Napas Citarum

boredpanda.com

 

Bagian 1

Perahu Galon untuk Rambut Dewa-Dewi

            Garuda putih yang menerbangkan Garry dan Sam Bencheghib dari Pulau Dewata, kini memasuki kawasan udara Parahyangan. Anggun. Tenang. Tak menyimpan keluhan apalagi ancaman.

Hanya deru yang tak ragu, menggerus napas angkasa, siap meletakkan tubuhnya di Bandara Husein Sastranegara, Bandung, yang tak sedang ngungun. Ini berbeda dengan Garry yang masih galau, mengingat peristiwa di Bandara Ngurah Rai, saat kano atau semacam kayak yang terbuat dari susunan galon air mineral itu, nyaris tertahan. Bagasi yang aneh. Mungkin tidak steril dari ancaman virus. Namun itulah bom waktu itu.

Di bandara yang gerah. Pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban melelahkan. Bila alibinya kandas, akan kehilangan besar: kenangan yang sangat spiritual. Dan bila ditinggal, misinya berlayar ke Sungai Citarum akan gagal. Pria berambut ikal kelahiran Paris dua puluh tiga tahun lalu itu memencet tombol off pada layar video yang terbaring di bagian kepala kursi pesawat. Mencoba menutup mata cokelatnya.

            Meredam putaran bumi. Barangkali.

            “Menurutku lebih baik kamu membuat lagi perahu itu nanti di Kota Mode itu!” terngiang Kelly, kakaknya yang memang baik tapi selalu terasa membawa bau cabe rawit dalam sanggahannya.

            “Perahu dari galon ini dibuat para relawan dan pelajar peduli alam di Kuta. Ia punya sejarah keringat dan sampah pulau ini…. Garis merah kesejarahan ini menjadi penting…,” Garry bersikukuh, sambil melirik, meminta dukungan lebih dari Made Wianta, pria pegiat lingkungan dari komunitas Byebye Plastic(1).

            “Kamu memang spiritualis, Garry!” senyum Wianta, membasuh kalimat dari bibir Kelly yang kemudian tertawa. “Oh ya, kata Bisma, nanti kamu akan dipertemukan dengan Jajang Kartawijaya dari Yayasan Citarum Harum. Ia akan menjadi koordinator lapangan!”

            Begitulah. Kini kayak Made in Kuta itu tertidur di perut burung besi yang kekar ini.

Bagasi yang beruntung.

Bagasi yang juga spiritualis.

            Sam lain lagi. Dari balik kaca tebal pinggang pesawat, ia mengarahkan mata kamera videonya ke arah bentangan Sungai Citarum yang bersambung ke Bendungan Saguling dan Cirata. Jadi itulah salah satu kawasan tubuh sungai paling kotor di dunia itu, pikirnya. Sungai yang sakit. Lebih hitam daripada warna kegelapan.

            Sungai yang sangat tidak beruntung.

            Sungai yang sangat tidak spiritualis.

Kadang masih sedikit diingat Sam beberapa novel Jumpha Lahiri, tentang terlalu banyaknya bendungan di India. Bom waktu yang tertahan di ruang tunggu. Kapan ledakannya meninju ketebalan dinding dan waktu, tak ada yang tahu.

###

            Joerig Runtah?(2)

            Hantu Sampah?

            Frase yang sangat gotik atau mistik?

            Garry tak membiarkan isi kepalanya dialiri larutan yang tak ia pahami itu. Yang jelas, para aktivis lingkungan dari masyarakat Cihampelas tepi Sungai Citarum itu, yang mengenakan kaos oblong hijau bertuliskan Joerig Runtah itu, menyambutnya antusias. Lebih hangat daripada senyum para pramugari di bandara tadi pagi. Mereka berbondong-bondong mengitari perahu galon yang telah diturunkan dari mobil bak terbuka milik Bisma dari Greenation Indonesia. Bisma dan sopirnya telah menjemputnya dari Bandara, membawa perahu itu ke markas Greenation Indonesia di daerah Dago Bengkok, Bandung Timur Laut, lalu mengikuti mobil Jajang Kartawijaya dari Yayasan Citarum Harum menuju Kampung Babakan Ciajur, Desa Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat. Sebuah tempat yang membuat kiamat dapat dipercepat. Kalau mau. Kalau masyarakat dan pemerintahannya mematung.

Setelah rehat dan mengatur strategi pelayaran, bersama para Joerig Runtah, mereka berangkat menuju kawasan tepi sungai di Kecamatan Majalaya, wilayah Selatan Kabupaten Bandung. Masih dengan semangat milenial, Bisma mengikutinya, ikut melambai kepada masyarakat di tepi-tepi jalan yang terheran-heran melihat perahu dari susunan galon air mineral itu.

            Bisma dan Garry memang telah lama dijabattangankan oleh Facebook dan Instagram. Sekitar lima tahun, mereka saling berkomentar maupun berkirim foto-foto dan beragam video tentang ancaman plastik. Garry memang memutuskan menjadi pembuat konten video digital, khusus mengenai pencemaran lingkungan. Bakat dan ilmu yang didapatnya semasa kuliah Seni Media Baru (New Media Art) di New York ia alirkan di media sosial. Saat orang tuanya memilih Bali sepuluh tahun lalu, Garry tertarik dan mencintai pulau yang mempunyai bentangan pantai tercantik di dunia itu. Ia mencintai Bali.

            Bali pun mencintainya.

            “Sungguh, Bali mencintaimu juga. Sungai-sungainya. Lautnya. Sampahnya…,” kekeh Wayan Jengki Sunarta, penyair Bali yang ditemuinya di pasar batu akik.

            Cinta Garry tulus dan terang benderang. Cinta yang diwujudkan dengan membentuk Make A Change World, sebuah gerakan perubahan untuk penyadaran kepada masyarakat tentang bahaya plastik.

“Jangan-jangan kau juga anti bedah plastik, ya?” kekeh Tan Lio Ie, penyair Bali yang sering manggung lewat musikalisai. Ngobrol ngalor-ngidul tentang puisi dan lingkungan.

Garry ikut terkekeh saat itu.

Media pergerakannya ia buat melalui film-film pendek, berdurasi 1–15 menit. Konten yang diapungkan ialah pembersihan sampah di pantai-pantai Bali. Bersama kawan-kawannya dari Bye Bye Plastic serta masyarakat setempat, mereka menyerbu pantai, menggerus sampah-sampah yang berserakan. Menghapus kotoran-kotoran di kaki para dewa. Menyedot luka-luka di hati para Dewi.

