Namaku Bonita

@avifahve

AKU baru keluar dari semak-semak menuju jalan setapak itu ketika puluhan manusia dari jarak sekitar dua puluh lompatan, sudah berdiri berkeliling. Siang yang malang, dan inilah mungkin akhir dari perjalanan hidupku. Beberapa dari mereka menodongkan senjata laras panjang. Salah satunya seorang wanita. Aku belum pernah melihatnya. Ketika mereka menembakku beberapa pekan lalu, tak ada wanita itu dalam rombongan.

“Siap siaga, jangan sampai Bonita lolos!” Seseorang berkata, lelaki berkumis tebal dengan senjata laras panjang ada di tangannya mengarah ke diriku.

Dan… tiba-tiba terdengar bunyi letusan. Beberapa saat kemudian ada yang masuk ke dalam tubuhku. Tepatnya di pinggulku. Aku sudah berusaha melompat ketika suara tembakan itu terdengar. Namun kecepatan lompatanku kalah oleh kecepatan senjata itu.

Kulihat pinggulku, ada benda yang menempel. Tak terasa sakit benar. Namun, pelan-pelan, pandangan mataku kabur. Ingatanku pelan-pelan juga berkurang. Setelah itu, semua kelihatan gelap. Lalu, aku semakin kehilangan ingatan. Kemudian tubuhku terasa melayang. Aku tak ingat apa-apa lagi. Aku seperti sedang berada di alam yang tak nyata.

***

DUA hari yang lalu keputusan itu dibuat. Aku harus berada di luar wilayah kekuasaan ayahku. Menjauh dari habitat dalam 360 hitungan malam. Jika aku terlihat oleh ayahku, atau siapa pun dalam wilayah kekuasaan ayahku, maka hukuman yang lebih berat akan diputuskan lagi.

“Ini masih hukuman ringan, meskipun apa yang kamu lakukan sejatinya sangat berat dan berbahaya bagi kita semua,” kata Ayah dengan suara serak namun penuh wibawa. “Sejak salah satu dari kita menerkam manusia bernama Pardomuan Lubis di kawasan Tesso Nilo, kita sudah sepakat untuk tidak melakukan penyerangan lagi. Sejak itu kita diburu di mana-mana.”

“Tapi dia masih muda. Dia belum lahir ketika kejadian itu.” Terdengar suara ibuku.

“Tapi aku sudah menyampaikan ini berulang kali. Sudah kukatakan, jangan keluar dari habitat kita.”

“Kita kesulitan makanan di sini,” kembali ibuku bersuara.

“Iya. Wilayah kita semakin sempit. Kita kesulitan mendapatkan hewan buruan untuk makanan kita.” Yang ini suara kakak lelakiku. “Lama-lama kita akan mati jika seperti ini terus-menerus. Di bagian barat, hutan di sana sudah menjadi kebun sawit. Begitu juga di bagian timur dan selatan. Sedang di utara sudah ditebang, ditanami tanaman muda. Kita semakin tak punya tempat untuk hidup.”

“Iya. Semuanya benar. Tetapi tidak benar ketika salah satu dari kita keluar ke sana dan menyerang manusia.”

“Aku membela diri, Ayah…,” kataku berusaha menekan suara.

Tiba-tiba, tatapan Ayah tajam ke arahku. Beberapa saat tatapan itu seolah menghunjam jantungku. Aku tak berani membalas tatapan itu.

“Tak ada istilah membela diri. Kau keluar dari habitat. Kau menyerang perempuan pekerja dan lelaki pencari ikan itu. Jika membela diri, mereka yang menyerang lebih dulu. Mereka pekerja dan nelayan. Tak bersenjata. Itu yang kau bilang membela diri?”

“Aku marah karena mereka menjerat Oakak sampai mati sekian waktu lalu. Aku melihat sendiri. Aku berada tak jauh dari tempat dia kena jebakan. Aku melihat semua perlakuan manusia terhadap Kakak ketika itu. Aku ingin sekali menyerang mereka, tetapi mereka berjumlah banyak.”

