Napas Semesta

encrypted-tbn0.gstatic.com

Dalam hadis sahih, baik yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari maupun oleh Imam Muslim, Nabi Muhammad Saw. menyebut dirinya sebagai tuan bagi seluruh manusia, (انا سيد الناس). Dan di dalam kamus sufisme Syaikh Muhyiddin Ibn ‘Arabi, alam semesta ini secara spiritual tak lain merupakan bagian dari manusia, walaupun secara jisim justru yang terjadi adalah sebaliknya.

Semesta ini, plus manusia yang merupakan substansinya, ibarat pohon raksasa yang tidak ada duanya. Benih pohon itu adalah cahaya Nabi Muhammad Saw. atau al-haqiqah al-muhammadiyyah. Dari cahaya suci itu Allah Ta’ala memunculkan makhluk demi makhluk. Di antaranya yang terpenting adalah langit dan bumi yang semula menyatu (QS. al-Anbiya: 30) tapi kemudian direnggangkan oleh hadiratNya dan di antara keduanya dibentangkan jarak yang begitu jauh dan tidak terperi.

Begitu kelam semesta waktu itu. Sedemikian lamanya. Selama beribu atau bahkan bermiliar tahun. Sehingga akhirnya Allah Ta’ala menciptakan Nabi Adam dengan kedua tanganNya, (QS. Shad: 75). Barulah pada saat itu semesta menjadi terang. Karena sebagian “kecil” cahaya Nabi Muhammad Saw. diejawantahkan secara “konkret” pada diri nabi, rasul dan manusia pertama itu.

Jelas bahwa secara spiritual Nabi Adam merupakan bagian atau “keturunan” Nabi Muhammad Saw. Beliau menuturkan dalam salah satu sabdanya: “Aku telah menjadi nabi sebelum Allah menciptakan Adam.” Sedang secara fisikal, tentu kita sudah tahu, yang terjadi adalah sebaliknya. Yakni, Nabi Muhammad Saw. merupakan salah satu keturunan Nabi Adam.

Waktu bergulir seperti roda yang tidak sepenuhnya bundar dan mulus. Suspensi demi suspensi menggelegak. Semesta terus berproses. Menggelinding. Perlahan tapi pasti menuju ke kesempurnaan. Kelahiran dan kematian datang silih berganti, kadang juga bersamaan. Kehidupan semakin riuh. Ilmu pengetahuan makin menggeliat. Peradaban manusia menggapai eksistensinya yang paling permulaan.

Nabi demi nabi dimunculkan di medan kehidupan. Oase demi oase rohani dikirim dari sisi hadiratNya. Rasul demi rasul diutus untuk mengurai benang kusut kemanusiaan. Mereka berdendang atas nama Tuhan. Mengajak siapa saja menuju cakrawala tertinggi. Demi keselamatan, keberuntungan, dan kebahagiaan umat manusia. Jangan lupa, seluruh energi rohani mereka mutlak memancar dari cahaya Nabi Muhammad Saw.

Kehidupan terus berdentam-dentam dan berproses. Kekelaman saling sergap dengan cahaya. Mana yang menang, itulah yang mendesak yang lain. Orang-orang suci memerankan cahaya Rasul Pungkasan Saw. Orang-orang yang durja menghadapkan punggung mereka ke arah cahaya yang diberkati itu sebagai realisasi pengingkaran dan pembangkangan. Secara esensial, baik kepatuhan maupun pengingkaran itu sama-sama datang dari asal-usul yang tunggal. Tapi kemudian membelah menjadi dua karena “paradigma” yang berbeda dan bahkan berlawanan.

Sehingga akhirnya napas semesta itu, Muhammad bin ‘Abdullah, lahir sebagai yang terakhir dari rentetan para nabi sekaligus rasul. Di saat itu, semesta betul-betul tenggelam ke dalam telaga cahaya. Hanya orang-orang yang mengambil posisi buta yang tidak bisa merasakan kemegahan, keindahan, dan keagungan cahayanya. Semesta bersorak-sorai merayakan kegembiraan yang tidak kepalang. Penantian berabad-abad yang telah menguras banyak darah dan air mata itu kini telah mencapai finis. Air mata bahagia tumpah di mana-mana.

Di saat itu, pohon semesta menggapai puncaknya yang paling cemerlang. Karena benih cahaya yang semula ditanam oleh tangan Tuhan di hamparan ladang kemahaanNya itu kini telah memunculkan buahnya yang paling sempurna. Dan zaman itu sudah lewat. Sekarang kita hanya bisa berusaha mati-matian untuk menghadirkan kembali gairah zaman yang paling suci dan semerbak itu dengan petunjuk sekaligus bimbingan hadiratNya.

Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!