Semacam itu.

            Ke sungai-sungai, ke rambut-rambut para Dewa Dewi, ia juga beraksi. Disisirnya sejumlah sampah agar tak lari ke tubuh samudera. Ide mendayung lewat perahu galon, seperti yang ia lakukan di beberapa sungai di kota-kota kecil Amerika, ia wujudkan pula di sungai-sungai yang berada di Bali. Dan suatu hari, saat berselancar di negeri maya, ia menemukan sebutan sungai paling kotor di dunia.

Dan itu ada di Citarum.

Di tubuh Para Dewa-Dewi orang Pasundan.

Di Tatar Sunda. Bukan Sunda Empire.

Sebelumnya, ia menemukan data bahwa 80% sampah yang berada di Samudera Atlantik disumbang oleh sungai-sungai dari seluruh penjuru yang telah terdata di dalam globe. Ini sumbangan yang sumbang. Sangat sumbang. Tentunya termasuk dari Indonesia. Dan di antaranya ialah dari Sungai Citarum. Peta buta baru baginya. Bisma merekomendasikan nama Jajang Kartawijaya, aktivis lingkungan yang sudah lama bergerak dalam penyelamatan Citarum, saat Garry berniat mengunjungi tempat yang disebutkan paling kotor di dunia itu.

            “Sungai tempat hantu-hantu bersarang!” gurau Jajang yang menemaninya menuju wilayah paling kotor dari bentangan Citarum.

            Garry tersenyum, Itu pasti candaan kelas Old School(3). Tapi tak apa. Dunia peri dan hantu-hantu, tumbuh bukan karena keisengan semata, namun bagian dari kontrol sosial juga. Hantu lain bagi para perusuh. Hantu baru juga bagi para penyebar kekotoran ke tubuh-tubuh sungai.

             Setelah berbelok dari jalan raya menuju jalan lebih kecil, mereka berhenti di tepi jembatan. Bau agak sengak meninju hidung Garry dan Jajang saat mereka bergerak menyalami para penduduk yang akan memandu arah perahu. Sam terus memotret, juga membuat video perjalanan mereka. Ini memang dunianya juga. Tentu itu pun karena pengaruh Garry juga.

            Dua perahu galon sepanjang 4 meter dengan lebar 1,2 meter itu pun diturunkan dari mobil milik Greenation Indonesia, diarak menuju bibir sungai berlipstik kelam. Menjadi tontonan dan bisik-bisik yang mengundang senyuman.

            Garry dan Sam bersiap, mengenakan sepatu bot oranye dan seragam abu-abu muda, lalu mulai meraih dayung, mencoba keseimbangan. Para Joerig Runtah, lima pemandu lokal, Bisma, Jajang, dan seorang pilot drone, mengawasi dari bawah kerindangan pepohonan Mahoni dan Tarum tepi sungai. Sebuah pesawat drone melayang di udara seperti capung musim panas yang gigih menerjang angin, juga arakan awan.

             Garry merasakan bau tajam yang samar, dan arus yang tak beraturan. Ketinggian sungai yang ia lalui memang bervariasi, namun hampir rata-rata mengalami pendangkalan. Sesekali sampannya terantuk dan dayungnya tersangkut sampah-sampah plastik yang muncul maupun tertimbun di perut sungai. Hitam, seperti tuyul yang terbakar cairan kimia. Sedangkan Sam sesekali mengarahkan kameranya ke perahu Garry maupun pemandangan sungai. Dari sungai di wilayah Majalaya itu, perahu terus mengikuti arus menuju pinggiran wilayah Ciparay, hingga Baleendah dan Dayeuh Kolot. Dua nama desa terakhir adalah langganan banjir jika Bandung Selatan dihajar hujan lebat. Banjir yang diakibatkan hutan lebat dibabat di bukit hingga pegunungan yang membentang dari Majalaya, Ciparay, hingga Pangalengan. Hutan yang berubah menjadi ladang sayuran, ladang para bandar yang lebih memilih menyekolahkan anak-anaknya menghajar tanah dan pepohonan daripada sekolah tinggi. Banyak juga rumah kaca, yang membuat wilayah pegunungan selatan Bandung itu kehilangan ketebalan kabutnya.

            Dari daratan yang mempunyai bantaran, Jajang dan rekan-rekannya kadang ikut menyusuri sungai dengan mobil. Namun terkadang harus mengikuti jalan melingkar yang menjauh dari sungai. Jalan yang dibuat tanpa rencana pembuatan drainase yang layak. Ya, karena banyak bantaran pun menjadi bagian dari perumahan, kebun, pabrik, atau kadang entah bangunan apa.

            Kadang mereka pun terjebak kemacetan. Di beberapa ruas jalan, khususnya di kota Kecamatan Majalaya, jalan utamanya yang rusak akibat sering diterjang banjir cileuncang, dipersempit dengan para pedagang yang merayakan kebebasan memilih dagangannya bersenggolan dengan para pejalan kaki dan pengguna kendaraan bermotor yang menyerbu jalanan seperti pasukan lebah memburu setoran untuk ratunya. Adonan kemacetan ini memang lengkap, setelah delman hingga angkot saling memikat penumpang di mana saja, dan kapan saja.

            Kejumudan yang sempurna.

            Kemacetan juga menghadang di kota Kecamatan Ciparay. Sebuah wilayah yang juga padat. Sebagaimana kota-kota kecil di setiap kabupaten di republik Hijau Daun ini, arus kendaraan akan berbaur dengan pasar tumpah yang memadati jalur terminal hingga jalanan, berebut dengan para pejalan kaki yang kehilangan kebebasananya untuk memilih jejak yang tidak padat dan kotor.

            Ini memang kubangan yang tak habis-habisnya menggandakan dirinya. Menciptakan teror kekumuhan yang kemudian menjadi akrab. Menjadi addict. Menjadi virus yang akrab. Kemacetan yang bersahabat dengan kepasrahan, kebebalan, serta keterpaksaan yang akut.

                                                            ###

            Malam, ketika purnama yang bugil tersenyum di cermin raksasa waduk Saguling, Garry mohon izin menuju kamar yang disediakan untuknya, mengucap salam kepada para penduduk dan para relawan yang sejak tadi pagi hingga sore menemani petualangannya, dan terus mengerubunginya hingga jamuan nasi liwet malam ini.

