Jam menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Haji Nadzar belum juga beranjak dari kandang sapinya. Ia masih menatap dan mengelus-elus sapi sonok[1] kesayangannya yang tertidur pulas.
Tidak biasanya Haji Nadzar berada di kandang sapi sonok-nya hingga larut malam. Biasanya hanya pada malam Jum’at Kliwon dan pada malam pelaksanaan lomba sapi sonok saja ia bermalam di kandang sapinya, dengan merapal mantra agar sepasang sapinya menjadi yang terbaik pada saat lomba.
“Tapi sekarang kan malam Senin. Dan lomba sapi sonok masih tinggal dua bulan lagi. Lalu, kenapa hingga larut malam begini beliau belum juga beranjak dari kandang?” gumam Marduya, istrinya, memperhatikan suaminya dari celah-celah jendela kamar. “Apakah beliau tersinggung dengan ucapanku tempo hari?”
“Sudahlah, Bang, ikhlaskan saja sapi sonok itu untuk dikurbankan di hari Idul Adha nanti,” ujar Marduya beberapa waktu yang lalu saat Haji Nadzar sibuk membersihkan kandang sapinya yang kotor.
“Tapi, Lek,[2] sapi sonok itu kan sapi kesayanganku. Sapi sonok itu sudah kita rawat sejak masih kecil. Jangan lupa, sapi sonok itu banyak memberi pemasukan pada keuangan keluarga kita,” jelas Haji Nadzar.
“Iya, Bang, saya paham. Tapi, Jenengan kan sudah bernadzar,” potong Marduya.
“Berkat sapi sonok itu, kita jadi seperti sekarang ini, penuh dengan kemewahan. Keluarga kita tidak lagi disepelekan dan dihina karena terjerat dalam jurang kemiskinan,” tandas Haji Nadzar.
“Tapi Jenengan kan sudah bernadzar, kalau tahun lalu Jenengan berhasil berangkat naik haji, maka pada hari raya Idul Adha kali ini sapi sonok kesayangan Jenengan itu akan Jenengan kurbankan.”
“Iya, Lek, Abang tidak lupa dengan nadzar itu. Tapi, kan. Tapi, kan…,” kata Haji Nadzar, kikuk.
“Ingat, Bang. Nadzar itu wajib dilaksanakan. Bukankah orang yang rela berkurban juga akan mendapatkan anugerah berlipat ganda dari Yang Maha Kuasa?” sergah Marduyah. “Maaf, maaf, Bang, saya tidak bermaksud menggurui atau menceramahi Jenengan.”
Haji Nadzar, lelaki berkulit sawo matang itu, pusing, bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Dulu ia berani bernadzar seperti itu lantaran sudah putus asa dengan selalu ditundanya pemberangkatan dirinya ke Tanah Suci oleh pihak yang menangani pemberangkatannya ke kota Makkah. Padahal, sudah kelima kalinya ia gagal naik haji.
Waktu itu, Haji Nadzar benar-benar putus asa. Ia hanya tidak ingin seperti tetangganya, Mashudi dan Desiyatun. Tetangganya itu merupakan pasangan suami istri yang umurnya sudah uzur dan berasal dari keluarga kurang mampu. Mereka ingin sekali melaksanakan ibadah haji. Mereka rela bekerja siang dan malam, mengumpulkan uang agar niat mereka kesampaian. Dan usaha pasangan suami istri yang tidak mempunyai keturunan itu ada hasilnya. Setelah hampir sepuluh tahun menabung, akhirnya uang yang mereka kumpulkan itu cukup untuk mengantarkan ke tanah suci. Namun, pihak yang mengurus pemberangkatan mereka ke Arab Saudi terus-terusan menundanya, hingga akhirnya mereka meninggal dunia.
Haji Nadzar benar-benar putus asa. Bahkan, lelaki yang khas dengan peci putihnya itu pernah ingin membatalkan rencana ibadah hajinya itu.
“Mungkin belum waktunya tahun ini Jenengan menunaikan ibadah haji. Ditunggu saja, Bang. Mungkin saja tahun depan rezeki Jenengan,” Marduya mencoba menenangkan suaminya.
“Tapi, Lek, aku sudah lelah. Terlalu lama menunggu,” kata Haji Nadzar.
Dan, setelah berdiskusi panjang lebar dengan istrinya, akhirnya Haji Nadzar memutuskan untuk tetap melaksanakan ibadah haji. Ia pun bernadzar, “Kalau tahun ini aku berhasil berangkat ke Makkah, sapi sonok kesayanganku itu akan kukorbankan di hari raya Idul Adha nanti. Kamu saksinya.”
Marduya diam. Ia terkejut, dan tidak percaya bahwa suaminya akan bernadzar seekstrem itu. Karena, yang ia tahu, sapi sonok bernama Si Mat itu adalah sapi sonok kesayangan suaminya. Namun, nasi sudah jadi bubur. Suaminya telanjur mengucapkan nadzar itu. Ia hanya bisa berdoa dan berharap, semoga suaminya melaksanakan nadzarnya apabila tahun ini benar-benar berangkat ke kota kelahiran Nabi.
Namun, yang dikatakan Haji Nadzar itu hanya omong kosong belaka. Pada saat keinginannya itu terkabul, ia enggan melaksanakan nadzarnya.
