Namaku Bumi

deviantart.net

“Seorang penyanyi pernah menyanyikan sebuah lagu yang sangat sedih. Namun liriknya sangat indah dan menyentuh hati. Salah satu liriknya, ‘Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang’. Aku sangat suka bagian itu,” kataku yang melilit sulur panjang tanaman rambat menjadi sebuah lingkaran utuh.

“Kenapa Kakak suka bagian itu?” tanya anak laki-laki berumur 10 tahun yang duduk manis menghadapku. Mata biru langitnya yang penasaran tidak lepas memperhatikan tanganku yang sibuk bekerja. Namanya Sam.

“Karena aku selalu teringat untuk sesekali bertanya pada rumput ketika merasa tersesat atau sekadar mengobrol saja,” jawabku diselingi senyum merekah.

Mata Sam berbinar-binar, “Hoo …. Kakak bisa bicara dengan rumput?”

“Bukan hanya rumput, tapi semua makhluk hidup dan juga benda mati,” tambahku. “Keren, kan?”

“Keren, Kak,” seru Sam, “Gimana cara Kakak melakukannya?”

Sebelum menjawabnya, aku memetik bunga. Bunga kecil bermahkota lima helai tipis berwarna merah dua lapis, dengan benang sari hitam dan kepala putik kuning. Tangkai hijau tipisnya bergoyang oleh semilir angin, lemah dan lunglai. Daun menyiripnya membaur elok dengan rumput-rumput di bawahnya. Pesona bunga itu aku taruh dalam celah gulungan sulur tanaman rambat. Satu per satu bunga itu tertata rapi dan apik menghiasi gulungan ini.

“Aku bisa melakukannya karena ini sudah menjadi bakatku. Sebenarnya bakatku ada banyak dan berbicara dengan apa pun dan siapa pun adalah salah satunya,” jawabku.

“Memangnya Kakak ngobrol apa sama rumput?” tanyanya lagi.

Aku menjawab, “Aku pernah bertanya pada rumput di hutan, apakah mereka senang hidup di hutan? Mereka menjawab, ‘Aku sangat senang tinggal di sini. Aku bisa berbincang setiap hari tanpa tidur dengan para pohon. Aku juga bisa bertemu dengan sahabat karibku, matahari. Saat tubuhku sudah terlalu panjang, ada rusa, kancil, atau hewan lainnya yang bersedia memotongnya.’

“Lalu aku bertanya pada rumput yang tinggal di halaman rumah, apakah mereka senang hidup di halaman rumah manusia? Mereka menjawab, ‘Aku senang tinggal di sini. Bunga-bunga dan serangga menjadi temanku berbicara sepanjang hari. Matahari menjadi temanku yang paling aku sayangi. Ketika tubuhku sudah terlalu panjang, manusia akan memotongnya untukku. Tapi aku tidak suka saat manusia memisahkan kakiku dari rumahku, tanah.”

“Kakak bisa apa lagi?” Sinar mata Sam semakin menguat, dia benar-benar penasaran dengan bakatku.

“Aku bisa buat mahkota bunga yang indah ini,” kataku menyisipkan bunga terakhir di gulungan sulur tanaman rambat, “Tada! Inilah Mahkota Bunga Corn Poppy Merah karyaku. Bagus, kan?”

Sam tidak ikut berseru. Mukanya berubah masam kecut, “Bikin makhota bunga, sih, semua anak perempuan bisa.”

“Yakin? Ini bukan mahkota bunga biasa, lho.” Aku memakaikan mahkota bunga di kepala Sam, sungguh pas melingkari rambut pirangnya, “Ini hadiah spesial untukmu.”

“Ih! Apaan ini, Kak?” Kikuk Sam memegang mahkota bunga di kepala. Kedua tangannya mencengkeram erat gulungan tanaman rambat itu. Dia berusaha menarik lepas mahkota bunga. Wajah putihnya memerah saking besarnya usaha yang tak berbuah hasil itu, “Kok susah banget dilepas?”

“Namanya juga hadiah spesial. Mahkota yang tidak dapat lepas juga salah satu bakatku,” ujarku tersenyum iseng.

“Hah?” Anak laki-laki itu melongo tidak percaya.

“Hahahaha, bercanda kok, bercanda.” Aku mengacungkan satu jari ke atas, “Angin memberitahuku bahwa ada yang sedang berulang tahun hari ini.”

Sam mengerjap mata cepat sembari memalingkan wajah ke sisi kanannya, “Ulang tahunku hari ini hanya ibuku yang merayakannya. Tapi terima kasih, walau hadiah kakak ini lebih cocok untuk anak perempuan.”