            Malam yang harum.

            “Saya harus mengedit hasil video tadi!” senyumnya, diamini hadirin.

            Para Joerig Runtah memberi salam lima jari. Tersenyum.

            Yuhu. Hantu yang murah senyum.

            “Aku masih mau di sini, ya Kak!” ujar Sam yang didapuk untuk menyanyi diiringi petikan gitar. Sam memang sudah menyelesaikan tugasnya sebagai fotografer dan videografer. Hasilnya sudah ditanamkan di laptop Garry, termasuk materi dari hasil liputan drone yang mereka sewa dari sebuah studio di kawasan Dago, Kota Bandung. Tentu saja semua jaringan itu, persiapan tim daratan itu, dibantu penuh dari tim Greenation Indonesia, termasuk pilot drone yang mereka bayar untuk pengambilan dokumen video di sepanjang aliran Sungai Citarum, hingga nanti ke ujung kepala burung di Kabupaten Karawang.

            Ya, kayak berbahan botol kemasan besar itu harus juga menggoyang Karawang.

            Goyangan yang lain.

            Masih panjang.

            Pencemarannya bukan lagi melebihi batas ambang, batas helaan napas, namun juga batas-batas yang susah dibayangkan ke mana bola liar pencermaran itu akan bermuara.

            Begitulah dunia.

            Garry mengangguk, sambil melambaikan lima jarinya yang sudah terlepas dari kaos tangan warna oranye, ia menuju saung eceng. Tempat yang disediakan dari Citarum Harum adalah sebuah rumah yang terbuat dari bambu dan anyaman daun eceng gondok yang telah dikeringkan. Saung ini dibagi dua. Satu ruangan tidur di depan, dan ruangan lain di belakang yang berupa balai-balai, dengan dinding pinggirnya yang tertutup gerai bambu. Sisanya, pada belakang saung, hanya menyisakan kekosongan pandangan menemui pepohonan yang merambat pada benteng pembatas setinggi dua meter.

            “Di sini kita memang memberdayakan masyarakat miskin untuk mengambil sampah dari Citarum, khususnya plastik, termasuk gulma eceng gondoknya. Tanaman itu kami buat kerajinan, setelah diproses beberapa hari. Ya, termasuk ornamen pada saung ini!” ujar Jajang, menjelaskan beberapa pertanyaan Garry saat mereka berjalan menuju saung eceng itu.

            “Nah, itu solusi yang bagus!”

            “Ya, namun resikonya besar, karena air Citarum yang kotor membuat kulit kami gatal-gatal!”

            “Kenapa banyak pembuang limbah ke Sungai Citarum, ya?”

            “Persoalannya pelik dan panjang. Sukar diurai karena melibatkan banyak pihak. Dari yang biasa sampai yang punya banyak kepentingan!” jujur Jajang, sambil memberikan selimut kepada Garry yang mulai menyalakan laptopnya.

            “Tadi, waktu di Dayeuhkolot itu, di antara dua jembatan besi itu, aku menemukan banyak kain di dasar sungainya. Jadi sedimennya bukan lagi atau… bukan hanya tanah dan pasir, melainkan tumpukan potongan kain….” Garry membuka file-file gambar foto dan video di laptop putih berlogo buah yang termakan ujung pinggirnya.

            “Majun maksudmu?”

            “Kalau sebutan untuk sisa kainnya itu, ya itu.”

            Jajang terhenyak. Kepalanya ia garuk, meski mungkin tidak gatal. Ia sempat melirik beberapa pojok pinggiran sungai dari video di laptop Garry. Ada beragam sungai dengan beragam warna, juga tingkat kepekatannya. Sebagian video juga memperlihatkan pembuangan kotoran dari beberapa pabrik tampak hitam pekat dan merah tua, ada juga yang berwarna biru gelap dan berbusa.

            Bagi Jajang, pencemaran Citarum bukanlah hal baru. Sejak kecil, baginya Citarum adalah sebagian sejarah helaan napas dan tatapan matanya.

            “Sebelum Citarum menjadi bagian dari Waduk Saguling, dahulu sungainya kecil. Dari jauhan kita melihatnya sebagai sungai di bawah lembah. Ada hutan, ladang, sawah, serta sumur-sumur tempat pemandian. Sumur itu disebut sumur siuk(4), karena airnya tinggal diambil pakai gayung. Tidak harus ditimba, karena permukaannya dangkal. Airnya yang sangat jernih digunakan para penduduk untuk mandi, atau sekadar membasuh kaki dan tangan setelah mencangkul, atau mancing di kali. Air ini bersumber dari akar-akar pepohonan yang banyak bertumbuhan di pinggir-pinggur hutan, tak jauh dari badan kali Citarum!” jelas Jajang, saat Garry bertanya tentang masa lalu sungai yang tengah ia telaah.

            “Sungainya juga masih jernih?”

            “Tentu. Saya dan teman-teman sering berenang. Kami membuat bendungan kecil dari batu-batu yang disususn menyerupai benteng kecil. Lalu kami berenang, silangla(5)…, kemudian juga mencari ikan-ikan dan udang-udang kecil. Ada betok, mujair, genggehek, sepat, lele, dan ikan mas. Bahkan ada beberapa jenis ikan yang sudah saya lupa lagi namanya. Ya saking banyak jenisnya….”

            “Kalau sekarang?”

            “Ya, Garry kan bisa membayangkan. Dengan tingkat kekotoran dan banyaknya sampah seperti sekarang ini, banyak spesies ikan yang hilang, punah. Ya, paling Cuma ada dua spesies. Lele sama lauk atau ikan sapu.”

            “Yang kulitnya keras itu, kan?”

            Indra mengangguk. Lalu tangannya sibuk menekan smartphone alias gawai cerdasnya. “Nah, ikannya seperti ini!” ujanya sambil memperlihatkan ikan kepala keras itu.

            “Oh, ya. Sama seperti di beberapa sungai di Bali. Cuma kalau di sana, masih ada beberapa spesies lagi. Pencemaran sungainya tidak separah di Citarum ini!”

            “Memangnya sudah berapa lama di Bali?”

            “Ya… sepuluh tahun. Saya, adik, dan kakak, ikut orangtua yang bertugas di Bali!”

            “Tapi kan kuliah?”

            “Ya, kalau liburan saja saya ke Bali. Tiga tahun lalu, saya sudah bisa tinggal lama, karena kuliahnya sudah beres. Sekarang konsentrasi untuk kegiatan lingkungan ini!”