Mendengar itu, pelan-pelan Ayah memandang ke arah lain. Aku tahu, dia pasti masih ingat bagaimana kakak tertuaku mati dalam keadaan sengsara. Mengenaskan. Terjerat jebakan sling di sebuah kebun sawit. Kemudian dia dibunuh secara sadis. Kulitnya disayat. Katanya bisa dijual dengan harga mahal. Entah untuk apa. Kepala kakakku dipenggal, diawetkan. Katanya dijadikan hiasan di rumah-rumah para kolektor yang kebanyakan jendral. Tubuhnya kemudian dibuang dan membusuk di hutan di pinggir kebun sawit itu.

 Aku menangis ketika itu. Berhari-hari aku menunggui mayat kakakku yang tanpa kepala dan kulit itu. Aku tak bisa membawanya ke hadapan ayah. Aku tak kuat. Yang ada dalam diriku adalah kemarahan dan rasa dendam. Sejak itu, aku bertekad akan membalaskan atas kekejaman yang dialami kakakku. Aku akan menyerang siapa pun manusia pertama yang akan kutemui ketika niat untuk balas dendam itu datang.

“Lalu karena itu kamu dendam?” kata Ayah dengan suara agak pelan, seperti menahan rasa sedih.

“Iya, Ayah.…”

“Sejak kapan aku ajari kau menjadi pendendam? Jika dendam itu selalu kita tanamkan di hati kita, bisa saja kita keluar hutan ramai-ramai dan menyerang bangsa manusia bersama-sama. Tapi apakah itu menyelesaikan persoalan?”

“Sekali lagi, bagiku itu membela diri, Ayah.…”

“Tidak!” Suara itu kembali terdengar menggelegar meski agak parau. Aku tak berani menjawab lagi. Aku tetap dipersalahkan. Harus menerima hukuman. Dijauhkan dari keluarga dan habitatku.

“Kita harus melupakan dendam itu. Di luar sana, masih banyak manusia yang baik, yang berjuang agar habitat kita tetap terjaga. Mereka bekerja keras agar ada kawasan hutan yang disisakan untuk kita meski terus diusik oleh manusia-manusia tamak yang ingin meluaskan kebun sawit atau kebun kayu untuk dijadikan kertas. Ini keputusanku: mulai besok kau harus keluar dari  keluarga ini. Kau harus hidup mandiri, jauh dari habitat. Kau boleh berjalan jauh, menyeberang ke Bukit Bataboh, Kerumutan, atau Rimbang Baling. Jika kau terlihat berkeliaran di Bukittigapuluh lagi, maka hukuman lebih berat akan kuputuskan,”

“Dia belum bisa hidup mandiri.” Kembali ibu membelaku.

“Hukuman ini akan membuat dia mandiri dan memahami nilai-nilai luhur yang kita pegang selama ini. Gara-gara dia kini kita diburu di mana-mana. Kita memang hewan, tetapi kita tak pantas diperlakukan seperti itu. Kita tak pantas jadi perburuan.”

“Dia sedih atas kematian kakaknya yang naas itu,” kata ibuku lagi. “Dia membunuh bangsa manusia itu dengan alasan yang kuat….”

“Tapi tidak karena dendam! Dia menyerang dan membunuh manusia perempuan. Terbayang bagimu kalau dia punya anak-anak yang butuh makan sehari-hari dan perlindungan dari ibunya? Terbayang bagimu dia bekerja untuk melindungi keluarganya agar tak kelaparan?”

Aku mendengar suara keras namun tertahan itu. Aku tahu, selama ini Ayah menyimpan kesedihan itu. Kesedihan kehilangan kakakku dengan cara dibantai sesadis itu. Tapi Ayah bisa mengatasi itu.

Dan beginilah nasibku. Aku terima hukuman ini.

***

AKU ingin bercerita padamu tentang mengapa aku harus dihukum oleh ayahku, penguasa rimba Bukittigapuluh. Aku bukan bermaksud membela diri. Memang benar, aku mengaku salah. Menyerang manusia adalah kesalahan. Aku bilang ke ayahku kalau aku membela diri. Bukan karena mereka—seorang perempuan pekerja penanam bibit kayu dan seorang lelaki nelayan di pinggir sungai—yang menyerangku lebih dulu. Aku membela diri karena kematian tragis kakakku. Aku juga marah karena habitat kami mereka ambil. Mereka berada di wilayah yang dulu menjadi kekuasaan ayahku.

