Mama berulang kali menenangkanku ketika, entah bagaimana, hari itu aku teringat Hendra. “Dia sudah tenang, Nai,” telapak tangannya yang mulai keriput mengelus-ngelus rambutku. Beberapa saat berselang, dengan lembut ia mengambil foto tunanganku—yang berpulang dalam kecelakaan satu pekan yang lalu—dari tanganku.
USIAKU SUDAH 37. Kupikir Hendra akan menjawab semua tuntutan Papa dan Mama tentang pernikahan, tapi …. Ah, sudahlah. Ingin sekali aku meminta Mama agar tidak memikirkanku, sebab aku tahu ia sungguh repot mengurus Papa karena belakangan kondisi laki-laki 65 tahun itu terus memburuk karena diabetes.
Sebagai sekretaris di perusahaan iklan yang selalu kebanjiran proyek di awal tahun, aku kesulitan meluangkan waktu khusus membantu Mama mengurus Papa. Untuk menebus perasaan bersalah, saban pulang—yang tak jarang pukul 8 malam—kusempatkan memijat kaki Papa meski hanya 10 menit. Aku tahu, dari binar matanya, Papa selalu menunggu itu. “Bagaimana pekerjaanmu?” begitu biasanya ia membuka percakapan. “Akhirnya ya, Nak ….” Kalimat itu pasti akan ia ucapkan juga. “Eh, kapan kamu dan Hendra foto prewed?” Aku sampai hafal kalimat pamungkasnya.
SEBULAN SETELAH kepergian Hendra, aku mendapat kabar gembira. Pertama, perusahaan kami baru saja ganti direktur. Sungguh, direktur lama dengan perangainya yang kelewat bossy-nya membuat seisi kantor muak. Kedua, aku diangkat jadi wakilnya. Ya, wakil direktur! Tak sanggup menyimpan gelegak bahagia sendirian, aku menelepon rumah. “Aku pulang cepat, Pa,” seruku antusias.
Mama dan Papa saling toleh ketika aku mengatakannya beberapa saat setelah masuk kamar tempat Papa terbaring dengan kaki kanan—yang tak kunjung sembuh dari luka—terbalut perban. “Aku menjadi wakil direktur!” ulangku lagi.
Mama memaksakan diri untuk tersenyum (aku tahu itu, Ma!). “Alhamdulillah, selamat ya, Sayang,” ia mencium keningku. “Papa ikut senang. Mereka memilih orang yang tepat,” Papa berusaha kelihatan antusias tapi gagal.
Aku memandang mereka bergantian. “Papa dan Mama pasti mengira aku sudah menemukan pengganti Hendra, begitu, ‘kan?!” Aku keluar kamar dan tidak menggubris panggilan Mama.
AKU MEMILIH menenggelamkan diri dalam tumpukan pekerjaan. Lembur yang selalu kuhindari, kini malah kucari-cari. “Kalau ada masalah, sibuk di kantor bukan solusi,” kata Pak Fras suatu malam ketika kami keluar kantor pukul 10.
Laki-laki 55 tahun itu, kini baru kusadari, adalah alasan utamaku betah di kantor. Penampilannya yang flamboyan, dingin, mata elangnya, dan pembawaannya yang tenang-tapi-meyakinkan selalu berhasil membawaku kepada Hendra. Salahkah aku menyukai duda seumuran Mama?
Mama dan Papa pasti merasakan perubahanku. Tapi, seperti menyadari kesalahan, mereka memilih diam. Mungkin mereka sedang menunggu waktu yang tepat untuk mengajakku bicara. Kondisi Papa sendiri makin parah. Ia sudah tak sanggup duduk lama. Luka di kakinya terus berair dan melebar. Belakangan, Papa juga kena stroke.
Beberapa hari kemudian … aku mendapatkan jejak panggilan tak terjawab di layar ponsel. “Papamu sudah pergi, Nai,” kata Mama begitu kutelepon balik. Suara Mama terdengar jelas, seolah-olah ia sudah menyiapkan semuanya. Giliran aku yang meraung-raung karena tak rela menjadi korban penyesalan.
“MA, SORE ini temanin aku ke mal ya?”
Mama memandangku tak percaya.
“Mama pasti bosan, ‘kan, melihatku mengurung diri hampir sebulan?”