            Sesekali angin kecil menerobos celah-celah bambu saung. Udara juga mulai terasa menggigit, mengirimkan sisa kabut tipis yang mulai turun. Mereka kemudian berbagi kisah tentang pengalaman kuliah, hingga pertemuan mereka dengan hantu-hantu sungai yang terjelma dalam bentuk sampah serta air limbah yang menjadi wabah.

            Mang Amari, relawan berambut gondrong, datang membawa cangkir dari bambu yang mengepul, bersama penganan gorengan cau atau pisang, ciu, dan kacang rebus.

            “Nah, coba ini bir dari tanah Pasundan! Masih hangat” senyum Mang Amari.

            “Bir Pasundan?”

            “Ya. Disebut juga bajigur!”

            “Wah, Mang Amari lagi jadi preman pensiun, ya? Ti iraha(6), sejak kapan, disebut Bir Pasundan? Ngarang sajah, ah, kamu mah!”

            “Heuheuheu…, biar tidak katirisan alias kedinginan, saja, Kang Jajang!” senyum Mang Amari lagi, lalu beranjak kembali ke arah pintu. Menghilang ditelan kabut. Kabut yang hanya tipis saja.

            Mereka kemudian menikmati penganan dan minuman bajigur suguhan koki dadakan itu. Garry kadang melihat-lihat ke arah layar komputer, mengedit beberapa foto dan video.

            “Wuah mantap juga nih bajigurnya!”

            “Nah, dahulu Citarum itu paling airnya kadang berwarna agak kecokelatan seperti air bajigur ini. Khususnya kalau hujan.”

            “Atau jangan-jangan Mang Amari mengambil air ini dari Citarum, ya?” Garry mencoba menambah keakraban mereka.

            Jajang tertawa kecil. “Ya, kalau dari Citarum mah, sekarang warnanya sudah sekelam kopi atuh, Garry!”

            Pemuda kelahiran Prancis berambut agak ikal kecokelatan itu juga tertawa kecil. “Kalau begitu, besok mari… kita coba ngopi dengan air Citarum!”

            “Hehe, kamu bisa klepek-klepek kayak Genggehek(7).”

            “Genggehek… atau ikan termehek-mehek, ya…!?”

            Jajang nyaris tersedak, seperti bulan yang terampas cahaya oleh awan yang sehitam permukaan cermin raksasa di Bendungan Saguling.

            Malam jatuh menuju puncaknya.

            Pelan-pelan saja.

Jajang lantas mohon diri karena serangan kantuk yang mulai bertubi-tubi menyerang seirama dengungan nyamuk-nyamuk yang belum pensiun. Preman atau drakula malam yang rajin meronda. Garry kemudian melanjutkan pekerjaannya hingga menjelang adzan awal.

####

            Malam telah menyimpan debarnya ke ujung cakrawala.

Pagi datang dengan kerudung yang lain.

Lebih terang.

Hangat.

            Ya, hangat sekali bagi tubuh yang sudah terdera dingin subuh. Dingin Bandung yang biasa di wilayah Barat. Wilayah yang tak sedingin di bagian utaranya.

            “Ini kopi Gunung Puntang. Yang ini dari Perkebunan Rancabali, Ciwidey. Nah, kalau yang ini dari Gunung Halu…. Silakan pilih!” senyum Mang Oetoeng Sukarna, sahabat Jajang yang juga pendiri Harum Citarum Foundation.

            Garry mengambil salah satu kopi yang masih terbungkus itu. Mengawasi gambarnya, mencium aroma yang terasa dari lubang kecil pada bungkus belakangnya. Lalu mencoba aroma kopi lainnya.

            “Mang Sukarna saja yang merekomendasikannya!” senyum Garry sambil duduk pada batangan kayu depan tungku pembakaran.

            “Nanti kita coba semua, ya. Sekarang yang ini dahulu!” Mang Oetoeng Sukarna mengambil kopi, membuka rekatan di ujung atas bungkusnya, lalu menuangkannya pada semacam wadah kecil dari kayu yang menampung kopi bubuk itu. Kemudian menimbangnya pada timbangan digital, lalu menuangkannya pada penganan bawah sebuah tempat memasak air kopi. Mirip tungku mini. “Saya buatkan yang espreso saja, ya!”

            “Terima kasih. Ini hari yang bertambah indah karena Mang Sukarna yang ramah. Kopinya pasti enak, karena dibuat sambil tersenyum!”

            “Hahaha…, ya biar nikmatlah, Garry. Kamu harus mendapat kehormatan. Kemarin sudah sangat kerja keras. Kopi dari Bandung ini sudah makin mendunia. Ini Java Preanger dari Pangalengan. Sudah diakui rasa dan aromanya mampu memberi keunikan. Khas juga! Jadi, merupakan kehormatan besar juga, saya dapat membuatkanmu secangkir kopi yang bermartabat!”

            “Kopi juga punya pangkat?”

            “Ya. Ini kopi ningrat. Kopi Jayadiningrat!”

            “Apa pula itu maknanya?”

            “Ya itu tadi: kopi yang bermartabat. Bukan kopi sachet yang sedikit tidaknya mengandung pengawet. Kopi murni asli dari para petani!” Mang Oetoeng Sukarna mengambil air dan memasukkannya ke atas tungku penganan dari besi (mungkin juga aluminium) yang dipasangkan dengan bagian bawah berisi bubuk kopi tadi.

            Untuk membuat apinya, Mang Oetoeng ternyata mengambil wadah kecil berisi bubuk kopi kering. Ia meletakkannya di tengah pengganti semacam tahanan besi yang biasa kita temui di atas kompor gas. Wadah besi berisi bubuk kopi kering itu, yang sudah seperti briket itu, dibasahinya dengan spirtus, lalu ia menyalakannya. Api menjilati pantat tungku kecil yang mirip pesawat angkasa super mini itu. Tungku itu disimpan di atas lipatan aluminium tebal yang membentuk segitiga, hingga mampu menahan berat tungku dan kopi serta air.

            “Itu apa?”

            “Briket kopi. Ampas kopinya dikumpulkan, dijemur, lalu didiamkan hingga mengeras dan membentuk briket. Kita nyalakan menggunakan spirtus ini sebagai pemantik!”

            “Heuheu…, unik juga. Di Paris, Amerika, juga Bali, belum ada tuh masak kopi kayak gitu!”