“Aku baru rela dan ikhlas kehilangan Si Mat jika sapi sonok kesayanganku itu mati tidak dengan cara diracun atau disembelih,” berkata Haji Nadzar pada istrinya. “Kalau Si Mat mati karena sakit dan tidak ada obat, jamu, serta dokter hewan yang sanggup mengobatinya, aku baru ikhlas melepas kepergiannya,” sergah Haji Nadzar.
Ya, Haji Nadzar memang sangat sayang pada Si Mat. Ia menghabiskan banyak waktunya untuk merawat Si Mat. Setiap pagi ia menyabit rumput segar di sawah dan tegal miliknya untuk makanan Si Mat. Ia juga tidak lupa, sepekan sekali ia memberi sapi sonok-nya itu campuran rebusan daun sirih, gula aren, air, kunyit, jahe, madu, bawang, daun bawang, asam jawa, kelapa, dan telur. Dan juga, dua kali sebulan Si Mat diberi susu segar dicampur 25 butir kuning telur. Bahkan, ia meminta Mbah Hasan untuk menjadi dukun Si Mat.
Mbah Hasan memang dikenal sebagai dukun kondang yang bisa membuat wajah sapi cantik hingga tak jarang menjadi rebutan untuk dijadikan dukun pribadi. Meski bayarannya sangat mahal, Haji Nadzar tidak peduli. Ia rela merogoh kocek lebih dalam untuk membayar dukun sakti itu. Baginya, yang penting Si Mat jadi juara dalam setiap lomba. Tidak apa-apa, yang penting Si Mat selalu menjadi juara dan membuat saya senang, ujar Haji Nadzar pada tetangganya.
* * *
Cahaya bulan semakin redup. Tidak lama lagi suara adzan subuh berkumandang. Sementara itu, Haji Nadzar belum juga beranjak dari kandang sapi sonok-nya. Ia ketiduran dengan posisi duduk di kursi yang terbuat dari rotan, tepat di depan tempat makan Si Mat.
Sementara Haji Nadzar masih tertidur pulas di kandang sapinya, Marduya menangis di kamarnya. Semalam ia mimpi buruk. Dalam mimpinya itu, suaminya mati secara mengenaskan dengan darah mengalir deras dari sekujur tubuhnya. Suaminya tewas karena kecelakaan. Mobil pick up yang dikendarai suaminya terguling, dan terjun ke dalam jurang yang sangat dalam.
“Jenengan di mana, Bang?” Marduya memanggil Haji Nadzar. Ia baru sadar, ternyata suaminya tidak ada di sampingnya. Mungkin beliau sedang shalat subuh di masjid sebelah, pikirnya.
Sambil mengusap air mata, Marduya beranjak dari tempat tidurnya menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Setelah itu, ia shalat Subuh.
Habis shalat Subuh, Marduya langsung beranjak menuju beranda rumahnya, dengan harapan suaminya ada di sana. Namun, di sana hanya ada setengah cangkir kopi dan tiga batang rokok, serta beberapa pisang yang kulitnya berserakan di atas meja, sisa suaminya tadi malam. Ia makin cemas. “Tidak biasanya beliau pulang lebih dari jam enam pagi,” gumamnya.
* * *
Sudah hampir dua jam Marduya menunggu Haji Nadzar. Tapi suaminya itu belum juga kelihatan batang hidungnya. Mulai tadi ia mondar-mandir di beranda rumahnya. Perasaannya makin tak keruan. Mungkin beliau ada di kandang, pikirnya. Ia pun langsung beranjak ke kandang sapinya.
Dari jarak yang tidak begitu dekat, Marduya melihat suaminya sedang duduk di depan tempat makan sapinya. Ia lekas menghampiri.
“Bang,” Marduya membangunkan suaminya. Namun, tak ada respons.
“Bang. Abang,” ia kembali membangunkannya. Namun, Haji Nadzar tetap tidak bereaksi apa-apa. Matanya tetap terpejam. Mungkin beliau kecapaian, pikirnya.
“Bang. Bangun, Bang, sudah siang,” Kali ini ia mengguncang-guncang tubuh Haji Nadzar. Tetap tak ada respons. Ia mulai panik.
Dengan tangan gemetar, Marduya memegang pembuluh nadi Haji Nadzar. Dan ternyata tidak berdenyut. Dingin. Tubuh suaminya itu sedingin es. Ia makin panik. Keringat mulai bercucuran dari wajahnya.
“Tidak mungkin. Tidak mungkin,” teriak Marduya, menangis seraya mengguncang-guncang tubuh suaminya yang terduduk kaku di atas kursi.
Yogyakarta, 2013 – 2015
[1] Sapi yang diperlombakan dalam kesenian Madura. Sapi sonok menampilkan sepasang sapi betina yang telah terlatih menunjukkan kebolehannya melakukan gerakan-gerakan indah dan gemulai, dihias bak ratu kecantikan dengan dandanan menarik.
[2] Panggilan untuk istri atau seseorang yang lebih muda. Kata ini berasal dari kata alek, yang artinya “adik” (bahasa Madura).
- Nadzar Naik Haji - 25 September 2015