Mama mengangguk. Tersenyum. Tentu ia senang mendapati putri semata wayangnya sudah move on.
Pukul lima sore, kami sudah tiba di mal terbesar di kota ini. Entah bagaimana, aku melihat Pak Fras yang sibuk dengan ponselnya di depan sebuah restoran. Meski sudah mengajukan cuti sebulan, aku tak ingin bertemu dengannya. Jangan-jangan dia salah paham menganggapku cuti untuk senang-senang—meski itu tidak dilarang. Baru saja aku hendak mengajak Mama putar balik, suara bariton memanggil sebuah nama.
Bukan Naila, tapi Rianti.
Bagaimana Pak Fras bisa mengenal Mama?
Mama tak kalah terkejut. Kami berpandangan lama, sebelum Mama mengerutkan kening ke arah direkturku itu.
“Masa kamu lupa?” Pak Fras tersenyum lebar.
Mama menepuk jidat, lalu mereka berdua tertawa. Mereka bersalaman tanpa melepas tatapan. Wajah Mama merona tiba-tiba.
Kami pun makan malam bersama.
“Cerita saja, Fras,” kata Mama begitu hidangan pencuci mulut dihidangkan.
“Putri kita harusnya sebaya,” suara Pak Fras terdengar mengadu. Lalu cerita-ceritanya mengalir: tentang pernikahan mereka yang tak sampai dua tahun usianya dan kekalahannya mendapatkan hak asuh sekaligus tak mendapat akses bertemu darah dagingnya karena istrinya membawa pergi anaknya entah ke mana.
Mama menyimaknya dengan saksama. Penuh simpati dan empati. Sejak kepergian Papa, baru kali ini aku melihat wajah Mama sebercahaya itu.
Aku mengendus sesuatu yang sedang merekah.
Sejak itu, aku tiba-tiba menjadi asing.
Pak Fras sering menanyakan kabar Mama. Lalu, tak sekali-dua ia mengunjungi kami dan minum teh berdua saja dengan Mama di beranda, atau mengajak kami jalan-jalan tiap akhir pekan—belakangan aku mengarang banyak alasan karena sadar kalau kehadiranku adalah nyamuk bagi dua orang yang kasmaran.
KAMI BERTENGKAR hebat. Aku menceracau (ya, aku menyadarinya!) dan menuding Mama terlalu cepat melupakan Papa. Mama meminta maaf dan berjanji akan berubah. Tapi, lahar di dadaku telanjur meluap dan aku gagal membuatnya tidak tumpah. “Siapa Pak Fras itu, Ma?” tatapanku tajam dan menghunjam Mama yang hanya tertunduk. “Mustahil dia hanya teman satu sekolah.”
Mama memilih diam, seolah-olah tahu kalau semuanya akan terbakar kalau ia membalas omonganku barang sepatah kata saja.
“Mama mau ngomong?” katanya setelah sepuluh menit kami larut dalam keheningan. “Fras baru menceritakan semuanya tadi.”
Lalu?
“Kalau Mama tahu semuanya dari awal, Mama akan tahu diri, Nai.”
Aku belum mengerti.
“Karyawan-karyawan di kantormu itu bukan manekin. Mereka manusia.”
Perasaanku mulai tak enak.
“Mereka punya mata, mulut, dan hak untuk berprasangka,” Mama sengaja memberi jeda, “dan Fras ada di antara mereka, di tengah-tengah mereka. Tak ada desas-desus yang tak sampai ke telinga si direktur.”
Aku tercekat.
“Sebagaimana orang-orang kantor, Fras tahu kalau kamu menyukainya, Nai.”
Aku membuang muka. Malu dan … oh, aku tidak tahu, mau bilang apa.
“Fras ternyata egois dan tidak bisa menjaga perasaan wanita, Nai!”
“Ma …,” suaraku serak.
“Mama baru saja memintanya enyah. Dari kehidupan Mama. Dari kehidupan kita.”
“Ma ….”
“Kalau kau masih mau mendengarkan Mama,” suara Mama berubah jadi tegas, “keluarlah dari kantor itu, Nai.”
Tapi, aku menolak menerima semuanya mentah-mentah. “Boleh aku bertanya satu hal, Ma?” aku mencari-cari mata Mama.