            “Mungkin kamu belum menemukannya saja. Tapi, ya… entahlah. Prinsip kerjanya kopi dimasak kopi. Begitu, katanya!”

            “Ceuk saha(8), kata siapa Mang Oetoeng?” Tiba-tiba suara Mang Amari mendenging membawa aura pagi yang lain. Suaranya memang terdengar bening dan tajam, mirip audio buatan Jerman. Ia sudah mengenakan baju agak kotor dengan sepasang sepatu bot yang menandakan bahwa ia akan terjun ke sungai.

            “Nya ceuk nu boga ideuna!”(9)

            “Urang mana kitu?”(10) Mang Amari menggeraikan rambut gondrong ikalnya, mengikatnya dengan karet gelang.

            “Bandung. Tinggalnya di Kopo. Seniman mural asal Medan. Sebetulnya ia perupa yang awalnya gemar minum kopi. Suatu waktu ia berpikir, bahwa kopi itu kan serbuk, bubuk kayu. Biji kopi kan bagian dari buah kayu juga. Jadi, ia pikir bisa digunakan untuk menyalakan api, asal kering.”

            “Kalau teh?” Gary membuka smartphone-nya, mencari aplikasi Instagramnya.

            “Teh mah daun, Garry! Jadi tidak cocok untuk dibuat briket. Terlalu lembut!” ujar Mang Oeteong Sukarna, yang kemudian menarik wadah pemasak kopi yang sudah mengepul dan berbunyi gerutukan air. Ia mengambil gelas kecil, dan menuangkannya.

            Ada asap menari.

            Mungkin Jaipong.

Ah, mungkin legong.

            Garry sibuk dengan kamera telepon pintarnya, lalu memotret dan memasukkannya ke Instagram, memposting berita baru. Ada dua status yang ia kirim di akun Instagram dan Facebook-nya. Yang pertama saat ia di bandara membawa perahu kanonya, kemudian saat ia berlayar di Citarum. Statusnya yang baru adalah tentang kopi Robusta buatan Mang Oetoeng. Ketiga status itu baru dibuat sederhana, hanya dengan teks-teks yang pendek, dan masih menyembunyikan data-data lain yang akan ia unggah. Untuk unggahan serius, ia lebih suka memilih mengirimnya lewat laptopnya, apalagi jika untuk mengirimkan hasil videonya ke YouTube.

            Sajian kopi itu bertambah hangat dan nikmat saat Bu Siti, pembantu dapur, menyuguhkan penganan hangat dari dapur seberang bangku yang tengah mereka duduki. Jagung rebus, ubi rebus, singkong rebus, dan kacang rebus. Pada meja bundar yang dikelilingi Gary, Mang Amari, dan Mang Oetoeng, kini tersaji tantangan untuk lebih memanaskan perut yang mulai bernyanyi keroncong.

Jajang datang kemudian sambil membawa kertas berisi coretan denah kecil untuk pelayaran hari ini di depan markas Harum Citarum Foundation. Hari ini memang agak ringan, meskipun tetap dalam kerangka pembuatan dokumen Citarum dalam versi lain. Yakni versi mencari dan mengambil eceng gondok dari Sungai Citarum yang berada di Kampung Babakan Cianjur. Ini tentu lebih ringan dari pelayaran kemarin, karena hanya mengitari sungai menuju pulau kecil yang terbentuk oleh eceng gondok yang melaut.

Memulau.

            Aliran Citarum ke wilayah ini merupakan bagian dari sungai yang juga tercemar. Alirannya berasal dari warna yang berubah di Baleendah dan Dayeuhkolot, yang sudah teraliri sungai-saungai lain dari arah Majalaya, Ciparay, Pangalengan, Ciwidey, juga daerah Katapang dan Cipatik. Wilayah-wilayah yang tercemar itu sambung-menyambung membentuk sungai yang hitam dan penuh sampah bawaan. Dan di beberapa wilayah, khususnya di Cihampelas, banyak eceng gondok bertebaran, menjadi gulma.

            Sebelumnya memang telah diperhitungkan. Kedatangan Garry bertepatan dengan air pasang, sehingga sungainya dapat dilayari. Sampah menumpuk, terbawa arus dalam jumlah yang masif. Warnanya keruh. Sebagian hitam, merah, ungu, biru gelap, atau kombinasi beragam warna itu. Sungai pelangi, kata orang-orang yang sering mengelilingi Citarum.

            Pelangi yang alangkah tidak indahnya.

            Pelangi yang meninju bumi, kumpulan warna-warni yang bukan pada tempatnya.

            Warna-warni yang juga berbusa. Hasil basa-basi yang mengandung bisa.

###

            Seperti karpet raksasa hijau yang belum disetrika, lautan gulma eceng gondok itu sebagian tersibak, mempersilakan arus deras di tengah sungai. Tanaman berbunga putih dan terapung di air dan seperti berenang diam dalam ombak kecil sungai itu menjadi pemadangan indah tersendiri. Semacam oase kecil juga bagi mata yang lelah.

            Garry dan Sam kembali menggerus Citarum, masih dengan seragam mereka yang warnanya sama dengan yang kemarin. Perahu galon itu membetot banyak kehadiran mata dan tubuh masyarakat sekitar, termasuk para pemulung sampah di tepian sungai, maupun yang tengah menggunakan perahu kayu.

             “Para pemulung itu dahulunya adalah para penganggur. Lalu kita bina. Mereka kita beri perahu, lalu diminta mengambil sampah di Sungai Citarum. Sampah itu kita kumpullkan, kita timbang, dan kita masukan ke tabungan koperasi yang dikelola Yayasan. Kini bahkan mereka sudah mempunyai ATM. Jadi, jika perlu, mereka dapat segera mencairkan tabungannya,” jelas Jajang, sebelum Garry terjun dengan perahu galon bening kebiruannya.

            Dipandu Darga, koordinator pemulung sampah, Garry dan Sam lalu menyusuri sungai yang berair tidak terlalu deras. Di tepian sungai, masyarakat yang penasaran, dan khususnya yang tertarik pada sosok bule Garry dan Sam, menyemut sambil bercengkerama, berbicara entah apa. Kadang telunjuk mereka terarah pada Garry dan Sam. Tentu, penasaran juga melihat perahu yang terbuat dari galon terapung bersama arus kecil di sekitar lautan eceng gondok.