“Setengah jam lalu, aku melihat seorang anak laki-laki yang menangis di pinggir jalan. Sekarang aku melihat seorang anak laki-laki yang ceria. Kamu cocok kok memakai mahkota bunga itu, persis seorang raja,” pujiku.

Kulit putih pipi Sam merona merah. Gemas aku memandanginya yang malu-malu. “Tapi Kak, ini tempat apa? Kakak bisa memakai sihir yang membuat kita muncul di sini dalam sekejap? ‘Kan aku tadi di pinggir jalan kota.”

“Jangan beri tahu siapa-siapa, ya.” Kedua tangan aku tangkupkan di depan dada, “Ini adalah salah satu bakatku, teleportasi. Aku bisa ke mana saja, kapan pun aku mau. Tempat ini adalah taman rahasia yang aku buat, tersembunyi di balik pegunungan tinggi dunia. Ini taman paling spesial untuk orang yang spesial.”

“Oh! Aku tahu teleportasi! Kakak mirip superhero yang punya kekuatan-kekuatan keren,” ucap Sam dengan bangga.

“Hehehe, aku lebih keren dari superhero, lho. Malah superhero aja kalah sama aku yang serba bisa ini.” Aku mencuil hidung mancung Sam dengan jari telunjuk kananku, “Hebat, kan?”

“Hm, entahlah.” Sam membuatku merengut. Anak laki-laki itu malah tertawa melihat tampang cemberutku ini, “Kakak punya rambut merah yang indah. Mata hijau Kakak juga berkilauan. Kulit Kakak juga putih dan mulus. Tapi kenapa Kakak pakai gaun putih?”

Aku melihat sejenak pakaian yang kukenakan, “Apa ini jelek?”

“Mirip baju hantu-hantu di televisi,” jawab Sam.

Aku beranjak berdiri tegak, “Kalau begitu aku ganti warnanya, ya.”

Dahi Sam mengernyit, “Ganti warna?”

Tidak seru kalau aku jawabnya dengan kata-kata. Lebih baik menunjukkan langsung padanya. Pertunjukan akan lebih seru saat penontonnya tak tahu apa-apa, bukan? Maka aku pun mengangkat tangan kanan pada langit biru pucat. Perlahan tanganku yang menggapai langit kutarik turun setara dengan dada. Aliran arus biru bagai air terjun meresap masuk ke dalam serat kain baju putih yang aku kenakan. Warna gaun putihku berubah senada dengan langit. Biru lembut yang tak ternodai warna lain.

Kekaguman Sam tidak dapat terbendung. Mulutnya yang menganga lebar cukup muat untuk dimasukkan sebuah apel, saking besarnya dia membuka mulut. Serbuan tepuk tangan disuarakan olehnya. Sangat kuat dan cepat hingga anak itu ikut berdiri menegaskan apresiasinya. “Hebat. Hebat sekali!”

“Terima kasih,” ucapku memberi hormat atas pertunjukan kecil ini. Aku mengulurkan tangan pada Sam, “Sudah waktunya kita berangkat.”

“Ke mana?” tanyanya.

“Ke tempat cahaya akan menjemputmu.”

Kata-kata penolakan tidak dilontarkan Sam. Anak laki-laki itu justru menyambut hangat uluran tanganku. Dia paham ke mana kami akan pergi dan senyumnya menyatakan kesiapan dirinya. “Kamu anak yang kuat, Sam.”

Angin mengitari kami selayaknya pusaran angin topan yang membawa pemandangan mata menjadi kabur. Seiring embusan angin berkurang, mata kami disuguhkan oleh batu-batu yang tertancap di tanah. Berbaris rapi dan sejajar arahnya. Kami tiba di sebuah pemakaman yang diterangi sobat karib malam dan bintang, sang Bulan. Perbedaan waktu terkadang jauh beda di beberapa tempat.

Sam melepaskan tanganku dan berjalan menuju sebuah batu nisan yang memiliki sebuket bunga di atas tanah kuburannya. Nisan bertuliskan nama “Sam Hanson’. Kepalanya tertunduk dalam menatap pilu batu nisan itu, “Pagi ini Ibu memberiku hadiah buket bunga. Aku melihat Ibu menangis tanpa henti dan memberi tahu Ayah tidak juga ditemukan sejak hariku di sini, sebulan lalu.”