Ayah tidak menilai hal ini sebagai sebuah pembelaan. Dia menganggap, membela diri itu kalau ada yang menyerang lebih dulu.

Pagi itu, setelah semalaman aku berpikir, akhirnya aku keluar dari hutan.  Aku sudah tak kuat lagi menahan kemarahanku. Aku harus melakukan sesuatu. Aku menuju ke utara, ke arah hutan yang sudah ditebang dan akan ditanami batang-batang kayu muda, yang kata ayahku, akan dijadikan bahan baku untuk pembuatan kertas.

Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari ke arah puluhan pekerja. Mereka berlari menyelamatkan diri sambil berteriak dan menjerit. Entah setan dari mana yang datang, aku terus memburu manusia yang terdekat denganku. Seorang perempuan. Aku tak peduli siapa dia. Dia yang paling lambat larinya. Aku langsung memukulnya dengan kaki kanan depanku. Dia terjatuh dengan luka berdarah akibat kukuku di kakinya. Aku langsung menyayatnya. Beberapa kali. Daging kaki kanannya terkelupas hingga kulihat tulangnya. Dia mengerang kesakitan. Aku semakin beringas. Kuterkam lehernya dengan gigitan. Beberapa saat setelah itu dia tak bergerak. Tak lama kemudian aku berjalan pelan ke arah hutan.

Entah mengapa, rasa marahku masih belum reda meski aku berusaha keras untuk menyelesaikan dendam dan amarah itu. Beberapa hari kemudian, aku mencari minum ke luar hutan. Di sebuah sungai kecil. Jaraknya lumayan jauh dari tempat aku menerkam perempuan itu. Ketika aku minum, aku mendengar suara manusia. Rupanya ada dua orang sedang mencari ikan. Kembali, kemarahanku membuncah melihat bangsa manusia itu. Spontan saja, pikiranku tak bisa mengontrol hatiku. Aku langsung memburu kedua orang itu. Aku melukai salah seorangnya. Namun dia berhasil masuk sungai. Sedang seorang lainnya ketakutan dan tak melakukan apa-apa. Tanpa rasa kasihan, kuterkam lelaki itu di bagian lehernya. Setelah tak bergerak, baru kulepaskan. Setelah itu aku pergi menjauhi tempat itu.

Aku menyesal. Sangat menyesal. Ayah marah besar. Ibu juga. Kakakku sempat bilang kalau aku betina binal, tak seharusnya melakukan itu. Kata Ayah, seluruh hewan di rimba yang kami tinggali banyak yang marah dengan apa yang kulakukan. Mereka takut bangsa manusia akan marah dan melakukan perburuan besar-besaran.

“Apa yang kau lakukan sungguh keterlaluan. Dua manusia mati di tanganmu. Kita dalam bahaya besar kalau sampai bangsa manusia marah dan balas dendam!” kata Ayah murka.

Aku kemudian pergi menyendiri. Aku keluar ke kebun sawit di sebelah barat. Perlu perjalanan semalam sampai ke sana. Ketika aku menyeberangi jalan, tiba-tiba sebuah benda menempel ke badanku. Sebelumnya terdengar sebuah suara tembakan. Mungkin benda itulah yang ditembakkan ke tubuhku. Dengan sigap, kubuang benda itu. Sebuah tabung lancip dengan cairan di dalamnya. Aku tak tahu benda apa itu. Setelah itu aku berlari masuk hutan lagi. Kulihat ada banyak orang dengan senjata laras panjang. Aku berhasil lolos dari kepungan mereka.

Benar kata Ayah, bangsa manusia marah. Mereka mengejarku. Memburuku. Aku harus masuk hutan lagi dan menjauhi mereka. Aku tak boleh keluar ke kebun sawit atau kebun kayu lagi.