            Bisma bersama pasukan Greenation Indonesia, telah siap pula dengan membawa teknisi pengambil gambar. Mereka mulai menerbangkan drone yang sesekali merendah, naik, melingkar, dan mengikuti dua perahu galon yang mencolok di antara bentangan gulma hijau yang memukau itu.

Bagian 2

Seperti Lapisan-lapisan yang Tertidur

 

            Memangnya dunia ini berapa lapis, ya?

            Atau berapa lapis kesadaran yang ada dalam kehidupan?

            Aku meraba nadiku. Berdenyut. Mencubit kulit keputihan yang disebut orang-orang Indonesia sebagai bule, sakit. Tapi suara yang kudengar seperti berat yang parau. Suara yang asing. Sangat tidak biasa. Sangat berbeda dari nada orang-orang yang sering kutemui. Ini membuatku tergerak untuk mengintip dari celah pintu bambu dan eceng gondok yang tak jauh dari jangakuan. Ya Tuhan…, ada sosok asing juga. Mukanya tersembunyi oleh pakaian yang menggunakan semacam kupluk. Namun ada beberapa ornamen seperti pangkat komando pada bajunya yang bercahaya dalam gelap. Sosok yang memegang tongkat dengan ujung seperti parang lancip itu, mirip tongkat yang dibawa setan-setan dalam ilustrasi komik hantu, berbicara sengit kepada sosok lainnya yang lebih kecil, sosok perempuan berambut setengah bahu yang berkilauan dan bersisik.

            Ya Tuhan, apakah ini mimpi?

            Ataukah aku masuk dalam mimpi kedua mahluk aneh itu? Dua mahluk yang sedikit terkena cahaya lampu teras belakang saung ini, teras beralas bambu yang dibuat semacam karpet terpotong-potong atau pecah vertikal, yang mereka sebut lampit ini, sepertinya bukan manusia. Dari lubang sempit antara daun pintu dengan kusen bambu itu, sosok mereka lebih serupa komik jaman Marvel tahun 70-an, atau komik Abuy Rafana dan U Syahbudin versi Indonesia yang pernah kubaca dari sebuah Taman Bacaan Masyarakat.

            Tapi mengapa aku mengerti bahasa mereka?

            “Mestinya, Pak Komandar Sektor, garapan kita di sini saja. Di daerah ini sungainya kan paling kotor, paling tercemar….”

            “Kau tahu apa Nagini? Aku sedang menggoda mereka yang bertanggung jawab di sini, agar lalai. Kita tarik hati mereka ke bantaran di Desa Cangkorah, juga ke wilayah Kecamatan Padalarang hingga gunung cadas Citatah. Aku sudah membisiki dada-dada mereka, otak-otak mereka, agar membuat semacam bendungan kecil. Alasannya, agar tak ada banjir ke sana!”

            “Maaf Komandan, bukankah nanti juga akan ada yang mengerti. Beberapa fasilitator di Ecovillage(11), kudengar mau mundur. Itu akan memancing reaksi dari pemerintahan Pusat. Mereka bisa saja lapor, dan misi kita akan hancur, meski agak lama!”

            “Apa kata mereka? Kau kan sedang menggoda Koordinator Ecovilage wilayah ini?”

            “Ya, mereka sering bicara pada wartawan, khususnya wartawan serius. Mereka, khususnya ketua Gerakan Citarum Herang, mengatakan bahwa Komandan Sektor sekitar sini cenderung cari uang melulu. Masalah paling berat itu kan di sekitaran Cihampelas ini, bukan di wilayah Padalarang. Ini menjadi jelas, karena di wilayah Cangkorah hingga Padalarang dan Citatah itu banyak pabrik pembuang limbah, yang dengan mudah menjadi objek pembalakan!”

            “Pembalakan?” Sang Komandan memutar lehernya nyaris 180 derajat. “Memangnya ini tentang pemotongan pohon apa?” Ia mengibaskan sesuatu. Wow ternyata ekornya agak besar meski tidak terlalu panjang.

            Aku masih bingung dengan pembicaraan mereka. Bergidik juga. Rambut halus di tengkukku mulai berdiri. Ruang gelap yang terhitamkan malam dan tanpa cahaya ini, perlahan mulai kukenali. Aku menggeser tempat duduk, lebih memilih lubang yang agak besar namun tak terkena cahaya.

            Keringat membasahi kaus bertuliskan Greenpeace yang kukenakan.

             “Bukan pohon. Tapi sejenis pungutan yang tak ada kendalinya!” senyum yang sosok wanita aneh yang dipanggil Nagini itu. Rambut keritingnya yang meliuk-liuk, karena ternyata berupa ular-ular kecil, seakan hendak menyentuh udara yang penuh nyamuk. “Dan itu memang karena pengaruh godaan kuat dari Tuanku…. Bukanlah bahkan ada rencana membuat kasawan itu jadi kawasan wisata, bahkan ada lapangan untuk pendaratan helikopter!”

             Makhluk entah apa yang disebut Komandan Sektor oleh makhluk serupa perempuan berambut ular-ular kecil itu, meregangkan punggungnya. Tersenyum. Terkekeh-kekeh. Ini membuat bulu kudukku berdiri lebih tinggi, dan lebih banyak.

            “Itu karena kamu juga berhasil menggoda si Koodinator Ecovilage wilayah Padalarang itu, agar menemani si Komandan Sektor mencari proyekan. Si perempuan itu, kau goda juga untuk mencuri bahan-bahan tentang pengelolaan lingkungan dari pakar lain, dan menipu orang-orang pemerintahan kabupaten, kecamatan, hingga daerah-daerah, agar mereka percaya bahwa dia pakar, kan?”

            Perempuan berambut ular yang wajahnya kehijauan itu tersenyum. Mengerikan. “Ya, Tuan. Kubakar dadanya agar ia menjadi penipu ulung, dengan mengaku pula dari BPLH Porvinsi…, heheheheh!”

            “Kau memang cerdas, hingga dia pun terjebak tipuannya sendiri, meyakini dirinya sendiri hebat, menjadi pakar palsu…. Hmmmm, lalu kenapa kau mulai meragukan apa keputusanku tadi?”

            “Bukan meragukan, Tuan…, tapi, hemat saya, yang di sini juga perlu ditangani serius. Perlu digoda lagi lebih hebat. Mari kita buat mereka tidak curiga. Para relawan dan pegiat lingkungan di wilayah ini adalah orang-orang cerdas dan mulia hatinya. Namun mereka juga perlu uang. Perlu eksistensi. Godaan kepada mereka, bukanlah supaya mengikuti langkah-langkah si Komandan Sektor, atau menyetujuinya dengan cara dicucuki dengan uang pelicin. Mereka takan mau!”