Mama mengangguk.
“Janji Mama akan jujur?”
Mama kembali mengangguk.
“Siapa Pak Fras itu, Ma?”
“Kau perlu berapa kali konfirmasi, Nai?”
“Cinta pertama atau cinta sejati atau cinta terpendam atau …?
“Nak!”
“Aku muak oleh hal-hal yang tidak pasti, Ma,” suaraku meninggi, tapi mulai parau. “Kalau semuanya sudah hancur, paling tidak kita masih bisa jujur sebagai ibu dan anak.”
Mama mematung.
“Jawablah, Ma,” aku menggoyang-goyangkan bahunya dengan kedua tanganku. “Siapa Pak Fras itu?”
Mama balas menatapku, seperti menantang.
“Cinta pertama Mama atau cinta sejati Mama atau cinta terpendam Mama atau …?”
Bahu Mama turun-naik.
“Cinta pertama?”
Mama menggeleng.
“Cinta sejati?”
Kembali menggeleng.
“Cinta terpendam?”
Juga menggeleng.
“Lalu …?”
“Ketiga-tiganya!”
“Mama …”
“Ya, Nai,” suara Mama ditegar-tegarkan. “Ketiga-tiganya!”
AKU MENCOBA berdamai. Aku pun mengakui kekhilafanku dan meminta maaf kepada Mama. “Tidak ada yang lebih berharga hari ini, kecuali kamu, Nai,” Mama menarikku dalam pelukan.
Malam itu kami menangis lama sekali dan terlelap di ranjang yang sama di kamar Mama sebelum nada pesan WhatsApp di ponsel Mama membangunkanku tengah malam. “Kamu cinta matiku, Rianti. Jangan memaksaku menyukai, apalagi mencintai putrimu. Aku tidak bisa dan jangan membuatku gila!” bergetar aku membaca pesan dari Pak Fras itu.
Aku tersulut memeriksa semua percakapan mereka. Benar saja: aku menangkap kegembiraan Mama berbunga-bunga di sana. Dan begitu kualihkan pandanganku ke wajah Mama yang sedang terlelap, gurat kelelahan bertabrakan di pipi dan keningnya. Kamu berhak untuk bahagia, Ma, lirihku, antara rela dan iba. Aku tak ingin menghancurkan Mama. Aku tidak boleh egois dan harus tahu diri. Aku berjingkat keluar kamar dan membereskan pakaian di kamarku.
MULANYA AKU menepi hanya untuk sementara. Aku akan kembali begitu semuanya baik-baik saja (walau aku tak tahu, kapan itu dan bagaimana itu bisa terjadi). Aku sudah menyiapkan diri apabila:
Pertama, mungkin nanti Mama sudah hidup bersama Pak Fras;
Kedua, Mama merelakan dirinya menderita demi menenggangku, sebelum telepon dari seorang kerabat membuatku tahu kalau selama ini Mama memilih yang kedua: “Dia jatuh di kamar mandi. Mau kami makamkan segera atau menunggu kamu pulang, Nai?”***
Musirawas, Mei—Desember 2020
- Hamidah Hamiduh - 22 July 2022
- Tujuh Babak Cerita Jelang Malam Pertama - 15 April 2022
- Nai, Ibu - 7 January 2022
Pipinana
Maaf, mau tanya, untuk cerpen di Basabasi.co itu boleh pakai genre fanfiction, gak sih?
Kalau misal gak boleh, genre apa saja yang diperbolehkan?
🙏🙏
Jurun Elsadhi Palungan
Sepertinya boleh, pihak basa-basi tidak mencantumkan syarat genre. Tapi saya pernah baca salah satu cerpen di website ini, yang bergenre fantasi.
Susanto
Cerpen yang keren.
Fihaiki Harlan
sangay bagus dan terus menulis
A. Sasa
Harusnya mama menikah saja. Mungkin mama lupa bahwa setiap orang harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Bahkan jika kita sedarah, bukan tanggung jawab mama jika aku bahagia atau tidak.
Seseorang hanya bisa memberi apa yg ia miliki. Jika ingin memberi kebahagiaan, maka ia harus membahagiakan dirinya terlebih dahulu. I love you, Ma.
penawa
Cerpen yang sangat menarik.