Telapak tangan Sam menyentuh satu-satunya cahaya yang bersinar di tubuhnya, dada kiri tempat jantungnya berada. Matanya terpejam dalam hanyutan rasa sakit dan sedih yang masih dapat dirasakannya. Tetapi matanya tidak dapat mengalirkan air mata. Tidak ada air mata yang tersisa di tubuhnya yang kini tampak terawang di mataku.

“Kenapa Ayah tidak kunjung muncul di sini, atau di depan Ibu? Seharusnya Ayah menjelaskan kenapa Ayah bertengkar dengan Ibu. Ayah harus melihat dadaku yang sekarang bersinar karena pelurunya.” Sam mengangkat kepala dan menoleh padaku. Wajah sedihnya sungguh mengiris hati, “Kenapa dadaku yang tertembak oleh Ayah ini bersinar, Kak? Aku …. Aku benci melihatnya.”

Kakiku melangkah mendekatinya dan berlutut di hadapannya. Tidak pantas kedengarannya kata-kata tadi keluar dari mulutnya yang masih polos. Namun ini dampak dari dirinya yang telah kehilangan tubuh fisik, segalanya dengan cepat dia pahami melampaui kemampuan otak anak-anak seusianya.

“Sam tidak perlu bersedih. Cahaya di dadamu adalah tanda bahwa Sam pernah hidup di dunia ini. Berjalan di atasnya dan pergi di atasnya pula,” kataku. Tanganku menyentuh tangannya yang masih menutup cahaya di dadanya, “Semuanya akan baik-baik saja. Ayah dan ibu Sam akan bertemu dan mereka pasti akan bahagia melihat Sam bahagia. Sekarang adalah saatnya Sam melupakan segalanya yang ada di dunia ini dan pergi menuju cahaya yang hangat ini.”

“Benar tidak apa-apa aku pergi, Kak?” tanya Sam ragu-ragu.

Anggukan mantap sebagai jawaban dariku, “Semua akan baik-baik saja. Aku janji.”

Sam mengangguk pula. Bibirnya menyinggung senyum, “Terima kasih Kakak sudah mau menemaniku. Selama berhari-hari di pinggir jalan, baru Kakak yang mau menghampiriku. Aku jadi tidak kesepian sebelum pergi.”

“Itu bakatku yang lain, melihat yang tidak tampak oleh mata biasa,” kataku mengedipkan mata kiri, tanda bahwa ini juga rahasia.

“Ah ya, aku lupa tanya,” Sam teringat sesuatu, “Siapa nama Kakak?”

Bukan hanya Sam yang lupa bertanya, aku sendiri lupa memperkenalkan nama. Tadi gara-gara melihat Sam menangis keras aku tidak kepikiran untuk mengatakan namaku. “Sebenarnya namaku ada banyak, sih. Tapi Sam bisa memanggilku Bumi.”

“Bumi? Nama Kakak seperti nama planet ini, Bumi,” kata Sam.

“Benar sekali.” Aku mengulas senyum hangat padanya, untuk terakhir kali, “Selamat jalan, Sam.”

“Selamat tinggal, Kak Bumi.”

Pendaran cahaya di dada Sam bersinar terang, menyelimuti tubuhnya dalam sekejap dan membawanya menghilang. Mahkota bunga yang kuberikan pada Sam jatuh ke tanah. Anak laki-laki itu telah pergi, seperti yang lainnya. Aku berdiri seraya memungut mahkota bunga itu. Tempat yang paling cocok untuknya adalah di sebelah buket bunga pemberian ibu anak laki-laki itu. Aku meletakkannya di sana, berdampingan dan menambah keindahan di makam ini.

“Bumi, oh Bumi yang baik hati. Satu lagi roh anak manusia tak berdosa yang mati di tangan orang tuanya engkau jemput menuju cahaya ke akhirat. Berjuta-juta roh anak manusia telah engkau tuntun. Betapa mulianya engkau membantu tugas para malaikat maut mengumpulkan roh anak-anak tak berdosa itu. Apakah engkau sungguh peduli pada mereka ataukah karena engkau kesepian tidak ada manusia yang dapat melihatmu yang selalu berkeliling dunia ini? Padahal nasibmu jauh lebih tragis dari roh-roh anak manusia itu,” lirih membisik suara itu dengan hasrat jijik luar biasa yang memulaskan perutku.

Sebenarnya aku malas menatapnya, tapi aku harus melakukannya agar ucapanku didengarkan oleh makhluk itu. Si makhluk yang berselimut api yang membara membakar dirinya. Tidak pernah sekali pun dia menjerit kesakitan. Salah satu hal yang sangat disayangkan, padahal aku berharap dia sengsara oleh apinya. Namun sekali lagi, sayang seribu sayang, dirinya memang terbuat dari api.