            “Lalu apa, Nagini?”

            “Dengan membisiki mereka untuk menjadi tim sukses beberapa partai, yang secara nasional saling berhadapan!”

            “Jadi, masing-masing pegiat itu kita tipu dengan menjadi ujung tombak para politisi korup?”

            “Seperti itulah. Meski tentu saja tidak semua politisi yang saya maksudkan korup semua. Ada beberapa politisi yang sulit digoda juga untuk berbuat gelap….”

            “Lalu bagaimana dengan aktivis lingkungan dari Bali itu?”

            “Oh, dua orang bule itu, maksud Tuan?”

            “Ya….”

            Aku tertegun. Apakah yang mereka maksud adalah aku dan Sam?

            “Entahlah. Mereka masih seperti belum begitu dewasa. Mungkin belum begitu membahayakan!”

            “Bukankah mereka membuat video? Untuk apa, ya?”

            “Setidaknya mereka kan turis. Ya mungkin untuk mainan saja!”

            “Hmmm…, tugasmu untuk mengawasi. Kau juga bisa cari informasi dari para Leak Bali. Siapa dua anak muda itu!”

            “Siap, Komandan!”

            “Kau tahu kan mereka tidur di mana?”

            Nagini, perempuan dengan muka kehijauan dan bersisik itu, menunjuk ke arah saung tempat mataku menatap mereka. Aku merasa ditembak. Apalagi ketika Sang Komadan memerintahkan si rambut ular itu memeriksa kamarku. Saung ini.

            Dadaku terasa berat. Aku cepat mengambil selimut tebal di dekatku. Menutup seluruh tubuh. Seluruh dunia pun padam.

            Putih di mataku, kuhitamkan. Kugelapkan.

###

            Hingga matahari menjambak sepertiga bayangan bumi dengan cahaya teriknya, aku masih merasakan ketakutan yang hebat. Aku ingin segera pulang saja ke Bali. Dengusan makhluk yang pernah kubaca dan kulihat ilustrasinya dari komik-komik Indonesia lama itu, masih terasa embusannya di leherku. Ini membuatku seperti mayat hidup sejak dari pagi hingga menjelang siang ini. Sam menanyakan apakah aku sakit, dan kujawab bahwa aku baik-baik saja, hanya sedikit lelah. Tak baik menceritakan pengalaman semalam itu kepadanya. Ia lebih rasional daripada aku.

            Ia mahluk yang tak ingin tergoda oleh Poltergreist (12).

            Ia tak pernah mempunyai keinginan untuk tahu makna di balik mimpi sekalipun.

            Menjelang tengah hari, aku dan Sam menyewa ojek. Mang Amari dan Darga menjadi pemandu kami dengan mengendarai kendaraan mereka. Kami mendatangi beberapa tempat pengrajin yang mengolah sampah menjadi bentuk-bentuk fantastis. Yang kuminati adalah beberapa korek api gas yang kemudian disulap menjadi robot berbentuk manusia dan hewan. Ini mengingatkanku kepada makhluk-makhluk di film “Transformer”. Dan sang pengrajin juga mengakui terinspirasi oleh para robot “Transformer”. Secara bentuk tentunya. Namun secara bahan-bahannya, membuatku berdecak kagum. Tentu juga membahagiakan. Setidaknya ada jalan keluar bagi sampah yang dapat dikelola ulang. Tidak menjadi beban lain. Namun justru menjadi keindahan baru.

            “Apakah ini, korek api gas-nya ini, dari Citarum?”

            “Hanya sebahagian. Yang lainnya saya dapatkan dari pedagang loakan di Bandung, daerah Bojongloa, dekat Rumah Sakit Bungsu, di sekitar kota Bandung, kalau Tuan mau ke sana!” tutur sang pengrajin, yang kemudian mempersilakan aku dan Sam mengambil gambar untuk keperluan dokumentasi dan investigasiku.

            Namun aku agak terkejut, ketika ada sosok-sosok robot aneh yang keluar dari mainstream. Ya robot yang menyerupai Sang Komandan berekor dan mahluk bersisik yang bermuka hijau.

            “Ini robot macam apa?” Aku menunjuk dua robot mirip dua mahluk yang tadi malam kulihat.

            “Ah, itu mah ngarang saja, Tuan. Mahluk dari mitos dan legenda Citarum!”

            “Kata siapa, Mang?”

            “Entah kata siapa, pokoknya kata nenek moyangnya moyang saya, hahahaha…. Yah.., namanya juga ngarang!”

            Dari tempat lain, aku juga mendapat pengetahuan baru bagaimana sampah-sampah dari Citarum itu diolah, hingga menghidupi ratusan bahkan mungkin ribuan orang yang terlibat dalam siklus sampah Citarum itu. Aku mengikuti arus hati dan juga instingku. Beberapa tempat pencacah plastik, juga Tempat Pembuangan Sementara dan Tempat Pembuangan Akhir kujumpai hingga menghabiskan beberapa hari yang tak kurencanakan. Tapi aku merasa puas. Setidaknya aku mendapat gambaran bagaimana sampah Citarum ini menjadi siklus yang banyak diperbincangkan.

            Dokumen Citarum yang kubuat memang memanjang hingga ke ujungnya. Dan dari situ, aku melihat betapa kerusakan yang terjadi akibat pencemaran di sungai yang sangat panjang itu, di sungai legendaris itu, memang mengkhawatirkan.

            Aku membuat beberapa video lagi, mendalami apa yang terjadi, hingga mengukur dampak lain yang lebih tak terbayangkan. Ini memang bukan sekadar menyampaikan apa yang ada, namun juga menyampaikan yang bisa saja terjadi, atau bahkan akan terjadi di kemudian hari, di zaman yang lain. Di masa depan yang akan hancur dari sisi lain, jika pencemaran ini tak dihentikan, atau minimal dikurangi.

            Waktu. Demi masa itu. Adalah lapisan-lapisan yang sungguh beragam dan tebal.

            Aku tak berniat menjadi pahlawan atau pewarta yang butuh tepuk tangan dan piala. Aku hanya mendokumentasikan apa yang terlihat oleh mata hati hingga mata kamera pada drone yang menjadi ukuran formalnya.