Beberapa hari setelah Ayah memutuskan menghukumku, aku melakukan perjalanan ke arah barat, arah hutan Kerumutan (itu nama yang diberikan oleh bangsa manusia). Untuk sampai ke sana, aku harus melewati kebun sawit yang luasnya ratusan hektare. Di sinilah nasib apesku datang. Aku kena tembakan dari seorang wanita yang ketika mereka menembakku pertama dulu, dia tak ada. Agaknya wanita ini sangat lihai dan terlatih. Tembakannya tepat di pinggulku. Dan belum sempat aku berusaha membuang benda yang menempel di pinggulku itu, aku keburu tak ingat apa-apa lagi.

Dan beginilah nasibku. Aku pingsan. Mungkin juga mati.

***

AKU terbangun. Ternyata aku tak mati. Hanya pingsan. Kepalaku masih terasa pusing tapi pandangan mataku mulai jelas. Aku berada di sebuah kotak dengan jeruji besi di sekelilingku. Tampaknya jeruji ini sangat kuat. Mereka membawaku dengan sebuah mobil bak terbuka sehingga aku bisa melihat ke belakang. Tiga bagian lainnya, kanan, kiri, dan depan, ditutup dinding. Juga dari besi. Kulihat beberapa  mobil ada di belakang mobil bak terbuka ini. Jalanan tanah yang kering membuat debu beterbangan.

Aku tak tahu akan dibawa ke mana. Aku menunggu nasib.

***

LIMA mobil yang semuanya dobel gardan bak terbuka itu berhenti dengan posisi seperti berbaris lurus. Kepulan abu tanah masih terlihat ditiup angin siang yang terik di jalan tanah itu. Di kanan kiri terlihat pohon-pohon besar sudah bertumbangan. Sejauh mata memandang terlihat pohon-pohon tumbang itu. Tampaknya belum lama penebangan itu dilakukan.

Di mobil paling depan, dokter hewan Andita Septiandini terlihat tetap tenang meski lelaki di sebelahnya yang mengemudikan mobil terlihat gelisah. Sudah lebih sepuluh menit mereka berhenti. Menunggu. Tanpa melakukan apa-apa. Tak satu pun penumpang di lima mobil itu yang turun. Mereka adalah tim yang dibentuk untuk memburu Bonita, harimau pemangsa dua orang yang meresahkan warga di Pelangiran, Indragiri Hilir. Gara-bara Bonita berkeliaran, anak-anak sekolah hampir sebulan ini diliburkan. Warga juga ketakutan pergi ke ladang untuk menakik getah karet maupun memanen sawit.

“Itu induk Bonita. Dia membawa semua harimau dari Bukittigapuluh. Dia tahu Bonita tertangkap,” kata dokter Andita. Dia sudah lama meneliti perilaku harimau di kawasan ini.

Di depan, ada tujuh harimau dengan besaran bervariasi. Mereka berdiri menutup jalan. Berbaris rapat dengan kepala menghadap ke arah mobil.

“Apa yang harus kita lakukan?” tanya si lelaki di belakang kemudi.

“Kita tunggu saja. Kasih tahu seluruh anggota tim untuk tidak keluar mobil. Tapi harus siaga dengan senjata.”

“Baik, Bu.”

Namun, baru saja lelaki itu hendak mengambil hendy talking-nya, tiba-tiba seluruh harimau itu berlari ke arah mobil, seperti melakukan serangan secara mendadak. Dokter Andita dan lelaki itu terlihat panik. Juga semua yang berada di dalam mobil masing-masing….***

Pekanbaru, 2 Mei 2018

Hary B Koriun
Latest posts by Hary B Koriun (see all)

Comments

  1. Anonymous Reply

    paragraf terakhir yang menyentak sekaligus menyentuh. aku suka.

  2. Anonymous Reply

    Bacaan yang apik, penuh makna, bagus banget, terharuh bacanya

  3. Habibah Reply

    Menginspirasi nilai nilai moral yang bisa dipetik dari alur ceritanya….

  4. Tina Harianti Reply

    Kereeeen pak hary

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!