada putranya itu tentang akan terjadinya topan dan banjir bandang setelah mereka.

Nabi Adam adalah suatu person global yang martabatnya mencakup seluruh hierarki semesta. Dengan mendatangkan Nabi Syits melalui napas kemurahanNya,  berarti Allah menghendaki dimensi global pada diri Nabi Adam menjadi tercairkan. Nabi Syits adalah bagian dari dimensi rohani yang pernah dikandung oleh Nabi Adam dan kini dia sudah terealisasikan dalam rupa seorang nabi yang merupakan tanda nyata dari kemurahan Allah.

Dengan napas kemurahanNya itu, berarti Dia memfungsikan dua namaNya sekaligus, yaitu al-Wahhab dan  al-Jawwad.  Al-Wahhab bermakna Tuhan Yang Maha Pemberi, sedangkan al-Jawwad berarti Tuhan Yang Maha Dermawan.  Kedua nama agung ini berkaitan erat dengan dua namaNya yang lain, yaitu al-Mubdi’  yang bermakna Tuhan Yang Maha Memulai dan al-Khaliq yang bermakna Tuhan Maha Pencipta.

Al-Mubdi’ itu memiliki garis korelatif yang lurus dengan al-Khaliq. Sedangkan al-Wahhab memiliki garis korelatif yang lurus dengan al-Jawwad.

Dengan nama al-Mubdi’ itu berarti Allah memulai penciptaan segala sesuatu yang di dalamnya terealisasi juga nama al-Khaliq.

Tapi sesungguhnya secara filosofis, apakah yang telah benar-benar diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala itu? Bukankah secara hakiki segala sesuatu sebenarnya telah dikandung oleh hadiratNya?

Makna penciptaan di sini lebih menunjuk kepada aktivitas merealisasikannya Allah terhadap segala sesuatu yang dikehendaki yang terkandung dalam diriNya sendiri. Akan tetapi dengan segera di sini harus ditandaskan bahwa setelah segala sesuatu itu terealisasi menjadi alam semesta, tidak lantas semua itu berada di luar kandungan Allah Ta’ala. Semesta itu tetap dalam kandunganNya.

Hanya saja perbedaannya adalah bahwa sebelum diciptakan, semesta itu merupakan imajinasi Allah Ta’ala yang tidak tersentuh sama sekali oleh realitas. Dan setelah diciptakan, ia menjadi makhluk-makhlukNya yang nyata dan bisa diinvestigasi.

Berkaitan dengan realisasi nama Allah al-Mubdi’ dan al-Khaliq itu, dua hal berikut ini dapat dipastikan mutlak. Pertama, realisasi dari imajinasi suci Ilahi itu sama sekali tidak membutuhkan bahan apa pun. Ini jelas berbeda dengan para tukang yang menciptakan rumah di mana sebelumnya sudah ada bahan-bahan yang disediakan.

Kedua, “sebelum” penciptaan itu tidak ada waktu sama sekali. Karena jelas bahwa waktu itu merupakan anak kandung dari ruang. Kalau ruang tidak ada, kalau benda-benda tidak ada, bagaimana mungkin akan lahir waktu. Tak mungkin. Sebab, waktu dimungkinkan eksis untuk mengukur durasi ruang, untuk mengukur gerakan benda-benda. Itulah sebabnya kenapa kata “sebelum” di atas saya letakkan di antara dua tanda kutip.

Penciptaan di sini dapat dipahami sebagai suatu migrasi yang suci karena ditangani langsung oleh Ilahi. Yaitu, perpindahan dari alam imajinasi menuju alam realitas.

Tapi sesungguhnya dapat dikatakan bahwa bagi hadiratNya kedua hal tersebut sebenarnya sama. Karena tidak ada sedikit pun yang berubah antara yang diketahui dengan yang disaksikan di hadapan Allah Ta’ala. PengetahuanNya sangat paripurna jauh sebelum segala sesuatu itu ada sehingga tidak dimungkinkan untuk melenceng walau hanya satu inci.

Lantas kalau demikian, penciptaan itu sesungguhnya dari sesuatu yang tidak ada atau dari sesuatu yang sebenarnya sudah ada? Dua perspektif yang akan saya pakai akan melahirkan dua macam jawaban pula.

Pertama, bisa dikatakan bahwa penciptaan itu berasal-usul dari yang ada juga. Yakni, gambaran tentang alam semesta, segala sesuatu yang selain hadiratNya, yang dikandung begitu kukuh dan rapi di dalam diri Allah Ta’ala.

Kedua, berasal-usul dari yang tidak ada. Ini terutama kalau kata “ada” itu sendiri dinisbatkan kepada realitas alam semesta. Dalam konteks ini, alam semesta ini betul-betul baru. Dari tiada akan kembali tak ada. Tinggallah hakikat yang bersemayam di balik segala realitas yang akan terus bertahan dan ada. Abadi selamanya.

Ya Allah, tumpuan dari segala hidup kami, mohon dianugerahkan kepada kami keabadian di tengah gemuruh kefanaan, amin.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!