            Beberapa seri video pencemaran itu kemudian kuunggah di halaman Facebook juga Instagram, dan berharap agar ada sesuatu perubahan besar ke arah yang lebih baik. Jika pun tidak, aku hanya melaporkan kepada Tuhan bahwa aku bekerja. Aku mencoba peduli pada ribuan ikan-ikan besar yang akan memakan botol plastik, atau bahkan jutaan ikan-kan kecil yang akan memamah mikroplastik, jika semua itu tak dihentikan.

            Lapisan tebal yang lain.

            Berada di lapisan manakah Aku?

###

Bagian 3

Serupa Bola Salju Digital

 

            Engkau terkejut.

            Engkau terpukau.

            “Barusan aku ditelepon dari Dinas Lingkungan Hidup. Mereka terkejut, karena video Garry menyebar di mana-mana. Semua televisi menyebarkan berita yang dikutip CNN dari laman Facebookmu!” tutur sahabat kau dari Greenation.

            Engkau tertegun. Rupanya kemudian banyak pula media daring mengutip videomu, menayangkan ulang hasil investigasinya.

            Engkau merasa jengah. Mungkin sedikit risau.

            Tentu saja. Karena, bahkan yang berkomentar adalah Pak Presiden.

            Pak Presiden?

            Ya. Videomu, yang kau unggah di Facebook dan Instagram, tentang Citarum itu, menggugah hati banyak orang. Menyadarkan bahwa bahaya itu bukan lagi di depan mata, namun sudah berada dalam mata itu sendiri. Bahaya itu sudah dijalani. Sudah merasuk dan akan menjadi bagian dari sejarah suram masa depan.

            Bahaya lain adalah serupa bola salju digital yang sedang dirakit.

            Pak Presiden kemudian mengadakan rapat besar. Menteri Kelautan dan Kemaritiman kemudian menggulirkan Program Citarum Harum dengan dana triliunan. “Saya berharap, bahwa tujuh tahun ke depan, air Sungai Citarum bahkan dapat diminum!” semangat Sang Presiden. Pak Jenderal mengamini.

            “Harapan saya, bahkan ini butuh waktu hanya 5 tahun saja. Citarum akan dapat dinikmati lewat airnya yang bersih!” tutur Pak Gubernur, yang dikutip media cetak dan elektronik.

            Engkau hanya menyaksikan pingpong ucapan para petinggi itu, berharap semuanya bukan lagi mimpi.

            Engkau kemudian terus mencatat, beberapa hal yang mungkin akan terjadi, jika dan jika ini dan itu.

            Tak semua sama. Satu pikiran dengan ucapan sebelumnya.

            “Saya pesimis itu dapat selesai dalam waktu 7 tahun, apalagi 5 tahun. Persoalannya kompleks. Yang juga penting, justru mengubah mindset atau pola pikir masyarakat dari hulu hingga hilir Citarum. Pola pikir masyarakat kita yang hedonistik, materialistik, juga mengutamakan hal yang instant adalah tantangan yang berat. Perlu jalan keluar yang melibatkan multidisiplin!” tutur sahabat engkau, yang kemudian bahkan membawa isu lingkungan ke ranah politik praktis. Sesuatu yang engkau sesali.

            Engkau memang tak menduga, bahwa video dokumenter itu kini menjadi bola liar, bahkan serupa bola salju keliaran yang lain.

            Engkau kemudian mencoba berdoa, agar bola liar itu masuk menemui gawang kebaikan yang lain. Yang lebih ramah menerima keliaran, sebagai sesuatu yang membawa pesan perubahan ke arah hidup yang lebih baik. Lebih mulia. Lebih bermartabat. Lebih humanis.

Bandung, Januari 2019 – Januari 2020.

 

Catatan/Keterangan:

  1. Byebye Plastic : kelompok pecinta lingkungan di Pulau Bali.
  2. Joerig Runtah : Hantu Sampah, komunitas pecinta lingkungan di Cihampelas, KBB.
  3. Old School : Sebutan untuk istilah masa lalu.
  4. sumur siuk : sumur yang sagat dangkal, yang airnya dapat lamgsung diambil/ disentuh dengan tangan.
  5. Silangla : berenang sambil telentang
  6. Ti iraha : sejak kapan
  7. Genggehek : nama sejenis ikan mirip ikan mujair
  8. Ceuk saha : kata siapa
  9. Nya ceuk nu boga ideuna : Ya kata yang mempunyai idenya
  10. Urang mana kitu : memangnya orang mana?
  11. Ecovillage : nama kelompok pegiat lingkungan yang tersebar di berbagai kecamatan hingga ke desa-desa.
  12. Poltergreist : nama hantu dalam sebuah film horor atau nama judul film horor.

 

Eriyandi Budiman
Latest posts by Eriyandi Budiman (see all)

Comments

  1. Dus Reply

    Apakah ini yg namanya cerpen tanpa kaidah? Hua

  2. eriyaandi budiman Reply

    terima kasih buat redakasi cerpen basabasi. terima kasih kepada para pembaca setia basabasi. semoga bermanfaat…

  3. Gui Reply

    Bahasa yang ringan ? Really ?!

  4. suharyadi Reply

    Di Basa Basi apakah tidak ada batasan character, cerpennya koq panjang ya ?

  5. Uci Reply

    Kenapa tidak update lagi ? Basabasi?

    • Admin Reply

      masih libur, kak 🙂

  6. Anonim Reply

    Untuk admin basabasi.co, kapan update cepen lagi?
    Sekadar saran, mungkin untuk yang mengirimkan cerpen via e-mail, ada e-mail balasannya sekalipun isinya ditolak. Terimakasih ^_^

    • Admin Reply

      kami masih libur, kak 🙂 terima kasih untuk sarannya. semoga kami bisa melakukannya untuk ratusan email yang masuk per hari.

      • Nobita Reply

        Mungkin admin bisa pake aplikasi seperti jobstret si Lina yg selalu rajin ngebalas 😅

    • Anonim Reply

      Oalah masih libur.
      Kapan kira² aktif lagi?😊
      Btw, semangat terus para admin 🙂

  7. Stro Reply

    Apa ini terbukti membayar?

    • diah ayu Reply

      Admin libur sampai kapan?

  8. Ahdiani Hanifa Reply

    Kalok cerpen yang di terima, apakah ada balasan emailnya?

  9. Erina Reply

    Apakah cerpen yang dikirim harus bergambar??

  10. Roja Reply

    Suka cerpennya

Leave a Reply to Anonim Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!