“Apa lagi yang membuatmu datang ke sini, Iblis?” tanyaku tak ramah.

“Seperti biasa, aku ingin melihat Bumi yang paling aku cintai ini menangis setelah mengantarkan roh anak manusia,” jawabnya diselingi tatapan kecewa, “Tapi hari ini Bumi tidak menangis seperti biasanya.”

“Berhentilah mengikutiku terus, Iblis. Sudah berjuta-juta kali aku katakan, jangan pernah muncul di hadapanku lagi,” tegasku memandang marah padanya.

Iblis mendekatiku. Tiap jejaknya menciptakan tanah hangus, membunuh segala yang dilalui olehnya. “Bumi, kamu tahu bahwa akulah yang paling perhatian padamu. Aku membawa manusia padamu. Aku memang iri pada mereka, namun aku tidak tega melihatmu sendirian. Bumi pun tampak senang melihat manusia semakin banyak menginjakkan kaki di tubuhnya. Bumi harus memberiku rasa terima kasih yang besar.”

Tangan apinya ingin menggapaiku, namun tangannya yang mencoba menyentuhku selalu lenyap. Salah satu bentuk perlindungan yang diberikan Tuhan padaku agar terhindar darinya. “Tidak ada tindakanmu yang patut diberi ucapan terima kasih, Iblis. Dosamu telah membuat manusia menjadi makhluk yang buruk tindak-tunduknya. Enyahlah dari hadapanku, Iblis.”

Iblis menjauh sedikit dariku, “Aku berdosa? Bumi tahu bahwa dosaku hanya satu. Yang aku lakukan setelahnya bukanlah dosaku, melainkan dosa manusia, terutama yang mereka lakukan padamu, Bumi yang aku cintai.”

“Tidak. Kamu salah,” sergahku.

“Lihatlah kenyataannya, Bumi!” sentak keras Iblis. “Aku memberikan manusia sedikit dorongan, hanya sebuah percikan kecil. Lalu mereka sendirilah yang menyediakan sumbu dan menyalakannya hingga menjadi kebakaran yang hebat. Aku sama sekali tidak melakukan kesalahan, Bumi. Merekalah yang telah menyiksamu, mencincangmu, membakarmu, dan mengabaikan dirimu yang semakin rapuh untuk terus menopang kehidupan di dunia ini. Tak lama lagi kamu akan mati. Apa aku salah telah peduli padamu, Bumi?”

Aku memalingkan wajah darinya. Tidak tanggung-tanggung aku segera berbalik membelakanginya. Aku sudah puas mendengar hasutan-hasutannya, “Sekali lagi aku katakan, enyahlah.”

Panasnya masih terasa di kulitku, Iblis masih berdiri di sana, berdiam bisu. Waktu terus berlalu namun dia belum juga pergi. Apa lagi maumu?

“Kamu marah padaku. Aku tidak mengerti kenapa. Padahal aku sekali saja tidak pernah menyakitimu, Bumi,” kata-katanya lenyap bersama hawa panasnya.

Dia sungguh pergi. Sedikit lebih lama dari terakhir kali, sekitar seratus tahun lalu dalam perhitungan manusia. Tidak, itu waktu yang masih tergolong cepat, bukan lama. Aku mengangkat wajah, menatap gugusan bintang-bintang yang bertebaran di segala penjuru langit.

“Tolong, jangan kembali lagi di depan mataku, Iblis. Biarkan aku yang semakin tua ini menikmati masa-masa akhirnya,” gumamku lirih memilukan sembari memejamkan mata.

Angin membentuk pusaran baru di sekitarku dan membawaku ke tempat roh anak manusia yang membutuhkan uluran tangan hangatku. []

Utari Rachma Siwi
Latest posts by Utari Rachma Siwi (see all)

Comments

  1. Nisa Reply

    tak terduga, jalan ceritanya mengalir baik…. Like, really like

    • Utari Rachma Siwi Reply

      Terima kasih sudah baca

  2. Antie Rakhmaan Reply

    speechless… keren… sampai tersadar, iya.. ya… bumi sudah memasuki masa masa akhirnya !

    • Utari Rachma Siwi Reply

      Terima kasih sudab baca

  3. wiwi widya pratiwi Reply

    Serius ini keren… Tulisan yang bikin saya iri :D:D:D

    • Utari Rachma Siwi Reply

      Wah… terima kasih sudah baca

  4. meliana Reply

    Wah suka sekali dengan gaya berceritanya! keren kak!

    • Utari Rachma Siwi Reply

      Terima kasih sudah baca

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!