Judul : Perihal Nama
Penulis : Widyanuari Eko Putra
Penerbit : Kelab Buku
Cetakan I : 2018
Halaman : 170 halaman
ISBN : 978-602-6773-15-9
/1/
Kanon: tokoh sebagai nama
Dalam sastra, dalam tradisi budaya apa pun, selalu mempunyai sejenis kanon: karya yang diposisikan di atas, dijadikan rujukan, dan tentu saja terus dibaca dan dibaca, baik sebagai pengajaran-pendidikan atau sebagai patokan proses penciptaan karya sastra. Nama dan pokok menjadi acuan bahkan rumah bagi budaya pemangku karya kanon itu. Tentu, kanon sastra selalu berubah mengikuti arus kuasa budaya: agama, kerajaan-negara, etnisitas, estetika, bahkan atas nama pemberontakan.
Tradisi sastra di Indonesia mengalami pengurangan tokoh dan nama yang sangat drastis saat mematok dan menjadikan sastra modern Indonesia sebagai kanon utama dalam sistem pengajaran di sekolah bahkan di kampus di Indonesia. Nama-nama yang sudah dan pernah digunakan dalam sastra klasik banyak yang sudah tidak hidup lagi dalam imajinasi publik. Jangkauan tokoh dan nama yang sudah jadi dalam sastra klasik seakan terabaikan dalam sastra modern Indonesia, meski sesekali masih muncul ke permukaan.
Semua itu terpantul dalam karya Widyanuari Perihal Nama (2018). Para tokoh sastrawan yang disebut Widyanuari, khususnya dalam esai nama tokoh dalam prosa, berasal dari khazanah sastra modern Indonesia, terutama dari para sastrawan yang sudah jadi “sastra kanon” dalam sastra modern Indonesia. Nama-nama tokoh dalam karya sastra, sebagaimana dicatat Widyanuari, adalah nama-nama baru yang sebagian besar sudah terlepas dari khazanah sastra klasik.
Saat pertama kali membaca naskah buku Widyanuari, yang masuk dalam pikiranku adalah buku A. Teeuw: Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru (1958). Bisa dikatakan, inilah salah satu buku yang mencoba mengkanonkan sastra Indonesia modern. Tentu saja, berbeda dengan pendekatan Widyanuari, A. Teeuw membahas karya para sastrawan (tokoh) yang dianggapnya pantas (kanon) sebagai pokok. Widyanuari mencoba lebih ke dalam lagi: memasuki nama-nama dalam karya sastra sebagai pokok, meski tokoh yang sudah digariskan A. Teeuw masih tampak terlihat.
Yang bagiku menarik setelah selesai membaca buku Widyanuari adalah bahwa begitu berbeda perlakuan Widyanuari terhadap nama-nama dalam karya berbentuk prosa dan nama-nama dalam puisi.
/2/
Prosa: nama sebagai tokoh
Prosa, secara stilistik, memang sangat berurusan dengan penokohan para tokohnya. Dengan kemampuan yang bisa memadukan sisi ragawi dan psikologis para tokohnya dan kemungkinan menulis dalam lembaran-lembaran yang ekstensif, para penulis prosa seakan dipaksa membentuk para tokohnya sedemikian rupa dan citra. Tentu saja, pembuatan nama jadi satu sisi penokohan yang sangat penting. Apalagi kita mempunyai tradisi penamaan yang sangat kaya dengan berbagai pengaruh dari berbagai agama dan khazanah bahasa. Nama menjadi tokoh dengan berbagai tautan sejarah dan budaya. Maka, nama tokoh-pokok dalam prosa sastra modern Indonesia sangat kaya, tentu saja. Apa yang telah dilakukan Widyanuari adalah usaha awal untuk memasuki dan menjelaskan sebagian saja.
Dalam pencarian dan pencatatan Widyanuari, nama-nama para tokoh dalam prosa sastra modern Indonesia berangkat dari berbagai kepentingan: kolonialisme, politik ideologis, identitas budaya, dan seterusnya sampai sekadar iseng tapi tak bisa diremehkan. Nama adalah pokok sekaligus menjadi sejenis citra-diri sang tokoh, yang akan jadi lain jika diberi nama yang berbeda.
/3/
Puisi: nama sebagai dialog interteks
Berbeda dengan pelacakan nama-nama dalam prosa, Widyanuari memasuki khazanah nama dalam puisi bukan melalui penokohan dalam teks puisi itu sendiri, tapi melalui pencatutan nama dalam judul atau persembahan. Puisi modern Indonesia memang mempunyai satu kecenderungan yang sangat mencolok: tanpa tokoh, yang tentu saja tidak perlu dijabarkan secara ekstensif. Tokoh utama dalam puisi sastra Indonesia modern, kalau memang masih bisa disebut tokoh, adalah “aku-lirik”. Hampir dapat dipastikan bahwa “aku-lirik” sudah menjadi doktrin dan dogma dalam tradisi puisi modern Indonesia. Dan ini sungguh membosankan, tidak kreatif, monoton, dan kita sungguh tidak akan ingat para gerombolan aku-lirik sejak Chairil Anwar sampai entah siapa di masa depan.
Maka, sudah jelas Widyanuari tidak akan mengulas nama tokoh dalam puisi modern Indonesia. Sebagai gantinya, dia mencatat, menelusuri, dan mengulas pertautan nama-nama yang dicatut dalam puisi. Dari dan dalam pencatatan Widyanuari, tampak sekali bahwa nama-nama dalam puisi menjadi jalur perjumpaan para penyair dengan para penyair lain atau medium lain: entah melalui perjumpaan ragawi, pembacaan puisi atas puisi, atau pembacaan melalui puisi atas medium lain seperti lukisan, film, lirik lagu. Nama adalah sejenis pertautan interteks yang terjadi antara puisi dengan sosok, puisi, atau medium lain.
/4/
Struktur kanon sastra modern Indonesia
Dari dua penjelajahan dalam prosa dan puisi, kita diberi tahu Widyanuari bahwa pembacaan karya prosa sebenarnya jauh lebih kaya dalam hal muatan intelektualitas dan budaya. Sedangkan dalam puisi yang seakan tak butuh tokoh, yang paling tampak adalah jalinan perjumpaan personal para penyair dengan lingkungan mereka dan tak begitu mengharuskan pertautan intelektualitas yang harus ditubuhkan dalam puisi. Nama dalam prosa adalah nama dalam dirinya sendiri; nama dalam puisi adalah dialog dengan dunia luar. Inilah struktur kanon sastra modern Indonesia, yang sudah berhasil ditelisik Widyanuari dalam Perihal Nama ini.
- Memikirkan Ulang Gaya Hidup Religius - 30 November 2019
- Sang Pembaca Terhormat - 11 February 2019
- Nama dan Pokok, Prosa dan Puisi - 13 October 2018